Recommended song : Super Junior - Thank You
Matanya masih terpejam. Selang oksigen bertengger
di bawah hidung mancungnya. Tangannya yang dingin terasa di
genggamanku. Awalnya aku tak mengira pengorbanannya
akan sebesar ini. Aku mengerti perjuangan seorang ibu. Tapi
tak cukup mengerti dampaknya akan begitu besar. Dia. Yang sedang ku genggam
tangannya. Istriku.
Keadaannya seperti ini setelah
melahirkan anak kami. Dia tidak pernah mengeluh. Sama sekali
tidak. Jika dia membagi kesakitannya, paling tidak sedikit saja padaku, aku jamin dia akan baik-baik saja sekarang.
Andai Tuhan mengizinkanku menebak jalan pikirannya sekali saja.
Sudah 2 hari dia tak sadarkan diri. Tak tahukah dia bahwa kebungkamannya itu menyakitiku?
Wajahnya tidak berubah. Tetap
cantik. Sangat cantik seperti yang sudah-sudah. Bahkan bibir pucatnya tak akan
sanggup memungkiri kenyataan itu. Kusibak rambut yang
menutupi keningnya lalu mengusapnya lembut. Biasanya dia akan langsung mengantuk dan berakhir tertidur di pangkuanku jika hal ini
kulakukan. Aku menyiumi pipinya yang dingin.
Apa yang bisa kulakukan untuk
membangunkanmu, Sayang? Kau menyiksaku.
Cho Heebum. Satu-satunya
wanita yang kuizinkan untuk membuatku mencintainya. Mendiang ayahnya adalah rekan bisnis ayahku dulu. Entah karena apa, sebelum meninggal, beliau memberikan seluruh
perusahaannya dan putri semata wayangnya untuk kujaga.
Tidak sulit untuk mencintai
gadis ini. Begitu mudah. Sebegitu mudahnya hingga hanya menatapnya sepersekian
detik cukup saja untuk meyakinkanku bahwa dia harus menjadi
milikku.
Usianya 21 tahun saat kami
menikah. Aku tahu saat itu dia belum mencintaiku sepenuhnya tapi dia tidak menolak lamaranku karena kutahu satu hal,
kebahagiaannya bergantung pada kehadiranku, sama halnya denganku, kebahagiaanku
bergantung pada kehadirannya.
Setelah satu tahun usia pernikahan kami, dia mengandung anakku. Anak kami. Banyak yang meramalkan betapa rupawannya anak kami kelak. Mengingat istriku tidak bisa dikelompokan ke dalam wanita berwajah
menengah ke bawah. Istriku layaknya jelmaan Aphrodite.
Begitu sempurna. Dan aku, tidak sedikit yang menjuluki kami pasangan paling
rupawan yang pernah mereka temui. Entah itu kenyataan atau sekadar bualan mereka untuk
menyenangkan kamu.
Yang kutahu, istriku adalah yang terbaik.
Aku tahu dia cemas menjelang persalinan. Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Dia cemas jika tidak bisa menyaksikan
perkembangan anak kami ke depan. Dan aku tahu, dia juga mencemaskanku. Tak ada gunanya menunjukan kecemasanku saat itu. Jika kami sama-sama
cemas, siapa yang akan menengahi?
Aku meyakinkan dia bahwa
semuanya akan baik-baik. Bahwa tak perlu ada kecemasan yang perlu dia rundung karena aku tak akan membiarkan hal buruk akan menimpanya. Bahwa ayah dan ibunya di surga sana akan selalu membujuk Tuhan agar menurunkan malaikat guna membantunya melalui ini semua. Bahwa dia akan dapat
menyaksikan perkembangan anak kami hingga generasi berikutnya.
Aku telah menawarkan jalan
operasi untuk dia melahirkan. Tapi dia menolak. Dan jika saat itu aku tahu ini akan berakibat buruk pada wanita yang kucintai,
aku akan memaksanya untuk melakukan operasi. Tak peduli walaupun dia bersujud
agar aku tak melakukannya.
Aku merasakan jarinya bergerak
dalam genggamanku. ”Sayang, kau mendengarku?” Kulihat matanya mulai bergerak meskipun masih terkatup.
Aku meremas tangannya pelan.
Jantungku berdebar menantinya. Mata coklat itu sedikit demi sedikit terbuka, mengerjap menyesuaikan cahaya ruangan.
Aku mengembuskan napas lega. Dia hidup. Istriku masih di sini untuk menua bersamaku. Terima kasih, Tuhan.
”Air...” Suaranya begitu lirih, tapi tetap dapat kutangkap.
Aku menjangkau segelas air di meja dan membantunya minum.
”Aku panggilkan dokter.” Saat aku beranjak berdiri,
tangannya mencekalku.
”Tidak usah. Kau di sini saja.” Aku akan menurutinya. ”Anak kita?”
