Cho Kyuhyun | Kim
Heechul | Kim Jongwoon | Lee Hyukjae
Kim Heebum | Choi
Raejoon | Kang Sungyoong | Lee Hyobin
Note : Beberapa
percakapan dari novel J.D. ROBB modifikasi. Jadi kalo mau baca selengkapnya,
beli novelnya ya xD Yang bikin aku, karakter kalian terserah aku.
==
Mata Sungyoong terpancang pada sosok Heebum
yang duduk tenang di hadapannya sambil membaca buku. Sungyoong memaksa
tangannya yang sedang menggenggam pensil untuk menulis sesuatu, apalah itu,
yang terpenting jangan biarkan kertas itu tersenyum mengejek ke arahnya karena
satu coretan pun tidak mampu ia torehkan. Oh, ya ampun. Kenapa harus semenyebalkan
ini?
Bunyi
ujung pensilnya yang patah menjadi batas kesabarannya. Sungyoong membuang pensilnya
lalu menyandarkan tubuhnya kasar ke kursi. Menatap jengkel ke arah Heebum yang
sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan suara gaduh yang ia timbulkan. “Aku
jadi penasaran, kenapa tiba-tiba Jung Seongsaengnim
menyuruh kita belajar bersama.
Maksudku—aku tahu kau pintar. Tapi kenapa bukan Chanyoung saja?”
“Mana
kutahu.”
Sungyoong
menelengkan kepalanya. Memperhatikan wajah Heebum lamat-lamat. Kim Heebum.
Teman –tapi mereka bahkan tidak berteman—sekelasnya. Heebum selalu terlihat
bersama Choi Minho –sang ketua kelas— dan antek-anteknya. Di mana ada Heebum,
maka di situ ada Minho.
Heebum
dan Minho selalu satu kelas, entah bagaimana itu bisa terjadi, mungkin dengan
sedikit permainan uang. Yah, siapa yang tidak tahu latar belakang keluarga
Heebum? Ayahnya pemilik perusahaan besar dan ibunya sedang mengembangkan bisnis
underwear bermerk dunia di Seoul. Tapi
omong-omong, hampir semua siswa di sekolah ini memang begitu. Mendapatkan
materi yang sangat melimpah dari keluarganya. Tidak terkecuali Sungyoong.
Ekspresi
Heebum selalu sama, datar. Untuk orang yang tidak mengenalnya—sama halnya
Sungyoong, itu sangat menyebalkan. Pasti
bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu.Gadis ini, arogan sekali.
“Ya!
Kau ini mau terlihat sok pintar ya di depanku?”
“Kerjakan
saja soalnya.”
“Kerjakan,
kerjakan. Jangan kau pikir kau ini yang paling pintar. Chanyoung yang lebih
pintar saja tidak sombong sepertimu.”
Heebum
menghentikan aktivitasnya. Menutup buku kemudian menatap Sungyoong hingga
Sungyoong dapat melihat dengan jelas mata coklat keabu-abuan milik Heebum. “Kau
belum mengerti juga? Kepintaran seseorang memang untuk dipamerkan. Oh ya, aku
lupa. Kau pasti tidak pernah begitu. Kau kan bod— ah maaf, kurang pintar
maksudku.” Heebum menyeringai menutup ucapannya.
Jemari
Sungyoong tanpa diperintah melumat kertas yang sedari tadi membuatnya muak, seolah-olah
kertas tersebut adalah Heebum. Rahangnya kaku. Dia benar-benar sebal. Setelah
puas, ia melempar kertas itu ke arah Heebum, lalu bangkit dan pergi dengan
amarah yang memuncak.
Telinga
Sungyoong masih mampu menangkap suara Heebum. “Wah-wah, kau bahkan tidak bisa
menjawab satu soal pun.”
==
Sepulang
dari ‘belajar’ dengan Heebum, Sungyoong tidak langsung pulang. Ia mampir ke
rumah Hyobin, Raejoon juga ada di sana.
Sungyoong
menghempaskan badannya, memilih duduk terpisah dari Hyobin dan Raejoon. Mereka
berdua duduk di sofa panjang ruang keluarga Hyobin, sementara Sungyoong lebih
memilih sofa tunggal tak jauh dari situ.
“Bagaimana?
Lancar?” tanya Hyobin.
“Lancar
apanya? Gagal sih iya.” Sungyoong begitu bersungut-sungut saat mengatakannya.
“Dia itu menyebalkan sekali. Kenapa Minho bisa tahan dengannya? Ya! Apa mereka
itu pacaran?”
Hyobin menelengkan
kepalanya, lalu menggeleng. “Setahuku tidak. Dengar-dengar kekasih Heebum itu
dokter bedah muda. Jadi dia dan Minho pasti tidak pacaran. Wae? Kau suka ya,
pada Minho?”
“Tidak.
Aku hanya heran, bagaimana bisa ada orang yang tahan dengannya? Kaubilang tadi kekasihnya dokter, kenapa
seorang dokter malah memilih gadis yang arogan sekali? Harusnya dia lebih memilih.”
Hyobin
menghedikkan bahunya. “Tidak tahu. Untuk apa kita pikirkan?”
Sungyoong
diam-diam menatap miris ke arah Raejoon, yang masih aktif menggaruk kedua
lengannya yang dipenuhi bentol kemerahan. Kengerian membuat tubuh Sungyoong
kaku dan tak berkutik. Itu pasti gatal dan tidak nyaman sekali. Jangan sampai aku mengalaminya. Sehingga
dia memutuskan untuk jauh-jauh dari Raejoon sampai gadis itu berhasil mengusir
entah apa yang menempel di kulitnya itu pergi.
“Ya,
Raejoon-a. Kau makan babi ya?”
“Aku tidak
tahan. Mereka kelihatan enak sekali. Ha... gatal sekali. Gataaaal...”
“Ya!
Kau ini berisik sekali sih. Bisa diam tidak?” omel Hyobin.
Sungyoong
dengan tatapan tetap waspadanya hanya menonton saja. Dan dia melihat tangan
Raejoon, menggapai remote tv di
sampingnya, kemudian –seperti adegan slow
motion— remote itu bergerak
dengan lambat, lambat, dan lambat hingga dia bisa melihat kepala Hyobin sebagai
background dan...
PRAK
Hening...
“Ya!!!
Kau gila? Aigo~ kepalaku. Astaga,
sakit sekali. Kau mau mati hah?” Hyobin mengusap kepalanya seperti orang
kesetanan. Wajahnya sudah semerah pantat kera karena kesakitan.
Sungyoong
mengerinyit, kengerian berlebihan menjalari lehernya. Matanya berkaca-kaca menatap
benda kecil hitam yang tergeletak di lantai, kesepian dan tidak berdosa.
Lalu
matanya bergulir ke arah Hyobin dan Raejoon yang sedang cek-cok sambil melempar
semua bantal sofa ke arah lawan.
==
Hyobin membawa tempat makan kucing yang sudah
ia isi penuh dengan makanan kesukaan Tomingse—kucingnya. Kakinya telah menapaki
semua ruangan di rumahnya, tetapi si kucing tidak juga terlihat. “Mingse
Sayang, kau di mana?”
Hyobin
berencana kembali ke ruang keluarga karena Mingse tidak ada di mana-mana. Sepiring makanan itu berakhir dengan jatuh ke
lantai karena tangan Hyobin tak kuasa menahannya. Di sana, Tomingse-nya, sedang
tidur di pangkuan musuh yang membuat kepalanya benjol siang ini.
Semua laki-laki sama saja.
Setelah
seorang teman dan seorang lagi yang dianggapnya mantan teman pulang, Hyobin
memutuskan untuk tidur di kamarnya yang hangat.
Dalam
tidurnya, Hyobin terlihat tidak nyaman. Ia merasa telah diintai. Keringat
sebiji jagung muncul di dahinya karena tegang. Saat akhirnya ia membuka mata,
ia tahu siapa yang telah mengintainya dari tadi.
Sesosok
itu duduk di sofa kamar Hyobin. Dan menatap wajah Hyobin lekat-lekat. Tomingse.
“Apa
kau lihat-lihat? Jangan memohon padaku. Demi Tuhan, kau tidur di pangkuan
Raejoon. Dasar plin-plan.”
==
“Dia sangat menyebalkan.”
“Begitu
ya?” Jongwoon masih mondar-mandir di depan rak buku besarnya, hanya punggungnya
saja yang bisa dilihat Sungyoong. “Bagaimana kau bisa menilai orang kalau belum
benar-benar mengenalnya?”
Karena
Hyobin dan Raejoon sedang sibuk dengan urusan mereka sendiri, jadi sisa
umpatannya untuk Heebum ia curahkan saat ini.
“Dilihat
dari wajahnya saja sudah tampak kalau dia arogan sekali.” Sungyoong memiringkan
kepalanya yang rebah di bantal Jongwoon, bibirnya sedikit mengerucut sambil
membayangkan wajah datar Heebum. “Yah, tapi tetap saja wajahnya cantik dan
tidak membosankan.”
“Bilang
saja kau iri karena dia cantik.”
“Oppa!” sambar Sungyoong begitu sebal.
Entah sebal karena Jongwoon salah menyimpulkan atau memang dia ketahuan, tapi
yang pasti dia bergerak menelungkupkan badannya. “Sebenarnya bukan hanya itu yang
membuatku sebal. Dia itu pinta. Dia pasti sombong soal hal semacam itu, seperti
seseorang yang kukenal.”
Jongwoon
berbalik. “Kau sedang menghina kekasihmu yang tampan ini, Sayang.”
==
[Esoknya...]
“Kau tampak lebih riang untuk seseorang yang
baru saja melempar remote tv ke
kepala seseorang,” sinis Hyobin saat Raejoon datang dan langsung duduk satu
meja dengan dirinya dan Sungyoong.
Raejoon
melihat kuku-kuku tangannya dengan santai. “Yah, bagaimana ya mengatakannya?
Kim Woobin memang membuatku riang. Kau tau Sungyoong-a? Uri Woobin mengadakan
fan meeting minggu depan. Kudengar
tiketnya sudah habis terjual. Apa kau mendengar tiketnya sudah habis terjual,
Sungyoong-a?”
“Yeah.”
Telinga dan tubuhnya memang capek mengamati dua temannya itu yang tak kunjung
mesra, tapi Sungyoong langsung menangkap maksud Raejoon. “Dan kudengar acaranya
hanya berlangsung sehari. Dia memang luar biasa.”
“Aku
punya tiga tiket. Aku akan memberimu satu.”
“Kau
tidak bohong?”
“Tidak
bohong. Hah, Sungyoong-a, aku tidak
tahu harus kuapakan yang satu lagi. Andai
aku punya sobat,” ulang Raejoon, “dan sobatku ini mau memaafkan
seseorang yang sudah melempar remote tv
ke kepalanya, aku akan memberikan tiket itu untuknya.”
Mata
bengkak Hyobin berkaca-kaca. “Aku sahabat barumu.”
“Oh,
manis sekali. Jadi masalah kita sudah selesai?”
Sekarang
Hyobin merasa sangat murahan. Tapi demi Choi Youngdo-nya, biarlah.
==
Hyobin, Raejoon, dan Sungyoong menghabiskan
waktu istirahat mereka di kantin. Sungyoong menumpukan dagunya di atas kedua
telapak tangan sambil memperhatikan percakapan dua orang yang duduk beberapa
meja di depan mereka. Meja mereka saling berjauhan, tapi keadaan kantin yang
sepi membuatnya bisa mendengar dengan jelas.
“Kau sudah
lihat pengumuman hasil ujian kemarin?”
“Belum.
Apa sudah keluar?”
“Mm.
Lihat ini.” Salah satu gadis itu menyodorkan tablet pc ke temannya.
“Aigo~ uri Chanyoung memang pintar
sekali. Biar kutebak, posisi kedua pasti Kim Heebum.”
“Yah,
seperti biasa. Dan coba tebak siapa yang terbawah?”
Kedua
gadis itu tampak begitu antusias saat bertatapan satu sama lain, kemudian
bersorak bersama. “Kang Sungyoong.”
Sungyoong
mendengus sebal. Telinganya sudah memerah menahan amarah. Namun ia masih
berusaha menekan kemarahannya.
“Manusia
bodoh pasti akan pintar jika mau belajar. Tapi Sungyoong? Aku bahkan tidak
yakin dia bisa pintar walaupun belajar sampai rambutnya habis.”
Cengkeraman
Sungyoong di botol minumnya semakin mengerat. Mereka benar-benar! Harus diberi pelajaran!
Maka Sungyoong
beringsut hingga membuat Hyobin dan Raejoon menoleh ke arahnya. Sungyoong
berjalan menghentak menuju ke tempat dua gadis itu duduk. Tawa mereka yang
begitu menggelegar membuatnya naik pitam. Tinggal beberapa meja lagi tapi
langkahnya berhenti mendadak saat melihat Heebum yang memunggunginya berdiri
dari kursinya dengan kasar.
Heebum
melangkah ke arah dua gadis yang membuat Sungyoong kesal tadi. Kedua gadis itu menghentikan
tawa mereka lalu mendongak melihat Heebum yang sudah berdiri di depan mereka.
Gadis itu meraih sebotol minuman di meja, membuka tutupnya lalu dengan santai menuang
seluruh isinya ke atas tablet pc
mereka.
“Ya!!
Apa yang kau lakukan hah?!” Salah satu dari dua gadis itu segera menyambar tablet-nya, mengecek kemudian memeluknya
di depan dada. “Kau pikir berapa harganya?!”
“Aku
tidak yakin kau bisa membelinya dengan uang hasil jerih payahmu sendiri, walaupun
kau sampai menjual diri.” Heebum memiringkan kepalanya, menatap dua orang itu kalem,
menyembulkan sedikit senyum miringnya yang lebih terlihat seperti tawa
merendahkan.
“Berada
di peringkat 10 dari bawah sudah begitu membuatmu berpuas diri, Jung Hii-ssi?” Heebum menjatuhkan botol kosong
yang berada di tangannya dengan gerakan yang anggun, kemudian melangkah pergi.
“Ah, satu lagi,” katanya tidak membalikkan badan. “Kau hanya beruntung berada
di posisi 90. Kita lihat selanjutnya, Sungyoong bahkan tidak butuh
keberuntungan untuk mengalahkanmu.”
“Ya!
Kenapa kau membelanya, hah?” teriak Jung Hii. “Kim Heebum!”
Sungyoong
hanya bisa melongo menatap punggung Heebum yang pergi meninggalkan kantin.
“Wow.
Dia keren sekali.” Bisik-bisik Hyobin dan Raejoon di sampingnya menyadarkan
Sungyoong untuk menutup mulutnya yang terbuka entah sudah berapa lama.
==
“Aku minta maaf.” Tiga kata inilah yang membuka
percakapan antara Sungyoong dan Heebum setelah 30 menit yang sunyi berlalu.
“Untuk
apa?” Heebum masih setia membaca buku di hadapannya.
Sedangkan
Sungyoong masih sibuk mengaitkan jari tengahnya ke atas telunjuk, kaitkan jari
manis di atasnya dan terakhir tambahkan kelingking, bermain jari menutupi
kegugupannya sambil memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Untuk
perkataan kasarku waktu itu, untuk melempar kertas ke arahmu, untuk perlakuanku
yang membuatmu sebal.”
“Wah-wah,
banyak sekali yang harus kumaafkan kalau begitu.”
Sungyoong
cemberut, tidak menyadari mata Heebum yang mencuri pandang ke arahnya. Dari
gerakan bibirnya yang seakan ditahan-tahan, Heebum tahu ada lagi yang ingin di
sampaikan Sungyoong, tapi Sungyoong masih ragu dan lebih senang bermain dengan
jari-jemarinya yang baru saja dimenikur kemarin.
“Aku
juga—“ Sungyoong menggigit bibir bawahnya. “Aku ingin—“ Aish, kenapa sulit sekali sih? “Aku... terima kasih.”
Heebum
menutup bukunya dan menatap Sungyoong penuh minat. “Kau aneh sekali hari ini.”
Heebum
masih diam menatap Sungyoong, meruntutkan kelakuan gadis di hadapannya itu satu
persatu. Minta maaf. Lalu berterima kasih. Berterima kasih, yang sebelumnya
meminta maaf. Hingga dia mendapatkan satu kesimpulan.
“Oh! Oh
Tuhan. Jangan lakukan itu! Aku tahu kau begitu putus asa, tapi jangan lakukan
itu.” Heebum menggelengkan kepalanya dengan brutal, membuat Sungyoong yang
bingung menjadi semakin bingung. “Kalau kau melakukannya— tidak-tidak. Astaga,
bagaimana cara menjelaskannya agar kau paham?” Heebum menarik rambutnya
frustrasi, membuat Sungyoong yang frustrasi menjadi semakin frustrasi. “Kalau karena
otakmu yang tidak terlalu pintar, mungkin kau menerima beberapa penolakan di
dunia. Tapi kalau kau bunuh diri, aku bersumpah— bahkan di akhirat pun kau juga
akan menerima penolakan dan siksaan tiada tara.”
“Kau
ini bicara apa sih?” Sungyoong menggaruk kepalanya. “Kalau yang kau khawatirkan
adalah aku akan bunuh diri, itu tidak akan terjadi.”
“Benarkah?
Syukurlah kalau begitu.” Heebum menyibak rambutnya ke belakang sambil
menyandarkan punggungnya.
“Aku
melihatmu membelaku.” Sungyoong dapat menangkap kilatan di mata Heebum yang
menerangkan bahwa gadis itu terkejut. Ia pasti tidak menyangka kalau Sungyoong
menyaksikan semuanya. Secepat angin, raut muka terkejut Heebum menghilang,
digantikan ekspresinya yang biasa. “Terima kasih Heebum-a.” Heebum masih diam, seperti merana karena ketahuan.
Kenapa dia diam? Apa rasanya malu sekali
membelaku?
Kemudian
Heebum berkata, “Kau lihat sendiri kan? Mereka baru dua orang. Entah ada berapa
banyak lagi yang mencemooh di belakang punggungmu.” Lalu mereka diam.
Sungyoong
menggigiti bibir bawahnya dan meremas telapak tangan, kemudian karena terlalu
penasaran dengan pertanyaan yang ada di benaknya, dengan ragu-ragu Sungyoong bersuara,
“Kenapa kau membelaku?”
“Aku
tidak membelamu.” Heebum menatap Sungyoong sekilas. “Aku hanya tidak
membenarkan mereka.”
Dan
sejak saat itu, bagi Sungyoong, Heebum bukan lagi kecoak mandul berbokong
tepos.
“Bagaimana
kalau kita tidak usah belajar hari ini? Kita belanja bersama saja. Makan es
krim. Ide bagus kan?”
Ekspresi
Heebum langsung berubah dingin, menatap Sungyoong tajam. “Tidak.”
Sungyoong
mendesah kecewa, keceriaan seolah direnggut paksa dari wajahnya. “Kurasa aku
tidak menyukaimu lagi.”
“Aku
tidak tahu bagaimana aku akan melanjutkan hidupku setelah mengetahui hal itu.”
Heebum mengatakannya sedang mimik sakit hati yang dibuat-buat, namun hanya
sesaat. “Kau takkan ke mana-mana sebelum menyelesaikan soal itu.”
==
“Heebum-a.”
Heebum
berbalik, dan melihat Raejoon serta Hyobin tergopoh-gopoh berlari ke arahnya.
“Ada apa?”
Setelah
mengatur napas mereka sendiri, Raejoon berkata, “Ayo kita berteman. Kami akan
menjadi temanmu.”
Sedikit
terkesima, Heebum tersenyum, hanya lekukan samar di bibirnya. “Aku tidak salah
dengar kan?”
Hyobin
menegakkan tubuhnya. “Tidak. Karena kau sudah membela sahabat kami dengan
sangat keren, Sungyoong sahabat kita kan?” tanyanya pada Raejoon yang
ditanggapi dengan anggukan. Hyobin ikut mengangguk senang karena ucapannya
benar. “Mulai dari sekarang, kau teman kami juga.”
Heebum
masih menahan geli, tapi tidak bisa dipungkiri ini membuatnya senang. “Begitu,
ya. Tapi baru saja dia bilang dia tidak menyukaiku lagi.”
“Suka
kok,” sambar Raejoon. “Mulutnya memang suka begitu. Jangan di masukkan ke hati.
Masukkan saja ke pantat.”
Teman.
==
Raejoon sedang melangkah ke area parkir bersama
Hyobin saat melihat seseorang sedang bersandar di kap mobilnya. Senyuman lebar
muncul di bibir Raejoon. Setelah berpisah dengan Hyobin, Raejoon mengambil satu
langkah ke arah pria itu. Begitu mengambil langkah kedua, dirinya sudah
berlari.
Pria
itu memeluknya, mengangkat Raejoon sampai kakinya tidak menapak tanah. Mereka
kemudian masuk ke dalam mobil. “Wowowo.
Ada angin apa sampai kau menjemputku? Kau bilang ada rapat.”
“Memang.
Tapi mereka takkan berani mengumpat. Kalau mereka berniat membatalkan proyek,
tinggal kuiming-imingi satu tanda tanganku dan mereka akan berlutut saking
bahagianya.”
“Sombong
sekali. Dasar tukang menyogok.”
“Kalau
kau yang mengatakannya, itu terdengar seperti angin dari surga.” Melihat
Raejoon yang memeragakan seperti mau muntah, Heechul hanya terkekeh. “Kau sudah
berbaikan dengan Hyobin. Aku melihat kalian berjalan berdampingan tadi.”
Supaya
Heechul tidak mengecapnya sebagai tukang sogok seperti dirinya, maka Raejoon
menjawab, “Dia sibuk sekali menyalahkan dirinya sendiri sampai-sampai aku susah
mau menyalahkannya.”
“Dasar
hati lembut.”
“Hati-hati
dengan ucapanmu, Sayang.”
“Padahal
aku sangat ingin melihat kalian bertarung sampai berguling-guling.”
“Lalu
melihat pakaian kami yang terkoyak dan sobek di sana-sini.”
“Wah—wah,
kau memang memahamiku.”
“Laki
laki memang aneh.”
“Kalau
begitu kasihanilah kami.”
==
Hyobin duduk di hadapan Hyukjae yang mampir
ke rumahnya setelah pulang bersama. Ketika tangannya akan mengelus Tomingse,
kucing itu menggeram rendah. Setelah memelototi Hyobin, Tomingse mengibaskan
ekor, meloncat turun, dan melenggang pergi dengan arogan.
“Dia
sebal kau mengomelinya kemarin.” Hyukjae menahan cengirannya saat Hyobin
cemberut menatap si kucing. “Sedikit-banyak karena aku berhubungan denganmu,
dia juga merajuk padaku. Aku dan dia sudah berdamai tapi tampaknya jika
menyangkut dirimu, dia masih mendendam.”
“Dasar
si bokong tepos.”
“Menghinanya
bukan cara yang paling tepat untuk berbaikan. Cobalah salmon segar. Itu selalu
berhasil.”
“Aku
takkan menyuap kucing sialan itu.” Hyobin mengeraskan suaranya agar pihak yang
sedang mereka bicarakan bisa mendengarnya. “Kalau dia tidak mau disentuh
olehku, ya sudah. Kalau sakit hati karena omelanku, ya sudah.”
Tomingse
meninggalkan Hyobin untuk meloncat ke bangku jendela dan menatap ke pemandangan
luar seolah dialah pemilik tempat ini.
==
[Beberapa hari kemudian...]
Sungyoong berjalan ke arah ruang olahraga
guna mengembalikan peralatan sofbol yang telah selesai ia pakai. Hyobin,
Raejoon, dan Heebum masih melakukan penilaian, jadi dia hanya seorang diri.
Jung
Hii berdiri menghalangi jalannya. Karena tidak ingin mencari masalah, Sungyoong
mengambil jalur kiri, tapi Jung Hii mengikutinya ke kiri. Lalu Sungyoong ke
kanan, Jung Hii mengambil jalur kanan.
Dengan
sebal, Sungyoong mengangkat kepalanya dan menatap Jung Hii. “Apa maumu sih?”
“Kau menang
di pertandingan tadi.”
“Lalu?”
“Yah,
entah kenapa kekalahanku kali ini justru membuatku semakin bersemangat untuk
bersaing denganmu.”
“Aku
tidak punya waktu untuk bermain sofbol, dan capek. Kalau kau mau bermain lagi,
dengan yang lain saja.” Sungyoong berjalan lagi tapi tangannya di tahan. “Apa
lagi sih? Masih kurang jelas?”
“Aku
ingin kita bersaing di semua hal. Pelajaran, olahraga, bahkan kalau perlu
percintaan.”
Sungyoong
berdecak tak percaya. “Kau ini terobsesi sekali ya ingin mengalahkanku? Kenapa?
Tidak percaya diri?”
Jung
Hii menghedikkan bahunya santai. “Terserah apa pendapatmu.”
“Aku
bisa,” kata Sungyoong, “bersaing di bidang apa saja. Tapi tidak dengan
percintaan. Kau tidak bisa menantangku di situ. Aku takkan membiarkan seorang
pun mengusik milikku.”
“Baik.”
Jung Hii mengangguk. “Kita deal kalau
begitu.”
Jung
Hii melangkah mundur dengan santai. Gadis ini bisa juga sportif. Itulah alasan
Sungyoong tidak menduganya. Tiba-tiba Jung Hii menyambar tongkat sofbol,
gerakannya cepat dan spontan, mengarahkannya ke kepala Sungyoong.
Heebum
mendorong Sungyoong dengan keras hingga Sungyoong terjatuh. Dan gerakan itu,
gerakkan meliukkan tubuh itu, membuat kepala Heebum bertemu dengan tongkat Jung
Hii.
Sungyoong
menjerit saat darah menyembur, menyerukan sesuatu saat tubuh Heebum terpuruk.
Sungyoong menghambur ke arah Heebum. Napas gadis itu tersengal, pendek-pendek,
dan darah mengucur dari sisi kepalanya.
“Ya
Tuhan, ya Tuhan.”
“Aku
baik-baik saja.”
“Diamlah.
Tutup mulut, Heebum-a.” Sungyoong
begitu panik, kemudian Minho datang tiba-tiba dan mendorong kasar tubuh Jung
Hii yang masih shock agar menyingkir.