Aku menelengkan kepalaku ke sudut kamar. Anak kami sedang bersama ibuku dan Ahra noona. ”Apa nama favoritmu untuk anak kita?” tanyaku
Kulihat dia berpikir. ”Heehyun. Cho Heehyun”
Aku berjengit. ”Kenapa Heehyun?” Dia menunjuk dirinya sendiri kemudian menunjukku.
Dia lalu aku. Heebum-Kyuhyun. Heehyun. Tidak buruk. Sama sekali tidak.
Aku mengangguk. Tak kusadari bibirku tersenyum
lebar. Halo Heehyun, anak appa eomma. Selanjutnya
hanya obrolan ringan dan lirih yang kami ciptakan, tapi bagiku, begitu
berharga.
”Aku ingin melihatnya.” Dia menyibakkan selimut dari kakinya. Aku membantunya duduk. Dia bergerak pelan kemudian kulihat tubuhnya
tersentak. Wajahnya terkesiap.
”Hee-ya, ada apa?” Dia menatapku seakan ada bencana yang
terjadi. Kulihat dia meraba kakinya.
”Kyu, kakiku.”
”Kakimu kenapa?” Aku segera beranjak ke sisi ranjang.
”Kakiku tidak bisa di gerakkan
kyu!” Oh Tuhan, apa lagi ini?
”Tenang,
Sayang.” Airmata mulai mengalir
membasahi wajah pucatnya,
“Kyu... Kakiku!” Dia memukul-mukul kakinya sendiri. “Bergeraklah, brengsek! bergerak!”
Aku mencengkeran tangannya kuat. ”Tenang, Hee-ya.” Tanpa kusadari suaraku
bergetar. Aku memeluknya.
”Kyu... kakiku.” Dia meraung-raung dalam dekapanku.
Tangisannya memecah kesunyian. Di sudut itu, kulihat
ibuku yang ikut menangis. Sial! Air mataku tak terbendung. Ahra noona mendekat.
”Kyu, ada apa? Heebum?”
”Panggil dokter! Cepat!”
0,o
Aku berjalan gontai menuju kamar rawat
Heebum. Kenapa rasanya begitu berat? Aku mendudukan tubuhku di ruang tunggu. Hanya mencoba menjernihkan
pikiranku. Ini terlalu sulit dan aku tak ingin Heebum melihat keadaanku. Seseorang meremas pundakku. Aku
menoleh dan melihat Ahra noona.
”Apa yang kau
lakukan di sini?”
”Tidak ada.”
”Aku tahu ini
berat. Masuklah. Di saat seperti ini yang dibutuhkan
Heebum hanya kau.”
Saat aku membuka
pintu hal yang kulihat adalah ibuku yang memeluk
Heebum erat. Aku mendudukan badanku di sisi
ranjang. Tanganku mengusap air matanya, menyingkirkan rambut dari keningnya yang basah oleh keringat dan air mata.
”Apa kata dokter, Kyu?” tanya ibu.
Aku memaksakan
senyumku. ”Terapi dapat memulihkannya”
”Kau bohong.” Istriku tak sebodoh itu untuk dibohongi. Saat ini aku hanya membutuhkan dia
di dekapanku. Menguatkannya. Aku juga butuh dia untuk menguatkan diriku sendiri.
”Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa, Hee-ya.”
Kenapa harus
istriku? Kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain?
==
Hari ini Heebum
diperbolehkan pulang. Aku sudah
memindahkan seluruh perlengkapan kamar kami dari lantai atas ke lantai bawah sementara rumah kami sedang dalam masa rekontruksi untuk memudahkannya.
Aku memberinya
kursi roda yang dilengkapi tombol-tombol agar dapat membantunya. Kursi roda
berwarna biru favoritnya. Semua benda di rumah kami sudah kuganti
dengan barang-barang yang lebih fleksibel dengannya. Mobil, kursi, lemari, semuanya. Kerabat kami mengetahui keadaannya dan
mengerti.
Aku memandangi dia yang sedang mendekap Heehyun di
pangkuannya. Tak jarang mendaratkan ciuman di pipi Heehyun. Dia terlihat begitu
bahagia. Binar matanya mengatakan itu. Dan kuyakin dia tidak menyesal
mengorbankan kakinya untuk anak kami. Semoga benar.
==
Hari ini aku
membatalkan rapatku untuk mendampingi Heebum terapi. Aku mendorong kursi rodanya sepenjang
lorong rumah sakit. Sudah ada
kepala dokter spesialis yang menunggu kami di
depan pintu. Dia temanku di Yeomkwang High School dulu. Kim Seungyeon.
Aku membaringkan
istriku di ranjang ruangan itu. ”Kyu. Aku takut.” Aku mengelap keringat sebiji jagung di
keningnya.
”Tidak apa-apa, Sayang. Apa yang kau takutkan hmm?” Dia hanya menggeleng.
Aku meremas tangannya memberi dukungan.”Kau pasti bisa, Hee-ya” Dia mengangguk saat aku mengusap pipinya lembut dan
beralih mengecup pipinya singkat. ”Aku keluar ya?”