Minho menyambar ponselnya dengan panik. Pikiran Sungyoong sudah keruh hingga
tidak menghiraukan apa-apa lagi, termasuk Jung Hii yang telah disudutkan ke
dinding oleh banyak siswa.
“Tolol.
Gadis bodoh.” Dengan tergopoh-gopoh, Sungyoong mengikuti Minho yang mendekap
tubuh Heebum erat dan membawanya pergi manakala telinganya mendengar hardikan
dari mulut pria itu dengan samar.
Sungyoong
segera meletakkan kepala Heebum di pangkuannya begitu mereka sudah masuk ke mobil
Minho. Wajah Heebum yang tidak tertutupi darah begitu pucat.
“Bertahanlah,
Heebum-a. Dasar tolol. Kalau kau mati
gara-gara aku, aku akan marah besar.”
“Maaf.”
Heebum terkesiap saat Sungyoong menyibak rambut yang menutupi dahinya. “Ya
Tuhan, rasanya sakit sekali. Sialan, terbuat dari apa...” Ia menahan rasa
sakitnya, berjuang untuk tetap sadar. “Sialan, terbuat dari apa sih tongkat
sofbol?”
“Mana
kutahu? Kau pikir aku yang membuat?” teriak Sungyoong dengan panik. “Mereka
akan menjahit kepalamu. Kau akan mendapat penghargaan dariku akibat pukulan
ini. Lalu kau bisa menunjukkannya ke semua pria di sekolah agar mereka tambah
menggilaimu.”
“Omong
kosong.” Heebum berusaha tersenyum, tetapi ia tidak bisa melihat Sungyoong.
Cahayanya makin redup. “Kyuhyun Oppa akan membunuhmu, Minho-ya.”
“Diamlah.
Aku sudah menyuruhmu tutup mulut,” teriak Minho frustrasi.
Heebum
tidak berkomentar lagi, matanya sudah benar-benar terpejam. Dan Sungyoong tahu
betul kalau kesadaran Heebum hilang.
==
Saat tiba di rumah sakit, sudah ada yang
menyambut mereka. Sungyoong melihat seorang pria dengan pakaian lengkap kru
dokter mengambil alih tubuh Heebum dari Minho.
Mereka
membaringkan Heebum di ranjang. Sungyoong dapat melihat dengan jelas wajah pria
itu sekarang. Pria yang sangat tampan dan berkharisma, dengan bola mata yang dipenuhi
kekhawatiran dan raut kesakitan saat
mengusap darah yang mengalir di wajah Heebum.
“Bagaimana
bisa dia terluka begini?” tuntutnya pada Minho.
“Seseorang
memukulnya. Jung Hii.” Lalu mereka berpisah di ambang pintu IGD.
Dalam
diamnya, tubuh Heebum tersentak saat merasakan sentuhan di kepalanya yang
terasa mau pecah, kemudian rasa dingin menyebar, lalu digantikan rasa hangat.
Telapak tangan lainnya menekan pipi Heebum yang kebas. Namun rasa itu segera
berlalu, dan dirinya merasa melayang.
“Seberapa
parah lukanya?”
Kyuhyun. Begitu mendengar suara itu, Heebum mengupayakan dirinya
untuk sadar.
“Jangan,
ssst. Tenanglah,” ujar Kyuhyun pada Heebum saat dirasakannya jemari Heebum yang
berada di genggamannya bergerak. “Aku ada di sini.”
Karena
Kyuhyun ada di sini, Heebum pun kembali melayang.
==
Yang Sungyoong lihat pertama kali saat
memasuki kamar rawat Heebum adalah Kyuhyun sedang merundukkan setengah badannya di atas tubuh
Heebum. Kedua telapak tangannya mengelus pelan wajah dan tubuh Heebum. Kepala
Heebum terbebat perban dan ada memar sebesar bola tenis di wajah bagian
kirinya.
“Hyung.” Minho yang memang berdiri di
depannya melangkah maju, berhadapan langsung dengan Kyuhyun. “Bagaimana
keadaannya?”
Kyuhyun
mengusap kasar wajahnya yang kuyu. Ia menegakkan tubuhnya. Menatap Heebum yang
masih terpejam. Kemudian dengan cepat mencengkeram kuat kerah seragam Minho.
“Sebenarnya apa saja yang kau lakukan, hah?”
Sungyoong
tak berkutik di tempatnya.
“Kau
pikir aku pengasuhnya sampai harus mengawasinya 24 jam? Kau yang kekasihnya di
sini justru tidak bisa melakukan apa-apa.”
Kyuhyun
terlihat seperti tertohok dengan ucapan Minho. “Maaf.” Kemudian melepaskan
cengkeramannya dan menduduki kursi di samping ranjang Heebum.
==
Ketika Sungyoong sampai di rumah, ia memutar
ulang kejadian tadi. Sesuatu yang seharusnya bisa ia lihat sebelum tongkat itu
terangkat. Andai Heebum tidak maju, bisakah ia mengelak?
Apa gunanya? Tanya Sungyoong saat memasuki rumahnya.
Takkan ada yang berubah.
“Sungyoong-a.”
Jongwoon
muncul dari arah ruang tamu tempat pria itu menunggu Sungyoong. Kini Sungyoong
hanya mampu memandangi Jongwoon dengan kesedihan yang membayangi matanya.
“Oppa.”
“Aku
menyesal, Yoong-a.” Jongwoon mendekat
lalu memeluk Sungyoong. “Aku turut menyesal.”
“Bunyinya
keras sekali, Oppa. Dia berdarah, aku
melihatnya sendiri –oh, bahkan aku yang mengusapi darahnya. Sudah ada Minho dan
kekasih Heebum di sana. Mereka sudah menghubungi keluarga Heebum dan meminta
mereka cepat-cepat datang ke rumah sakit.”
Jongwoon tidak peduli jika orang-orang akan
menganggapnya egois. Ia hanya bisa berpikir bahwa Bisa saja kau yang mengalaminya. Bisa jadi kau yang mengalaminya, dan
akulah yang diminta cepat-cepat datang ke rumah sakit.
“Sebaiknya
kau naik saja. Kau lelah. Istirahatlah.”
“Yeah,
tidak ada yang bisa kulakukan selain istirahat.” Mereka melangkah bersama ke
tangga. Lalu Sungyoong mendadak duduk di anak tangga dan membenamkan wajahnya
di tangan. “Brengsek, dia melakukannya untukku. Jung Hii berusaha menyerangku,
dan Heebum mendorongku sampai terjatuh tapi dia malah terluka.”
Jongwoon
mengecup ubun-ubun Sungyoong. “Kalau begitu aku berutang budi padanya. Sesuatu
yang takkan pernah bisa kubalas. Tapi kau bisa membalasnya. Dengan menjadi
teman yang selalu saling melengkapi.”
“Yeah,
kalau gadis tolol itu melakukan ini hanya karena ingin menjadi temanku, aku
akan menendang bokongnya.”
“Bagus.
Sekarang beristirahatlah.”
Sungyoong
sudah berbaring di ranjangnya dan memejamkan mata. “Oppa?”
“Hmm?”
“Aku
berhasil memanggilnya tolol.”
==
[Keesokan hari...]
Ada sekarung beras. Yang menghantam
kepalanya. Itu satu-satunya hal yang dipikirkan Heebum saat gelombang pertama
rasa sakit menerpanya bahkan sebelum ia berhasil membuka mata. Ia sadar kalau
ia mengerang hebat sedari tadi, Heebum dapat merasakan tubuhnya disentuh oleh banyak tangan dan beberapa tusukan
menembus kulitnya, tapi ia tetap tidak bisa menahan untuk tidak mengerang.
Lalu,
di antara banyak suara panik, ada satu suara yang ia kenali. Suara parau yang
berbisik lembut tepat di telinganya, memintanya untuk bertahan. Setahunya hanya
itu yang membuatnya sekuat tenaga membuka mata. Dan wajah itu, wajah tampan
yang tampak kelelahan, yang pertama kali ia lihat. Ruangan itu begitu terang,
ia bisa merasakan matanya yang basah dan tubuhnya yang berkeringat.
“Heebum-a,
ya Tuhan.”
Karena
hanya keberadaan Kyuhyun satu-satunya yang membuatnya nyaman, Heebum langsung memeluk
perut pria itu erat kemudian terisak di sana. Kyuhyun balas memeluk tubuh
Heebum lembut, mengelus kepalanya hati-hati agar tidak menambah kesakitan
gadisnya.
“Astaga—ya
Tuhan.” Dada Kyuhyun naik-turun karena cemas yang teramat sangat. “Kau bangun
Sayang.”
Heebum
menolak saat beberapa orang berniat memeriksa keadaannya. Ia mengibaskan
tangannya dengan lemah saat ada seseorang
yang berniat memeriksa tekanan darahnya. Tetap memeluk perut Kyuhyun. Tangan
Kyuhyun menangkup wajah basahnya dengan lembut, menciuminya bertubi-tubi. “Mana
yang sakit?” Heebum menggeleng, tetap enggan melepas pegangannya dari jas
dokter yang Kyuhyun kenakan.
Kyuhyun
mendongak menatap beberapa perawat. “Biar aku saja. Kalian keluarlah.” Setelah
mendengar pintu tertutup, Kyuhyun dengan perlahan melepas cengkeraman Heebum
kemudian menciumi tangannya. Kyuhyun memasang stetoskop di telinganya, memeriksa detak jantung Heebum. Tangannya
bergerak mengusap air mata yang masih tertinggal, mencium dahi Heebum dengan
sayang. Kemudian memeriksa pupil mata, tekanan darah dan infusnya.
“Kembalilah
tidur.” Kyuhyun mengangkat tangan Heebum ke wajahnya sendiri.
“Aku
tidak akan tidur kalau kau tidak tidur.”
Aliran
kelegaan melanda dada Kyuhyun, Heebum sudah tenang setelah disuntik penghilang
rasa sakit berkali-kali. “Asal kau tahu saja, aku menjaga gadis terkasihku yang
gegar otak dengan gagah berani.”
Heebum
memandangi Kyuhyun. Merasakan bagaimana cinta menerpanya. Bukan cinta
menggebu-gebu yang begitu bersemangat, melainkan cinta yang lembut hingga mampu
menyisip ke sela-sela hatinya, perasaannya.
Pria
itu luar biasa tampan hingga Heebum tidak pernah benar-benar memahami bagaimana
pria itu bisa menjadi miliknya. Rasa terharu berbayang di matanya. Ia beringsut
memeluk pinggang Kyuhyun dengan sisa tenaga yang ia punya. “Jangan pergi ya?”
Kemudian
Kyuhyun tersenyum, hanya lekuk samar bibirnya. “Aku takkan pergi.” Beringsut
sedikit, hanya supaya dia bisa mendaratkan bibirnya di bibir Heebum.
==
Kyuhyun hendak keluar dari cafe rumah sakit manakala matanya
menangkap Sungyoong yang duduk sendiri di salah satu meja.
Sungyoong
mendongak saat seseorang menarik kursi di hadapannya lalu mendudukinya. Dokter
bedah muda Seoul International Hospital
atau yang sekarang dikenalnya sebagai kekasih Heebum.
“Kau
teman Heebum kan?”
Sungyoong
mengangguk. “Ya.”
Kyuhyun
tersenyum konyol saat mendapati dirinya begitu senang. “Terima kasih sudah mau
menjadi temannya.”
Sungyoong
memiringkan kepalanya. Apa dia sebegitunya tidak punya teman? Apa semua orang
benar-benar berpikir kalau Heebum adalah gadis arogan yang jahat? “Dia baik. Ya
walaupun awalnya kukira dia sombong dan menyebalkan.”
Kyuhyun
mengangguk maklum. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kau sudah mengenal bagaimana
Heebum sebenarnya.”
Sungyoong
menyetujui. “Omong-omong, bagaimana keadaannya?”
“Dia
gegar otak. Dan bisa kau lihat sendiri, beberapa memar.”
“Astaga...”
Kyuhyun
melirik Sungyoong. “Kau tidak perlu merasa bersalah. Dia memutuskan mendorongmu
berarti dia sudah siap menanggungnya.”
Walaupun
perkataan itu sama sekali tidak menenangkan hatinya, Sungyoong tetap
mengangguk. Kemudian karena penasaran, Sungyoong bertanya, “Kau kan dokter
bedah, pasti sudah sering melakukan operasi.” Kyuhyun mengangguk. “Saat mengoperasi
Heebum, bagaimana perasaanmu?”
Kyuhyun
menggeleng santai. “Bukan aku yang mengoperasinya. Temanku yang melakukan itu
untukku. Changmin.”
Karena
menyadari raut wajah Sungyoong yang masih bertanda tanya, Kyuhyun melanjutkan,
“Aku tidak pernah bisa berpikir jernih hanya dengan melihatnya saja. Dia adalah
satu-satunya yang takkan pernah kubuat main-main. Kaupikir aku bisa hidup kalau
dia mati di depan mataku, dengan tanganku yang seharusnya bisa menyelamatkannya
tetapi aku gagal membuatnya bertahan hidup?”
“Tentu
saja tidak. Ya kan?”
Sambil
terus tersenyum, Kyuhyun mengangguk. “Aku senang teman barunya adalah wanita. Mataku
seringkali berkunang-kunang karena cemburu setiap melihat Minho dan banyak pria
yang mengelilinya. Bahkan Changmin dan Tan sekali pun.”
“Tan?”
“Yeah.
Kim Tan. Kakak Heebum yang tinggal di Singapore.”
“Apa?”
ujar Sungyoong setengah terkejut. “Jadi Heebum punya kakak? Aku tak pernah tahu.”
Heebum tidak pernah menyadari daya pikatnya, batin Sungyoong. Dan itu yang seringkali membuat Kyuhyun frustrasi.
Saat
kembali ke ruang rawat Heebum, sudah ada beberapa orang di sana. Ada seorang
pria, dengan jas dokter seperti milik Kyuhyun, sedang menyuapi Heebum sepotong
apel. Dan ada seorang pria, dengan jas dokter yang berdiri di samping
Sungyoong, sedang menghilangkan kunang-kunang dari pandangannya.
“Apa
perlu kucarikan pembasmi serangga?” bisik Sungyoong iba kepada Kyuhyun.
Mulut
Kyuhyun sudah terbuka, saat akan mengeluarkan beragam sumpah serapahnya, sebuah
suara menyela.
“Tidak
boleh bisik-bisik.” Heebum bersuara. “Dua orang di sana. Yang berdiri di depan
pintu, kubilang jangan bisik-bisik.”
Sambil
menahan geli, Kyuhyun menghampiri Heebum. “Kubilang jangan dekat-dekat pria
lain selain aku. Kau ini nakal sekali sih.” Kyuhyun mencium dengan keras pipi
kanan Heebum yang tidak terluka.
Kemudian
pintu terbuka lagi. Raejoon masuk kemudian kaget melihat ada orang yang ia
kenal sedang melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang Heebum. “Astaga,
Heebum-a, kau pacaran dengan sepupuku? Kyuhyun Oppa?”
==
[Beberapa hari kemudian...]
Sudah
begitu larut, keluarganya pasti sudah terlelap semua. Sungyoong menutup pintu
rumahnya. Kemudian berbalik, melihat Jongwoon.
Tidak
peduli mereka sudah bersama selama dua tahun lebih. Dirinya akan selalu
merasakan debaran jantung ini, setiap kali melihat pria itu selama sisa
hidupnya.
“Kau
selalu pulang larut akhir-akhir ini.”
Mendengar
suara Jongwoon, segala pikiran dalam benak Sungyoong langsung lenyap. Lalu pria
itu tersenyum, hanya senyum samar, dan Sungyoong mengambil satu langkah ke arah
kekasihnya. “Aku dari rumah sakit.”
“Bukankah
memang begitu?” Jongwoon mundur, mempelajari wajah Sungyoong. “Kau baik-baik
saja?”
“Ya.”
“Kenapa
kau berbisik?”
“Aku
tidak berbisik.” Sungyoong berdehem. Dan merasa seperti menelan pecahan kaca. “Hanya
sedikit serak.”
Jongwoon
menarik Sungyoong menuju kamar gadis itu, lalu mendorongnya untuk berbaring.
“Pucat pasi juga,” komentarnya dan menempelkan tangannya di kening Sungyoong.
Sesuatu mirip rasa panik melintas di wajahnya. “Kurasa kau demam.”
“Aku
tidak demam. Aku tidak sakit.” Sungyoong hendak duduk, kemudian berbaring lagi
ketika dirasakannya ruangan berputar. “Aku cuma sedikit capek.”
“Seharusnya
aku mengikatmu di tempat tidur selama beberapa hari.” Jongwoon berguling,
kemudian berderap keluar kamar.
“Aku
hanya pusing sedikit. Kenapa kau semarah ini?”
“Kalau
kau menurunkan satu jari kaki saja dari ranjang, aku akan benar-benar melakukan
perkataanku.” Di tangannya sudah ada segelas air putih dan sebungkus obat.
“Aku
baik-baik saja.”
“Buka
mulutmu. Sungyoong.” Satu kata penuh peringatan dari Jongwoon ketika Sungyoong
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangan Jongwoon mencengkaram lengan atas
Sungyoong dengan erat.
“Lepaskan
aku,” ujar Sungyoong dengan suara pelan. “Sekarang juga.”
“Tidak.”
Lengan Sungyoong gemetar di bawah cengkeraman Jongwoon, dan menurutnya itu
bukan karena amarah. “Tidak sampai kau meminum obatmu. Kau kedinginan?”
“Tidak.”
Sungyoong kedingingan sekali. Dan usahanya untuk berontak hanya menimbulkan
rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Lalu
kenapa kau menggigil?” Jongwoon menahan sumpah serapahnya, menarik selimut dan
menyelimutkannya ke Sungyoong.
“Aku
hanya flu ringan. Berbaik hatilah padaku.”
“Aku
sudah berbaik hati padamu. Dan kau tahu hatiku milikmu.” Jongwoon menempelkan
keningnya di kening Sungyoong. “Itulah masalahnya.” Kemudian ia menjauhkan diri.
“Sekarang buka mulutmu.”
Sungyoong
menggeleng dengan bibirnya yang terkatup rapat.
“Ayolah
Sayang, kau tahu aku tidak senang membuatmu memar.”
Karena
Sungyoong tetap berkeras, tanpa ragu sedikit pun, Jongwoon melangkah ke atas
Sungyoong, memijit hidungnya dan mencengkeram rahangnya, memasukkan tablet ke
mulut Sungyoong, lalu menggelontorkannya dengan bantuan segelas air putih tadi.
“Telan,” katanya sementara Sungyoong batuk-batuk.
Sungyoong
telah melewati kemarahan dan memasuki tahap tangisan. Segala sesuatunya
sakit—kepala, tubuh, harga diri.
“Ssst,
Sayang. Sst.” Dengan terguncang, Jongwoon membelai rambut Sungyoong. “Semuanya
sudah selesai. Jangan menangis.”
“Pergi
sana,” ujar Sungyoong bahkan saat ia memeluk Jongwoon. “Pergi sana jauh-jauh.”
“Situasi
seperti ini kadang-kadang mengoyak hatiku,” ujar Jongwoon tetap membuai
Sungyoong. “Kau tidak memberiku pilihan. Kau berdiri di sana, di depan pintu, dengan
penerangan yang cukup, dan aku sama sekali tidak menyukainya saat cahaya lampu
justru semakin memperjelas wajahmu yang pucat.”
“Maafkan
aku,” ungkap Sungyoong teredam bahu Jongwoon. “Aku tidak tahu harus melakukan
apa kalau kau tidak ada. Jangan marah padaku ya? Tetap sabar denganku ya, Oppa?”
“Ya.”
Jongwoon mencium pelipis gadisnya. “Tentu saja.”
==
[Dua hari kemudian...]
“Hai, malaikatku,” ujar Hyukjae saat melihat
Hyobin, Raejoon dan Sungyoong bergabung di mejanya.
Dengan
pipi yang memanas, Hyobin membalas, “Hai.”
Mereka
mendongak saat ada satu orang lain bergabung di meja mereka.
“Heebum-a!”
Heebum,
masih dengan perban di kepalanya dan memar yang sedikit membuat ngilu, hanya
memandang mereka datar. “Tidak usah berlebihan.”
“Kau
benar-benar sudah sembuh? Kau masih pucat. Kenapa memaksakan diri?” omel
Sungyoong.
“Aku
bosan, tahu, tidak? Kalian pikir enak diperlakukan seperti orang cacat?”
Melihat beberapa mulut akan terbuka, Heebum megangkat tangannya. “Jangan
berisik. Itu membuatku tambah pusing.”
Jadi
mereka hanya diam.
Beberapa
gadis tim pemandu sorak melangkah melewati meja mereka. Sirine di kepala Hyobin
langsung berbunyi. Lee Hyukjae!
“Ya!
Apa-apaan itu? Kemana matamu tadi terarah, hah? Kau selalu saja seperti itu.
Menyebalkan, tahu, tidak?”
“Sayang,
kau sexy sekali kalau merajuk seperti itu.”
“Kau
pikir itu akan mempan? Kau hanya menganggapku mainanmu ya? Iya kan?”
Keterkejutan
atas reaksi Hyobin melanda Hyukjae, dia mengangkat kedua tangannya. “Wah,
wah—aku sama sekali tidak berpikiran begitu.”
“Kau
pikir kau yang paling tampan? Aku bisa mengencani pria yang lebih baik darimu.
Hanya tinggal tunjuk saja. Kau pikir cuma kau yang bisa bermain api?” Hyobin
tidak mengucapkannya secara kejam—lebih bersifat logis. Tapi dia tidak
merasakan akibat ucapannya terhadap diri Hyukjae.
“Hyobin-a,
kau ini bicara apa sih?”
“Dasar
bedebah tidak peka.”
Kemarahan
seolah memilin perut Hyukjae, dia berdiri mengimbangi Hyobin yang sudah
dikuasai amarah sejak tadi. “Sayang, kata-katamu kasar sekali.”
Hyobin
bisa melihat batas kesabaran Hyukjae yang sudah mulai habis lewat matanya saja.
Pria itu menggenggam pergelangan tangan Hyobin erat tetapi tidak mengekang. Bahkan dalam keadaan marah, pria itu tidak
sanggup menyakitinya. “Kenapa aku tidak boleh bicara seperti itu? Kenapa
aku tidak boleh bermain api? Kenapa aku tidak boleh merayu pria lain sementara
kau boleh melakukan semuanya? Kenapa kau boleh dan aku tidak?” teriak Hyobin.
Karena kau milikku. “Karena kau bukan gadis seperti itu. Dan
kau takkan bisa menjadi begitu.”
“Lalu
kau pria macam apa?”
Hyukjae
merasa baru ditinju di ulu hatinya. Dia melepaskan pegangannya di tangan
Hyobin, lalu memijat pelipisnya yang kaku. “Terserah kaulah,” desahnya sambil
berusaha menekan kemarahannya.
“Ya sudah,
aku pergi,” pekik Hyobin
Hyukjae
tidak tahan diteriaki seperti itu. Hyobin bisa melihat kesabarannya yang
menghilang. “Ya sudah, sana pergi.”
Hyobin terkesiap,
menahan air matanya hingga perutnya bergetar, tidak percaya Hyukjae akan
meneriakinya. “Ya sudah, jangan mencariku lagi.”
“Ya
sudah...” Karena egonya harus tetap ia pertahankan, dan di sisi lain ia ingin
Hyobin tetap di sini, jadi yang keluar dari mulutnya adalah, “tapi aku lupa
membawa dompet, pinjami aku uang.”
Hyobin
memalingkan wajahnya dan berdehem. “Ya sudah, berapa?”
“Ya
sudah, sepuluh ribu.”
“Ya
sudah, ini.”
“Ya
sudah, terima kasih.”
“Ya
sudah, sama-sama.”
Dan
Hyobin pun benar-benar berderap pergi, tidak menoleh ke belakang lagi, tidak
melihat Raejoon, Sungyoong, dan Heebum, tidak melihat Hyukjae yang sangat kaku,
sebelum kemudian menendang meja di depannya hingga carut-marut.
==
“Ya!!”
Tangan
Sungyoong sudah menyentuh ponsel Hyobin jika saja Hyobin tidak menampar
tangannya. Jadi yang ia lakukan adalah menarik tangannya kembali dan
mengelusnya lembut sambil menatap jengkel ke arah Hyobin yang memelototinya.
“Kubilang
jangan diangkat! Kau tidak dengar ya?”
Sungyoong
masih sebal sehingga dia diam menatap Hyobin jengkel
“Apa
lihat-lihat?”
“Lihat-lihat?
Siapa yang lihat-lihat?” Bibir Sungyoong mengerucut, namun tidak lama semua
ratapannya lenyap dan digantikan tatapan menyelidik ke arah Hyobin. “Hei,
Hyobin-a, kau belum selesai
bertengkar dengan Hyukjae?”
“Hm?
Mm?” Hyobin seperti kehilangan fokusnya, sedekapan tangan di dadanya sempat
goyah namun ia dengan cepat mendapatkan kendali dirinya, ia sudah lebih tenang
tapi tidak dengan matanya. “A-ani.
Aku tidak mau minta maaf.”
Sungyoong
menghedikkan bahunya. “Kalau seperti itu terus, bagaimana masalah kalian bisa
selesai?” Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Apa
setiap kali kami bertengkar, harus selalu aku yang minta maaf duluan? Dia selalu seperti itu. Libidonya terlalu
menjengkelkan.”
Kemudian
Sungyoong memikirkan hubungannya sendiri dengan Jongwoon. Berlibido tinggi atau
tidak, Jongwoon memang selalu menjengkelkan. Jadi bisa ia simpulkan bahwa
setiap pasangan mempunyai gayanya masing-masing. Dan libidonya masing-masing.
Aku harus mencari tahu libido Heechul Oppa
dan Kyuhyun Oppa.Tapi
sebelumnya, pikir Sungyoong, dia akan mencari tahu apa itu libido.
==
[Esoknya...]
“Kim Heebum.”
Heebum
menegakkan badannya dan mendapati sang guru sudah berdiri di depan mejanya
dengan tatapan khawatir. Heebum melihat sekeliling dan menyadari hanya dirinya
yang tidak mencatat.
“Apa
sakit sekali?”
“Maafkan
aku, Seongsaengnim. Kepalaku sedikit
pusing dan aku bingung.”
“Wajahmu
pucat, aigo~ lihat lukamu.” Tangan
wanita paruh baya itu meraba tulang pipi kiri Heebum yang meskipun sudah lebih
baik, masih terdapat memar yang mulai menguning. “Baguslah kalau Jung Hii sudah
pindah dari sini.”
Tersenyum
formal, adalah satu-satunya yang bisa Heebum berikan untuk menanggapi ucapan
gurunya tersebut.
“Kau
pergilah ke ruang kesehatan, istirahat. Aku tidak mau kau tambah sakit.”
“Ya,
terima kasih, Seongsaengnim.” Heebum
membungkuk singkat kemudian bangkit dan keluar menuju ruang kesehatan diikuti
tatapan dari teman-teman sekelasnya.
Heebum
duduk bersandar kepala ranjang ruang kesehatan begitu sampai. Mengembuskan
napas perlahan, Heebum memejamkan matanya dan mengurut sisi kepala.
Begitu
sunyi. Oh—tentu saja. Namanya juga ruang kesehatan, penghuninya pasti orang
yang sakit.
Kemudian
jantung Heebum seperti melompat keluar dari tenggorokan manakala tirai sebelah
yang menyekat antarruang terbuka dengan sekali sentakan. Menimbulkan bunyi yang
walaupun kecil tetap saja mengagetkan. “Sudah kuduga. Pasti kau.”
“Oh!
Astaga-oh.” Napas Heebum memburu tatkala tangannya mengelus dadanya yang naik
turun. “Bisa tidak sih jangan mengagetkanku?” bentaknya.
“Oh,
aku tidak bermaksud begitu,” kata Hyukjae kembali merebahkan badannya ke atas
ranjang ruang sebelah. “Kalau belum sembuh benar, kenapa sudah memaksa masuk?”
“Kenapa
memangnya? Tidak boleh?” sinis Heebum.
“Dan
kenapa aku harus tidak memperbolehkannya?”
Kepala
Heebum mulai pening. Jadi ia putuskan untuk membaringkan tubuhnya. “Kyuhyun Oppa tidak akan bekerja kalau ada aku.
Jadi ya, aku berangkat.”
“Dengan
sukarela menahan sakit?”
“Aku
bisa menanggungnya. Kalau buat dirinya, aku bisa melakukan hal apa pun. Bahkan
yang tidak masuk akal.”
“Yeah.”
Hyukjae menunduk untuk melihat tangannya sendiri. Kemudian teringat
pertengkarannya dengan Hyobin. “Untuk seseorang yang begitu istimewa. Mereka
memang layak mendapatkannya.”
Tak
pernah ada, renung Hyukjae. Seseorang yang membuatnya merasa serba salah hanya
karena tidak dapat benar-benar menyentuhnya. Tak seorang pun kecuali Hyobin.
“Apa
kau menyadarinya?”
Hyukjae
menelengkan kepalanya melihat ke arah Heebum yang terpejam. “Menyadari apa?”
“Kau
jadi lembek kalau sedang bertengkar dengan Hyobin.”
Tersenyum
tipis, Hyukjae menggunakan kedua lengannya untuk dijadikan bantal. Sambil
menatap langit-langit, ia begitu senang Hyobin sungguh berarti. “Heebum-a.”
“Hmm?”
“Kalau
kau pernah melihat bintang berkedip dan tersenyum, maka dialah Hyobin-ku.”
Yang
mereka tidak tahu, Hyobin sedang berdiri menatap dua tirai tertutup di
depannya. Mendengar semuanya membuat dirinya berjuang untuk tidak menyibak
tirai tersebut dan memeluk Hyukjae erat. Tapi mereka berdua perlu bicara. Dan
tidak sini. Jadi dia berbalik lalu pergi.
==
“Oppa... otakku sudah mau meledak.
Istirahat ya? Sebentar saja. Aku kan belum istirahat sama sekali.”
Jongwoon
menutup buku yang dia baca, mengalihkan pandangannya ke arah Sungyoong yang
duduk di meja belajarnya dengan mata yang dibuat melas. Pria itu kemudian
melirik ke arah jam dinding.
“Dua
puluh menit dari tiga puluh menit waktu yang sudah berlalu, kau hanya
mondar-mandir mengambil makanan. Itu yang kausebut ‘belum istirahat sama
sekali’?”
Mimik
wajah Sungyoong berubah cemberut. “Aku hanya sebal. Kenapa otakku tidak bisa
secepat dirimu kalau soal pelajaran? Aku kan juga belajar keras.”
Jongwoon
berderap lalu menepuk kepala Sungyoong lembut. “Ini yang kau katakan belajar keras?”
“Oppa...” Sungyoong mendongak menatap
Jongwoon dengan mata yang berkaca-kaca.
Pria
itu mengembuskan napas pelan, kemudian menggiring Sungyoong untuk duduk di
sofa. Tangannya meraih jemari Sungyoong dan menggenggamnya. “Kau tahu apa yang
dikatakan ayahmu padaku? Dengarkan aku.”
“‘Aku
tahu Sungyoong itu anakku, tapi aku akan berpikiran objektif. Sungyoong itu tak
bisa apa-apa, yang dia bisa lakukan hanya mengeluh, merengek, berbelanja dan
merepotkan orang. Kau tidak sedang mabuk saat memintanya menjadi kekasihmu
kan?’”
Sungyoong
hanya menganga tak percaya. “Benar? Ayah mengatakan itu padamu?”
Jongwoon
hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Aish,
ayah kenapa tega sekali padaku? Itu namanya menghalangiku mendapat pacar.”
Jongwoon
melanjutkan, “’seorang ayah pasti menginginkan yang terbaik untuk putra-putrinya.
Kau mungkin bisa menerima putriku, tapi apa kau tidak memikirkan ayahmu?
Keluarga besarmu? Apa yang akan mereka pikirkan tentang Sungyoong? Aku tahu ini
salahku. Aku terlalu memanjakannya selama ini. Tapi anakku hanya satu. Kalau
tidak untuknya, untuk siapa lagi semua materi yang kudapatkan?’”
Sungyoong
masih diam mendengar cerita Jongwoon, sesekali menimpali atau bahkan mendesah
frustrasi.
“’Dia
memang agak bodoh, tidak bisa melakukan apa pun dengan benar, tapi dia tetaplah
anakku. Seburuk apa pun dia, dia tetap anakku dan aku ingin dia mendapatkan
yang terbaik walaupun putriku memiliki banyak kekurangan. Aku tidak tahu
bagaimana kelanjutan hubungan kalian nanti, tapi berhubung kalian masih
bersama, aku ingin kau tahu keinginanku. Aku tidak akan memaksanya untuk
mendapat nilai yang terbaik, aku juga tidak akan memaksanya untuk masuk ke
perguruan tinggi yang tersohor. Aku hanya berharap dia lulus dan melanjutkan
hidupnya seperti apa yang dia inginkan.’”
“Dan
untukku sendiri, aku tidak memaksamu untuk mendapat nilai tertinggi. Aku juga
tidak memaksamu untuk bekerja jika kita menikah nanti. Kalau kau memang tidak
mau, biarkan aku. Biar aku saja yang bekerja. Kau tidak perlu memikirkannya.
Kau boleh berbelanja sesukamu. Kau boleh hidup seperti apa yang kau inginkan,
asal denganku. Gajiku di perusahaan ayah lebih dari cukup untuk itu.”
Sungyoong
menatap Jongwoon dengan tatapan terkejut, kemudian senyum di bibirnya muncul.
“Hei Bung, kau sedang melamarku ya?”
Jongwoon
tersenyum sambil menghedikkan bahunya. “Aku akan melakukannya jika kau bisa
lulus. Aku tidak akan mau punya istri yang pernah tidak lulus. Kau mengerti?
Jadi mari kita berjuang bersama.” Kemudian menyandarkan dahinya ke pundak
Sungyoong dan gadis itu memeluknya.
==
[Keesokan harinya...]
Hyobin berjingkat sambil membungkukkan
sedikit badannya mengikuti Hyukjae yang berjalan jauh di depannya. Yang
dilakukannya seharian ini adalah menjadi sasaeng pria itu. Hyukjae menenteng
tas olahraga di bahu kanannya, sedangkan telapak tangan kirinya ia kaitkan di
saku celana.
Hyobin
melihat pria itu berbelok ke arah kanan. Buru-buru berlari merembeti dinding, saat
sudah sampai di ujung, ia menghentikan langkahnya, celingukan ke arah mana
Hyukjae pergi.
Dan
saat ia sudah berdiri di depan pintu yang menenggelamkan Hyukjae-nya, dalam
imajinasinya, pintu itu begitu besar, sangat besar dan sedang menertawakannya. Hyobin
menggeleng, mengusir daya kreatifnya yang terkadang muncul di waktu, tempat,
dan situasi yang terlewat tidak tepat.
Dengan
hati yang berdebar kencang, jari telunjuknya menekan-nekan pintu itu.
Woobin-a, doakan aku.
Hyobin
membuka pintu sedikit, hanya sebuah celah agar tubuhnya dapat menyelinap dan
langsung menutupnya ketika sudah masuk sempurna. Saat membalik badan, dia
dibuat melongo. Demi kotoran angry bird
yang bercecer di garasi rumah Raejoon, selama tiga tahun bersekolah di sini, ia baru kali ini memasuki
ruangan ini. Loker-loker tinggi tempat menyimpan barang-barang tersusun rapi,
ruangan ini luar biasa luas. Tapi Hyobin segera sadar bahwa ia tidak punya
waktu untuk itu.
Hyobin
melangkah dengan rikuh, menggunakan tasnya untuk menutupi pandangannya saat
beberapa siswa tim sepak bola berganti baju. Tak sedikit dari mereka yang
terang-terangan menatap aneh ke arah Hyobin sambil berbisik-bisik.
Langkah
Hyobin berhenti mendadak saat tubuhnya menumbuk sesuatu, ia mencoba maju lagi
tetapi sesuatu itu tidak hilang-hilang juga. Dengan dada yang berdebar, Hyobin
mengintip dari sela-sela tasnya, kemudian menurunkan tasnya saat melihat dengan
jelas sesuatu apa yang menyebalkan itu.
“Apa?
Apa kau lihat-lihat?” semprot Hyobin.
Donghae
menggeleng, namun beragam pertanyaan masih tersirat di matanya. “Ani, hanya aneh saja. Untuk apa kau ada
di sini?” Donghae mengintip ke balik bahu Hyobin, lalu menunjuk ke arah pintu.
“Kau tidak baca ini ruang apa?”
Hyobin
sedikit gelagapan, tapi bisa diatasi. “T-tentu saja aku tahu. Kau meragukan
kemampuan membacaku?”
Donghae
menghedikkan bahunya santai. “Untuk apa tim choir
kemari?”
“Dengar ya, Sobat, aku berhak ada di dalam
sini. Aku kan juga sekolah di sini.” Dan tidak ada yang menjelaskan padanya
kenapa tepergok berada di ruang ganti tim sepak bola rasanya seperti
penyelundup.
“Baik,
baik. Terserahmu lah. Aku pergi.”
“Ya,
tentu, pergi saja sana yang jauh. Kenapa tidak dari tadi saja,” gerutunya
begitu Donghae melangkah ke pintu.
Hyobin
mendapati Hyukjae sedang berbaring di bawah alat angkat beban. Gerakannya
stabil dan penuh keringat.
Ia
menghampiri Hyukjae, berjongkok di dekat kepala pria itu. “Maafkan aku.”
Hyukjae
tetap mengangkat beban, menahan lalu menurunkannya. “Merasa lebih baik?”
“Yeah,
Jae-ah, maafkan aku. Aku memang menyebalkan. Jangan marah padaku. Aku tidak
yakin bisa mengatasinya sekarang.”
“Aku
tidak marah padamu.” Hyukjae meletakkan beban itu di tempatnya lalu meluncur
keluar dari bawahnya. “Keadaan ini sesekali menohok perasaanku.”
“Aku
seharusnya tidak berkata seperti itu padamu. Melihat kau tidak menghubungiku
lagi membuatku sadar kalau perkataanku waktu itu mungkin—ah tidak,” ralatnya
saat Hyukjae menatap tajam ke arahnya. “pasti. Ya, pasti menyakitimu. Tapi aku
sudah tidak tahan lagi. Lagipula kau juga bersalah dalam hal ini.”
Hyukjae
mengambil handuk, lalu mengelap wajahnya. “Seperti?”
“Seperti—
oke, seperti, kau memang berhak menatap gadis-gadis berdada besar itu, yah,
semua laki-laki kan memang begitu, tapi di situ kan ada aku. Tidak bisa ya,
mengorbankan kesenanganmu sebentar saja untukku, untuk menghargaiku? Aku kan
kekasihmu, dan di sana banyak orang. Apa yang akan mereka pikirkan kalau aku
ada di hadapanmu dan kau malah melihat gadis lain?”
Hyukjae
menatap wajah Hyobin. Begitu terkendali dan muda, pikir Hyukjae. Milikku.
Tangannya
terulur meraih tangan Hyobin agar duduk di sampingnya. Hyukjae beringsut agar
matanya langsung berhadapan dengan mata Hyobin. Gadis itu begitu menyukai mata
itu, mata yang membuatnya tenggelam di dalam warna cokelat terangnya. Tangan
Hyukjae membelai bagian belakang kepalanya dengan lembut. “Cium aku.”
Hening.
“A-apa? Apa kau yang bicara barusan?”
“Hyobin
Sayang, cium aku.”
Lega
untuk pendengarannya, tetapi terlalu terkejut untuk melakukannya. “Kenapa
harus?”
“Karena
aku kekasihmu.”
Hyobin
tidak menjawab dan hanya menatap Hyukjae dengan mata menyipit.
“Baiklah,
baiklah. Karena kau menolak menciumku, biarkan aku yang menciummu. Oke?”
Gadis
itu memutar matanya, pura-pura keberatan namun langsung menyambut bibir Hyukjae
yang bergerak lembut di atas bibirnya.
Lagipula
ia sudah tidak tahan menghadapi tatapan yang mampu meledakkan perasaaannya
hingga membuat jantungnya melompat ke tenggorokan.
==
Raejoon membuka pintu rumahnya setelah
beberapa kali bel berbunyi.
“Nona
Raejoon?”
“Ah
ye.”
“Ada
kiriman untuk Anda dari Tuan Seunghyun.”
Raejoon
agak terkejut, tapi tetap menerimanya, menandatangani bukti, dan menutup pintu
rumah.
Dengan
cekatan tangannya membuka bungkusan tersebut dan apa yang di dalamnya membuat
matanya membelalak. Tiket liburan. Ke
Maladewa. Oh, Raejoon hampir berlutut saking bahagianya. Ternyata Seunghyun
masih mengingatnya. Dan dengan kebaikhatiannya, pria itu memberikan tiket ini
secara cuma-cuma.
Jadi
dia akan pergi ke Maladewa, bersama Seunghyun dan—tunggu, tunggu. Apa mereka
pergi berdua saja? Kalau begitu, jangan sampai Heechul tahu. Jangan sampai
Heechul melihat tiket ini. Raejoon segera berlari ke dalam kamarnya, membuka
laci lalu meletakkannya di tempat tersembunyi. Setelah merasa tenang, Raejoon
berbalik dan memekik.
“Ya
Tuhan. Astaga, Oppa, kau tahu aku
benci sekali kalau kau mengendap-endap ke dekatku seperti itu.”
“Aku
tahu.”
“Kau
sudah makan? Aku lapar.”
Heechul
membiarkan Raejoon pergi ke dapur, berdiri dan menyibukkan diri dengan bahan
makanan. Menunggu sampai Raejoon mengambil sesuatu dari kulkas. “Di mana
paketnya?”
Brengsek.
“Paket apa?
“Paket
yang baru saja dikirim kemari, Raejoon.”
“Aku
tidak mengerti maksudmu. Aku barusan man—Hei!”
Heechul
memutar tubuh Raejoon dengan begitu cepat hingga nyaris membuat Raejoon
menggigit lidahnya sendiri. Tapi Raejoon bahkan tidak mampu menggerakkan
tubuhnya melihat kemarahan di mata pria tersebut. Kemarahan menggelora dalam
waktu singkat. “Jangan bohong. Jangan pernah berbohong padaku.”
“Tenanglah
dulu. Ayah sering mendapat paket seperti itu. Bagaimana aku bisa tahu tentang
paket yang kau maksud? Lepaskan aku. Aku lapar.”
“Aku
orang yang toleran, tapi aku takkan membiarkanmu berdiri di sini dan berbohong
kepadaku. Jadi kalau kau tak mau memberitahuku, biar kucari sendiri.” Heechul
menghempaskan tangan Raejoon kemudian berderap ke kamar gadis itu.
Raejoon
mengejar Heechul untuk mencegahnya, tapi Heechul telah mendapatkannya. Pria itu
membuka amplop untuk menarik isi di dalamnya. Setelah itu ia membalik amplop
untuk melihat nama yang tertera sebagai pengirim.
Dan
Raejoon membenci dirinya sendiri saat pria itu menjauhinya dengan agak terguncang.
“Ini yang kau sebut tidak tahu apa-apa?”
“Aku
bisa menjelaskannya. Ak—“
“Kau
akan menerimanya.” Kepala Heechul menunduk ke bawah dengan kedua lengan yang ia
biarkan menggantung di kedua sisi tubuhnya. “Aku benar kan?”
“Ya
tentu saja. Ta—“
“Kalian
hanya berdua. Apa kau tidak memikirkan itu sama sekali? Kau tidak memikirkan
apa saja yang bisa dia lakukan padamu hah?”
Perut
Raejoon mulas saat mata pria itu terus memandanginya dengan dingin. “Aku tidak
akan melakukan apa-apa dengannya. Aku tidak akan menghianatimu, kalau itu yang
kau takutkan.”
“Lalu
kenapa kau harus menyembunyikannya?” Mata Heechul berkilat-kilat manakala
mengucapkannya. “Kalau kau memang tidak berhubungan dengannya, kenapa kau
menyembunyikan ini dariku?” Heechul mengejutkan mereka berdua dengan melempar
gelas setengah kosong di meja Raejoon ke seberang ruang.
Raejoon
pernah melihat kemarahan Heechul meletup dan menyambar. Biasanya ia lebih suka
begitu daripada sikap Heechul sedingin es. Tapi saat ini keberaniannya ikut
hancur bersama gelas tadi.
Ketakutan
mencengkeram Raejoon. “Tidak terjadi apa-apa di antara kami. Kau menghinaku
kalau sampai berpikir terjadi sesuatu.”
“Aku
pergi.” Raejoon benci setiap kali Heechul menggunakan nada kaku dan formal
seperti itu, dan ketika Heechul berbalik, Raejoon pun menyerah.
“Oppa! Sialan, Heechul Oppa!” Raejoon harus mengajar pria itu,
meraih lengannya. “Maafkan aku. Dengar, Oppa,
maafkan aku.”
“Aku
punya pekerjaan.”
“Jangan
singkirkan aku. Aku tidak tahan jika kau melakukannya.” Raejoon menyisirkan
jemari di rambutnya. Menekankan pangkal telapak tangan kuat-kuat di keningnya
yang mulai berdenyut-denyut. “Oppa,
kumohon.”
Raejoon
mengejar Heechul hingga gerbang depan. Heechul pergi ke arah mobilnya dan
mengendarainya hingga terdengar suara decitan.
Raejoon
sendirian. Ia terlihat seperti baru saja dipukuli di ulu hatinya. Berjongkok
memegangi jari kakinya sendiri, ia pun lalu menangis keras.
==
[Esoknya...]
Heebum memencet bel rumah Raejoon dengan
Kyuhyun yang berdiri menjulang di sampingnya.
“Ya!
Berhentilah. Kalau paman dan bibimu sampai tahu, aku untuk menghukummu.” protes
Heebum saat Kyuhyun seringkali mencuri-curi kesempatan menciumi wajahnya.
“Pasti
akan kuingatkan, Sayang.”
Terdengar
dentingan besi yang saling bertemu, kemudian pintu di hadapan mereka terbuka
dengan sosok Raejoon di dalamnya. “Aku tidak mendapat kesialan maha besar yang
membuatku harus dikunjungi gadis arogan dan bedebah kesehatan.”
“Aku
yang gadis arogan,” kata Heebum sambil melirik Kyuhyun. “Jadi yang bedebah
kesehatan pasti kau.”
“Dia
cuma kesal tidak bisa mendapatkanku.” Kyuhyun menyungginggkan cengirannya.
“Bukan begitu, Raejoon-a?”
“Terserah
kaulah.”
Mereka
melangkah masuk dan mendapati Hyobin dan Sungyoong sedang bersantai di ruang
keluarga.
“Ya!
Kau ini curang sekali sih. Kau tidak dengar peraturan kita yang kemarin? Tidak
boleh membawa pacar.”
“Dia
yang memaksa untuk ikut.” Heebum menghedikkan kepalanya ke arah Kyuhyun. Yang
ditunjuk hanya menunjukkan wajah polos.
“Aish. Lihat wajahnya itu. Untung tampan.”
Kemudian Raejoon menghempaskan badannya di atas karpet bergabung dengan
Sungyoong dan Hyobin, sementara Kyuhyun dan Heebum duduk di sofa tak jauh dari
situ.
Sungyoong
duduk menghadap Raejoon. “Jadi dari ceritamu tadi, seorang kurir mengantarkan kiriman
dari Seunghyun yang berisi tiket ke Maladewa. Kemudian kau menyembunyikannya
cepat-cepat. Tapi Heechul Oppa melihatnya dan menanyakannya padamu. Lalu kau
bertingkah seperti ‘Hah, kiriman apa?’”
“Aku
tidak bilang, ‘hah’. Aku tidak pernah mengatakannya. Kurasa, mungkin , aku
bilang ‘Huh’. Itu kan beda sekali.”
“Terserahmu
lah. Kau... apa ya kata yang artinya bohong, tapi lebih halus dari itu?” Hyobin
memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian. “Dusta. Kau berdusta karena kau
tidak mau mengganggu pekerjaannya dengan menemanimu ke Maladewa. Dan dia marah
karena menurutnya Seunghyun akan berhasil mengajakmu berciuman panas di bawah
terik matahari sementara dia di Seoul sedang mengadakan rapat yang super
membosankan.”
Walaupun
Raejoon lebih menyukai kata ‘bohong’ ketimbang ‘dusta’, tapi ia tak akan
membahasnya. “Yeah. Kurang-lebih begitu.”
Hyobin
melirik dengan pandangan tajam. “Kau mau mendengar pendapatku atau pendapatmu
sendiri?”
“Aku
akan tutup mulut,” gerutu Raejoon.
“Raejoon-ie.” Hyobin mencondongkan tubuh. “Kau
tidak mempertimbangkan faktor lelakinya. Mereka punya penis. Jangan pernah
melupakan penis saat kau berhubungan dengan pria.”
“Apa
maksudmu?” Raejoon merosot menyandarkan punggungnya ke kaki sofa. “Aku tahu
Heechul Oppa punya penis.”
“Penis
itu berkaitan dengan ego. Itu faktanya.” Sembari mengangkat bahunya, Hyobin
memakan keripik kentang. “Itu misteri bagi kaum wanita.”
“Kaum
pria berpikir menggunakan penisnya,” timpal Sungyoong. “Ego mereka tinggi.
Itulah yang membuat mereka seringkali menyebalkan.”
Kemudian
mereka menatap iba ke arah Heebum dan Kyuhyun yang sedang sibuk. Beberapa
detik. Lalu segera berpaling.
“Kalau
pria menyebalkan, kenapa banyak wanita yang memilikinya?”
“Karena
wanita bekerja pada tingkat emosional.” Sungyoong meneguk habis yogurt-nya. “Termasuk kau.”
“Mereka
akan selalu menjadi misteri.”
“Yeah.
Sudah tentu. Seperti cinta. Cinta datang, cinta yang tulus.”
“Walaupun
beberapa orang berbohong soal cinta demi uang.”
“Yeah.
Hyukjae menjunjung tinggi kalau uang tak hanya bisa bicara, tapi juga
menyanyi.”
Kemudian
Raejoon memikirkan obrolannya dengan Heechul. Uangmu, juga uangku. Uangku, tetap uangku.
Tanpa cinta, kenang Sungyoong dengan ucapan Jongwoon. Kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa
kecerdasan, cinta itu tidak cukup.
“Sudahlah.”
Raejoon bangkit dari posisinya. “Kalian mau es krim?”
“Ini
bakal membuatku muntah. Rasa apa?”
“Biar
kulihat dulu.” Raejoon berjalan, kemudian berhenti di sofa, di hadapan Kyuhyun
dan Heebum. “Kalau kau sampai berbuat mesum di rumahku, Oppa, kau akan berakhir dengan seseorang yang menendang bokongmu.”
“Ya,
seseorang akan menendang bokongnya.” Heebum menyetujui.
Kyuhyun
menatap ke dalam mata Heebum sambil menahan geli. “Baiklah, tapi hanya jika kau
yang melakukannya, Sayang.” Suara Kyuhyun sangat-oh- sangat hangat. “Aku kan
pemalu.”
==
[Hari esok...]
Di kantornya di tengah kota, Heechul duduk
bersandar di kursinya dan memandang keluar. Pemandangan Seoul dari ruangannya
yang berada di lantai 47.
Ia
memutar kursinya saat pintu ruangannya di ketuk kemudian menyembul sesosok
wajah tampan dari celah pintu. “Apa aku mengganggu?”
“Masuk
saja.”
Kyuhyun
melangkah masuk lalu menghempaskan tubuhnya di kursi di hadapan Heechul, mendapati
penampilan pria itu yang agak kacau. “Kau agak tidak fokus hari ini, bukankah
begitu, Hyung? Kalah tender besar?”
“Tidak.
Aku sedang memikirkan hal lain.” Heechul meraih cangkir kopi, mendapatinya
kosong, dan harus berjuang menahan keinginannya untuk melemparnya ke dinding.
“Sini,
biar kuisikan.” Kyuhyun merebutnya dari tangan Heechul. “Aku baru saja akan
meminta kopi.”
“Apa
rumah sakitmu begitu sibuk sampai-sampai tidak ada yang menyadari kopi wakil
direktur mereka habis?”
“Aku
dan Heebum berencana membelinya sepulang dari sini.” Karena Heechul hanya diam,
Kyuhyun melirik ke arahnya, kemudian teringat ekspresi suram Raejoon saat
datang bersama Heebum kemarin. Ada pemahaman, yang muncul di dalam dirinya.
“Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Kau tahu itu.”
“Siapa
yang dapat menjamin tidak akan terjadi hal buruk padanya?” Heechul mengambil
pena lalu mengetuk-ngetukkannya ke meja.
Walaupun
tidak tahu apa masalah sebenarnya, Kyuhyun berkata, “Aku tidak akan berdiri di
tengah-tengah pertengkaran kekasih. Aku cuma bilang bahwa kebanyakan wanita
menyukai bunga.”
“Bunga
takkan memberi pengaruh padanya.”
“Takkan
pernah,” tandas Kyuhyun.
“Sekarung
berlian juga takkan berguna, kecuali kau menghantamkan karung itu ke batu yang
disebutnya kepala. Demi Tuhan, sepupumu itu membuatku frustrasi.”
Kyuhyun
diam selama tiga detik. “Kau pria cerdas. Kau tahu apa yang seharusnya kau
lakukan.”
“Dan apa
itu?”
Kyuhyun
kembali duduk di hadapan Heechul setelah meletakkan cangkir kopinya.
“Memohon-mohon,” katanya, lalu menggeser kursinya menjauhi bahaya.
==
[Esoknya...]
Keempat pasang mata itu menatap waspada ke
sekelilingnya. Di sini begitu bising, panas, dan berbau makanan. Jadi mereka
memutuskan untuk kembali normal dengan menyandarkan punggung ke kepala kursi
kantin.
“Baiklah.
Akan makan apa kita siang ini?” tanya Hyobin begitu antusias dan menepukkan
tangannya.
“Bulgogi. Kimbab.”
“Jajangmyun.”
Hyobin
berdiri dengan mata berbinar. “Biar aku yang pesan. Ah, Joonie, hanya kau yang
belum pesan.” Hyobin memajukan wajahnya hingga sangat dekat dengan Raejoon.
“Sepatu
bakar.”
Entah
karena mood-nya yang sedang baik hari
ini atau karena hari ini mood-nya
sangat baik, atau dikarenakan sangat baik mood-nya
hari ini, jadi Hyobin menjawab, “Aku tidak tahu apakah ada yang seperti itu,
tapi akan kucarikan.”
Mereka
hanya saling diam sampai Hyobin berderap dengan begitu bahagia ke meja mereka.
“Karena harga sepatu bakar di Seoul sedang sangat mahal –aku juga tidak
mengerti kenapa bisa sampai seperti itu—dan kantin kita tidak menerima kartu
kredit, jadi aku pilihkan pizza
untukmu, yang aku bayar secara cash.”
Tapi
bahkan melirik pun Raejoon tidak melakukannya.
“Kalau
kau tidak mau, buatku saja.” Tangan Heebum terulur mengambil pizza itu. Tangannya sedang akan
memasukkannya ke dalam mulut saat pizza
yang membuat air liurnya berkumpul itu melayang sendiri, dengan mata laparnya,
Heebum terus memperhatikan, dan sangat kecewa saat mantan pizza miliknya itu jatuh kembali ke piring Raejoon.
“Ini
milikku. Enak saja kau.” Raejoon memelototinya. Kemudian kembali fokus ke tablet tak mempedulikan Heebum yang
bersungut-sungut.
Sambil
memakan camilannya, jemari Raejoon yang lain membuka situs berita Korea, dan
darahnya mendidih begitu membaca sebuah headline.
Dengan marah, Raejoon bangkit hingga menggulingkan bangku yang di dudukinya.
“Ya!
Kau mau kemana? Rae-ya!”
==
“Kau berkencan dengan Ahn Soobi?”
Heechul,
yang menoleh sehabis melihat pemandangan kota, kaget melihat kedatangan
Raejoon. “Sudah kubilang, kami berteman.” Pria itu meraih gelasnya, lalu
menuang brendi ke dalamnya. “Pernah sekali waktu berpacaran.”
“Dan
kapan itu?”
“Sudah
begitu lama,” gumam Heechul. “Kau datang hanya untuk itu kan? Keluarlah,
pembicaraan kita sudah selesai.” Ada ruang kosong, tepat di bawah jantung
Raejoon yang babak belur. Heechul menghindarinya, dan itu lebih dari sekadar
menyakitkan.
Raejoon
kaget kakinya tidak tersandung sewaktu berjalan menuju pintu. Ia berupaya
menarik napas ketika sampai di pintu. Di meja, Heechul mengutuki dirinya karena
bertindak bodoh dan memencet tombol otomatis untuk mengunci pintu. Terkutuklah
mereka berdua, tetapi Raejoon tidak boleh pergi begitu saja.
Heechul
baru saja akan membuat mulut ketika Raejoon berbalik. Sekarang wajahnya
menampakkan kemarahan. “Oke. Brengsek, baiklah, kau menang. Aku memang
sengsara. Itu yang kau inginkan, bukan? Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan.
Seolah ada yang rusak dalam tubuhku. Kau senang sekarang?”
Heechul
merasakan gelombang kelegaan pertama meredakan ketegangan di dadanya. “Haruskah
aku merasa senang?”
“Kau
tidak tahu apa-apa,” gerutu Raejoon dan berbalik badan. “Situasi ini membuatku
seperti orang tolol. Kau berpikir aku akan melakukan sesuatu di balik
punggungmu dengan Seunghyun. Kau berpikir aku akan menghianatimu, dan aku
merasa terhina karena itu. Kau tidak memercayaiku.” Suara Raejoon pecah, dan ia
menutup wajahnya saat isakan mengambil alih. “Aku tidak tahan lagi.”
“Jangan.
Demi Tuhan. Jangan menangis.”
“Aku
lelah. Aku cuma lelah, itu saja.”
Heechul
berdiri, terguncang dan ketakutan menghadapi badai tangis Raejoon. “Lempar
sesuatu. Pukullah aku.”
Raejoon
menolak saat Heechul mengulurkan tangan ke arahnya.“Tidak, menjauhlah. Aku
ingin sendiri saat melakukan hal konyol seperti ini.”
Tanpa
memedulikan protesnya, Heechul merengkuh Raejoon. Gadis itu menarik diri
beberapa kali namun Heechul merengkuhnya kembali dengan tegas. Kemudian dalam
tindakan putus asa, Raejoon merangkul Heechul, mencengkeram tubuh pria itu.
“Jangan pergi kemana-mana. Jangan pergi kemana-mana.”
“Aku
tidak kemana-mana.” Dengan lembut, Heechul membelai punggung Raejoon.
Adakalanya
seorang pria terkejut dan terguncang dengan tangisan seorang wanita yang jarang
menangis.
“Kau
menyuruhku pergi.”
“Tapi
aku mengunci pintunya.” Heechul mencium satu pipi Raejoon yang basah, kemudian
pipi lainnya. “Kalau kau menunggu beberapa jam lagi, aku yang akan datang
padamu. Aku duduk di sini memikirkan keinginan itu. Kemudian kau menerobos
masuk. Aku nyaris saja meloncat.”
“Aku
tidak menyukainya. Aku tidak menyukai rasanya dijauhi olehmu. Tapi itulah
kenyataannya.”
“Begitu,
ya.”
Raejoon
beringsut menjauhkan diri hanya supaya tangannya dapat merogoh ke dalam tas mengambil sesuatu. “Aku memang sangat ingin ke
Maladewa. Ditambah lagi waktu itu ada seseorang yang akan membiayaiku secara
cuma-cuma. Tak bisa kupungkiri kalau itu membuatku sangat gembira.” Tangannya
menarik keluar tiket yang diberikan Seunghyun melalui kurir waktu itu. “Tapi
kau tidak. Jadi...”
Ia
merobek tiket itu menjadi serpihan kecil tak berarti, lalu melempar potongannya
ke udara.
Heechul
hanya menatap Raejoon, dan dalam keheningan, satu-satunya yang terdengar adalah
napasnya yang tersekat. “Kau... kau merelakannya.”
Raejoon
menunduk menatap sobekan-sobekan tersebut dan tahu suatu saat bakal
menyesalinya. Tapi ia akan menanggung dan menghadapi hal itu. “Kalau aku
menerima ajakan pergi bersama Seunghyun, walaupun bisa kupastikan tidak akan
ada hal berarti buatku, tapi itu demi diriku sendiri, bukan demi dirimu. Aku
mungkin bahagia, tapi kau tidak. Jadi ya, aku merelakannya.”
Raejoon
tersenyum lebar, simpul yang mengikat dadanya hingga rasanya sesak akhirnya terlepas.
Jadi sebagai ekspresi kegembiraan, ia melangkah ke atas sobekan-sobekan kertas
jalannya menuju Maladewa, kemudian menginjak-injaknya tanpa rasa sesal sedikit pun.
Heechul
yang melihatnya bisa tertawa lepas, berdiri menjulang di samping Raejoon,
menggenggam tangannya lalu melompat bersama-sama. Jumping,jumping.
==
Kyuhyun dengan hati-hati dan menahan napas
mengoleskan bethadine kemudian
menutup luka dengan kassa kering dan memplesternya. Pemuda itu menjauhkan
tubuhnya untuk melihat ekspresi Heebum.
“Kenapa
melihatku begitu?”
“Kau
tidak tahu aturannya? Perhatikan dan catat reaksi pasien setelah tindakan.”
Kemudian Kyuhyun merapikan peralatan yang ia gunakan untuk mengangkat jahitan
Heebum.
“Kalau
begitu sudah berapa gadis yang kau pandangi seperti tadi?”
Kyuhyun
mencuci tangannya di wastafel lalu menengadahkan tangannya di bawah alat
pengering. “Kau cemburu ya?”
“Apa?”
Heebum berpura-pura tertawa. “Seperti tak ada kerjaan saja.”
Menghampiri
Heebum yang duduk di ranjang, jemari panjang Kyuhyun yang halus dan hangat
menangkup wajah gadis itu. Cara pria itu memandangnya, Heebum merasa sarafnya
sudah meleleh. “Baguslah kalau begitu. Kau tidak perlu mencemburui apa pun. Karena
asal kau tahu, Heebum-a, aku sudah
menemukanmu. Seseorang yang berhenti membuatku mencari.”
Mengalungkan
lengannya ke pinggang Kyuhyun, Heebum menyandarkan kepalanya ke dada bidang pria
itu. Kemeja Kyuhyun beraroma campuran antara
pengharum AC dan parfum pria itu sendiri yang lembut. “Ayo pulang.”
“Ayo.”
Kyuhyun membantunya turun dari ranjang. Heebum yang berjalan memimpin,
sementara Kyuhyun mengikuti dari belakang, menyeringai menggoda ke arah Heebum.
==
[Esoknya...]
Heechul menghentikan mobilnya begitu sampai
di depan sekolah Raejoon. Menumpukan kedua tangannya di kemudi dan menyandarkan
kepalanya ke lengan, Heechul menoleh ke samping memperhatikan Raejoon dengan
tenang.
Raejoon
tersenyum lembut sambil membelai rambut pria itu. “Kenapa? Ada yang ingin
kaukatakan?”
Heechul
menggeleng kecil. “Tidak ada.”
“Aaa...”
Kepala Raejoon membuat gerakan ke atas. “Aku tahu. Kau sedang menggodaku, ya?”
Raejoon tersenyum mengejek ke arah Heechul.
Menghedikkan
bahunya, Heechul kembali ke posisi semula, bersandar di kursi pengemudi. “Bagaimana
kalau kau duduk di pangkuanku?”
“Oh—ya
ampun, lihat pria tua ini.” Raejoon terkekeh. “Ya, Ahjussi, bagaimana kau bisa genit sekali?”
“Oh,
kasihanilah pria tua ini Nona cantik. Kau akan menjadi gadis sangat bahagia
jika bisa menolongku.” Heechul pura-pura batuk-batuk. “Duduklah di pangkuanku.
Aku kesepian.”
Raejoon
memutar bola matanya. Pura-pura keberatan namun menjulurkan kaki hingga
akhirnya duduk di atas pangkuan Heechul. Jari-jemari mereka saling bertaut.
Menyandarkan punggungnya ke dada Heechul, Raejoon bisa merasakan embusan napas
pria itu.
Heechul
berdehem. “Kita mungkin akan jatuh lagi. Dan mungkin akan berlutut lagi. Namun
satu hal yang pasti—“
“Lanjutkan.”
Heechul
menggeser kepalanya hanya supaya bisa melihat wajah Raejoon. “Hei, kenapa kau
menyela ucapanku?”
“Ucapanmu
kau bilang? Ya! Semua warga Korea juga tahu itu dialog sebuah drama. Kau ini
benar-benar tidak bisa merayu.”
“Apa
katamu?”
“Aku
bilang kau tidak bisa mer—“
Heechul
membungkam mulut Raejoon dengan bibirnya. Mencengkeram pinggul gadis itu untuk
memantapkan posisinya. Tangan Raejoon menggapai tengkuk Heechul agar lebih
leluasa. Lima detik setelahnya Raejoon mendesah frustrasi karena posisinya yang
menyulitkan kemudian bangkit berdiri.
Matanya
terpana melihat rambut acak-acakan Heechul dengan muka dan bibir yang memerah. Napas
pria itu belum stabil dan ia memandang ke arah luar. Merentangkan kakinya,
Raejoon duduk di pangkuan Heechul namun dengan wajah mereka yang saling
berhadapan. Bibirnya tergagap-gagap mencari keberadaan bibir Heechul dengan
tidak sabar. Bunyi decakan kadang-kadang membuatnya terkekeh dan malu.
Saat mengakhirinya,
dengan alis yang masih saling menyatu, mereka saling membalas senyum. “Aku harus
masuk.” Raejoon mencium pipi Heechul lalu melangkah kembali ke bangku penumpang
untuk mengambil tasnya. “Hati-hati ya?”
Raejoon
keluar dari mobil Heechul, lalu berbalik dan melihat Heebum yang sedang
berjalan ke arahnya. Mereka mulai melangkah, lalu Raejoon menoleh ke belakang.
Heechul masih mengawasinya, seulas senyum samar di bibir menggiurkan itu, dan
kilatan samar di mata kecoklatannya.
Heebum
mengikuti arah pandang Raejoon, dan menggodanya. “Ya ampun, dia membuatmu
menitikkan air liur.”
“Bukan
apa-apa kok.” Raejoon berderap dengan malu. “Bukan apa-apa.”
“Raejoon-a, kau manis sekali.”
“Yah,
aku memang pantas jadi pengganti gula.”
“Kalian
sudah berdamai.”
==
Sesuatu yang dingin menempel di pipi Hyukjae
begitu dia selesai merapikan tali skipping-nya.
Pria itu mendongak dan mendapati Hyobin mengulurkan minuman isotonik ke
arahnya.
“Terima
kasih.” Membuka tutupnya, Hyukjae langsung meminumnya.
Melihat
keringat yang mengaliri wajah Hyukjae, Hyobin mengambil alih handuk yang berada
di bahu pria itu, kemudian mengelap keringatnya dengan hati-hati.
“Kenapa
kau kemari?”
“Aku
cuma ingin menyenangkanmu. Jadi karena aku sedang berbaik hati melebihi santaclause, aku akan mengabulkan satu
permintaanmu.” Hyobin mengakhirinya dengan suara tawa hohoho ala santaclause.
“Benar?”
Hyobin
mengangguk mantap. “Aku tidak bohong. Asal kau tidak minta yang aneh-aneh
saja.” Pandangan Hyobin mengitari ruangan ini. “Kenapa sepi sekali? Apa anggota
klub sudah pulang semua?”
Hyukjae
menghedikkan dagu ke arah jam dinding. “Latihan memang berakhir 20 menit yang
lalu.”
“Apa?”
pekik Hyobin terkejut. “Lalu kenapa kau masih di sini?”
“Kenapa
memangnya? Tidak boleh?”
“Aish, aku kan jadi tidak bisa melihat
mereka ganti baju,” aku Hyobin dengan malu-malu.
“Hei,
apa-apaan itu tadi?” Hyukjae menonyor lembut dahi Hyobin. “Mau membuatku
cemburu?”
“Tidak.
Aku kan hanya suka padamu.”
“Tentu
saja. Karena kalau kau sampai suka pada pria lain, mereka tidak akan keluar
dari ruangan ini dengan selamat.”
Walaupun
diucapkan dengan nada santai, tapi Hyobin tahu itu sesuatu yang serius. Dan berhasil
membuatnya menatap kagum pria yang sedang mengikat tali sepatunya itu. Kemudian
Hyobin merogoh saku mencari ponselnya yang bergetar.
“Sepertinya
aku harus pulang sekarang.” Hyobin berdiri sambil merapikan rok-nya yang
sedikit terlipat. Saat akan berbalik, Hyukjae menahannya.
“Permisi,
tapi sepertinya aku ingat seseorang yang berjanji akan menjadi santaclause-ku.”
“Besok saja ya? aku sedang terburu-buru. Tomingse
menghamili kucing tetanggaku.”
“Kalau
kau pulang sekarang, aku akan menghamili tetanggamu agar kau memperhatikanku.”
“Ya!”
Hyobin memukul kepala Hyukjae dengan keras. “Itu berbeda, bodoh! Kau ini kenapa
menyebalkan sekali sih?”
Hyukjae
terkekeh sambil mengusap kepalanya yang pening. “Aku hanya bercanda, Sayang.
Kau takut sekali kehilanganku ya?”
Hyobin
hanya diam dengan bibir cemberut. Hyukjae menariknya untuk kembali duduk, lalu
berjongkok di hadapan Hyobin. “Maafkan aku, ya?”
Hyobin
sedikit-banyak luluh pada suara Hyukjae yang begitu lembut. “Janji jangan
ulangi lagi?”
Hyukjae
mengangguk manakala menautkan kelingkingnya di kelingking Hyobin. “Jadi, Santaclause, bisakah kau memberiku gadis
bernama Lee Hyobin untukku?”
Senyum
hangat Hyobin mencapai matanya. Laki-laki ini, menyebalkan sekali kan?
“Ah, permintaan
tadi tidak jadi saja—diam dulu. Aku akan memintanya untuk natal tahun depan.
Untuk hari ini, aku ingin merasakan ciuman santaclause
yang menurut kabar begitu memabukkan,” kata Hyukjae saat Hyobin akan menyela.
Setelah
berpikir sebentar, Hyobin menyetujuinya. “Oke, tapi kalau kau tepergok memasang
tampang puas, aku akan menendang bokongmu.”
“Sayang,
itu sih sudah pasti.”
==
“Oppa.
Sedang apa?” Sungyoong duduk di hadapan Jongwoon.
Pria
itu sedang membaca buku di meja. “Hai.”
“Kau
membaca apa?” Sungyoong memiringkan kepalanya hanya supaya bisa melihat halaman
depan buku yang dibawa Jongwoon. “Kau suka William Shakespeare?”
Jongwoon
mengangguk. “Lumayan.”
Meraih
sebuah buku, Sungyoong mulai membukanya. “Oppa?”
“Hmm?”
“Sebelum
denganku, berapa kekasihmu?”
Jongwoon
berhenti dan memandang Sungyoong yang sedang membaca. “Mungkin 5. Atau 6? Tidak
tahu. Sudah lupa.”
Mendongakkan
kepala dari buku, Sungyoong memiringkan kepalanya membalas tatapan Jongwoon. “Sungguh?
Aku kira menembus 10.”
Pemuda
itu menggeleng. “Aku ini kan pemalu. Menyukai diam-diam, begitu berani
mengatakannya ternyata dia sudah memiliki pasangan.”
Membelalak
kanget, Sungyoong memajukan kepalanya. “Sungguh? Ya ampun, Oppa. Kau ini memalukan sekali.”
“Aku
tidak memalukan. Aku ini tampan.”
Sungyoong
hanya menatap Jongwoon yang masih terbahak menertawakan ucapannya sendiri
dengan ekspresi seperti =..=
Masih
berusaha menghentikan tawanya, Jongwoon menatap Sungyoong dengan dalam dan
lembut. “Masa lalumu milikmu, masa laluku milikku. Tapi masa depan adalah milik
kita.”
Sungyoong
tersenyum bahagia. Jongwoon hanya memandangnya dan tersenyum dengan senyum yang
sangat memesona, melengkung sempurna membingkai giginya. Setiap kali
melihatnya, Sungyoong bagaikan kesetrum.
Lalu
bayangan indah itu dirusak alarm ponselnya. “Sepertinya aku harus pergi.”
Sungyoong beranjak dari tempatnya. “Sampai bertemu lagi, Oppa.”
Baru
dua langkah, Jongwoon menangkap sikunya. “Kau sudah tahu peraturannya, Sayang.
Ciuman. Di bibir. Dan kau bisa pergi. Bagaimana?”
Sungyoong
menatap jengah ke arah Jongwoon, tapi tetap mencium bibir pria itu dengan
sayang.
Pada saat-saat seperti ini, batin Hyobin. Aku merasa sedang berada di tengah-tengah film India.
==
[Few months later]
PERINGKAT UJIAN
1. Yoon
Chanyoung
2. Kim
Heebum
3. ......
4. ......
8.
Choi Raejoon
13.Lee
Hyobin
27.
Kang Sungyoong
==
[Suatu
hari...]
Tidur seorang pria begitu gelisah. Keringat
mengucur dari wajahnya yang tampan. “Tidak. Jangan.” Mengigau, pria itu menggapai
udara kosong di atasnya.
“Kaulihat
kan?” bisik Raejoon. “Dia benar-benar patah hati.”
Menatap
iba, saat ini Heebum, Hyobin, Raejoon, dan Sungyoong sedang berdiri di ruang
olahraga mengamati Donghae yang tertidur dan seringkali menyebut nama Hyukjae
di igauan-nya.
“Ya!”
Sungyoong melirik tajam ke arah Hyobin. “Lihat perbuatanmu. Kau menyakiti
hatinya begitu dalam, Hyo.” Lalu menatap Donghae dengan mata berkaca-kaca.
“Enak
saja,” protes Hyobin. “Memangnya salahku kalau Hyukjae menyukaiku? Dia kan
normal.”
Tak
mempedulikan Hyobin, Sungyoong mengepalkan tangannya ke udara memberi semangat
ke arah Donghae. “Donghae-ya, kau
harus berjuang, oke?” bisiknya.
“Hatinya
pasti berlubang.” Raejoon menggeleng iba menatap Donghae.
Heebum
mengangguk setuju. “Lubang yang lebih banyak dari keju Swiss.”
Hyobin
seperti tenggelam di lembah kebingungan dan merangkak di alam orang-orang
tersesat. “Ya! Kalian ini kenapa sih?”
Melangkah
keluar, ketiga temannya hanya menghedikkan bahunya tak peduli.
“Kalian
akan ke mana hari ini?”
“Aku
berhasil memaksa Heechul Oppa untuk
pergi piknik. Lalu kami akan melihat supermoon
dengan teleskopku.”
Merasa
tertarik, Sungyoong melangkah memimpin mereka. “Wah, supermoon? Asyik. Aku ini penggemar berat sailormoon. Apa sailormoon dan
supermoon berteman? Atau mereka
adalah musuh? Kenapa aku bisa ketinggalan berita kalau seri terbaru sailormoon sudah ada ya?”
Lutut Raejoon,
Hyobin, dan Heebum goyah, mereka menatap horor ke arah punggung Sungyoong. Membiarkan
gadis itu beberapa langkah berjalan di depan mereka. Menghela napas dan
menggeleng prihatin, Raejoon memutuskan pergi menjauh ke kanan, Hyobin pergi ke
arah kiri, dan Heebum cepat-cepat memutar balik arah jalannya.
Sungyoong
masih bercerita panjang-lebar, lalu berbalik dan melihat tiga punggung lainnya
sudah menjauh.
“Ya! Kenapa
kalian pergi?”
==
Karena
kelak yang aku cari adalah orang yang berhenti membuatku mencari. -sedimensenja-
Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa
kecerdasan, cinta itu tidak cukup. –B.J. Habibie-
Kita mungkin akan jatuh lagi. Dan mungkin akan berlutut lagi. Namun satu
hal yang pasti, lanjutkan. –Kim
Tan ;3 & Cha Eunsang-
Cho Kyuhyun, you’re the most valuable God’s creature in this world.
Thanks for becoming what you are today. I love you yes yes sure. –Alfi-
=END=

"Membaca ini- rasanya seperti menonton drama dalam imajinasiku." -taranajmia-
BalasHapusBerasa kayak stephenie meyer yang komen di novel mortal instrumentsnya cassandra clare, hahahahaha
Kamu tau? Aku suka banget yang scene di mobil! Omooo geli~
Panjang banget, dan enggak bosenin gegara ada banyak kata "bokong" di tulisanmu ini, upik upik.
Pas banget kamu posting ini sekarang, lagi anget angetnya kim tan nih haha
Aaakkk waktu ada kata "kim woo bin- atau young do-" langsung senyum senyum aku haha enggak tahannn.
Keren!
xD nggaya banget sih tang, emang situ stephenie meyer.
Hapusyang di mobil tu dari otakku sendiri lo.... xixixi aku tau aku ini jenius.
di novel J.D.ROBB banyak bokong sih, sedikit banyak terinspirasi. keren lo novelnya.. beli makanya :^)
aduuuuh, si Tan-a emang huuuwot! hot! Kyuhyun wanna be lah.
terimakasih ya sudah meluangkan waktu buat baca dan comment. Aku kan pemalu
Ini suasananya the heirs banget. >,<
BalasHapuskenapa kau jadiin kim tan kakakmu, itu tidak adil upik. *lupakan*
over all aku suka, walaupun itu kata "bokong" selalu hinggap (?) tapi tak apalah, aku sukaaaaa....
bikin lagi ya upik, tak tunggu cems ^^
Fighting!!