Aku melangkah
keluar ruangan. Sialnya pengunjung dilarang menunggui pasien di dalam. Ruangan
ini harus steril.
==
Suara Seungyeon membuyarkan
konsentrasiku yang sedang membaca laporan perusahaan melalui tablet.
”Ah, sudah
selesai?”
Dia mengangguk. ”Istrimu sedikit lemas. Biarkan dia
tertidur beberapa menit.”
”Boleh aku masuk?”
”Silakan.”
Aku memasuki
ruangan itu. Heebum yang terbaring di
ranjang masih mengenakan jas pasien. Keringat membaluri tubuhnya, terlihat benar-benar lemas.
”Apa yang kau
rasakan, Sayang?” Aku mengusap rambutnya sayang.
”Lelah.”
”Tidurlah dulu.” Aku mengecup keningnya, membiarkannya
tertidur. Apakah sakit, Hee-ya? Katakan padaku.
”Hei, ayo mengobrol.” Seungyeon melongokkan kepalanya. Dan aku menyanggupi tawarannya.
==
Tak terasa usia Heehyun menginjak 6 bulan. Wajahnya begitu rupawan untuk
anak seusianya. Gen-ku
yang lebih mendominasi fisiknya. Dia sedang tertidur di kamarnya sekarang.
”Kyu, temani aku
terapi.” Heebum mengarahkan kursi
rodanya mendekatiku.
Aku memindahkan dia ke pangkuanku.
”Bukankah baru
kemarin kau terapi?”
Dia menatapku memelas. ”Ayolah Kyu...”
Aku mencuri-curi
kesempatan untuk mengecupinya. Mata. Hidung. Pipi. Dagu. Bibir. Apapun. ”Kau tidak lelah hmm?”
Dia menggeleng.
Dan aku tak sanggup menolaknya. Entah ini perasaanku
saja atau tidak, tapi dia benar-benar semangat melakukan
terapi itu. Aku tak tahu semangat jenis
apa yang menderanya. Yang kulihat justru wajahnya meredup saat aku
mengantarnya.
Pada kenyataannya
terapi itu tak memberikan efek apapun pada tubuh istriku. Itu hanya menyedot
habis energinya.
==
”Hai sepupu. Ada kepentingan apa sampai-sampai sang CEO ke ruanganku? Sudah bosan dengan segala kenyamanan di
ruanganmu hmm?”
Tak kutanggapi kicauan
Donghae Hyung. ”Kenapa aku begitu kesal hari ini?
Kesalnya benar-benar mencekik leherku tapi aku tak bisa marah.”
”Masalah istrimu
lagi? Ah, bodohnya aku yang bertanya seperti itu. Apalagi yang bisa membuat
pria super dingin dan tanpa emosi sepertimu menjadi uring-uringan. Kali ini apa
lagi?”
”Kupikir Tuhan itu tidak adil. Kenapa harus istriku yang mengalami hal seperti ini? Kenapa bukan orang
lain?”
”Stupid. Dengarkan
aku, kau tahu kan tidak ada manusia sempurna
di dunia ini?
Dan coba lihat istrimu, dia itu terlalu sempurna. Berfisik dewi, pandai, baik hati, tak ada yang kurang
darinya. Jika keadaan seperti itu
diteruskan, akan berapa banyak lagi manusia yang memprotes Tuhan karena
menciptakan manusia sesempurna istrimu tapi tidak pada mereka?”
”Kau tahu, Hyung? Aku tak pernah mempermasalahkan bahwa
dia tidak bisa berjalan lagi. Terbesit pun tidak. Dia hidup, itu lebih dari
cukup. Tapi kenapa justru dirinya sendiri yang mempermasalahkannya?”
”Apa lagi sekarang?”
”Belakangan ini
dia begitu semangat menjalani terapi. Aku sebenarnya mencurigai hal ini. Dia
terlihat tidak senang saat menjalaninya. Aku tak tahu apa alasannya sampai tadi
pagi tiba. Heebum berniat mendekatkanku
dengan Seungyeon dan ingin aku menceraikannya. Dia mengatakan hal ini pada
Seulrin yang sayangnya kekasihmu itu tidak pandai menyimpan rahasia.
“Entah Heebum berubah bodoh atau apa.
Aku tak tahu jalan pikirannya. Darimana dia dapat pikiran tidak masuk akal seperti
itu?”
==
Aku akan mengikuti alur permainannya.
Yang pasti aku tak akan menjauhinya, justru sebaliknya. Semakin dia menjauhiku,
aku akan semakin menariknya dalam dekapanku.
Aku selalu
menemaninya saat terapi, dan aku mendampinginya saat terapi itu dilaksanakan.
Persetan dengan ruangan harus steril. Aku selalu steril.
Aku menungguinya
saat listrik-listrik berdaya rendah itu di alirkan ke kepalanya.
Aku tahu ini menyakitkan, tapi kenapa dia tidak pernah
mengeluh?
Saat terapi telah
selesai dan dia harus tidur untuk mengembalikan kondisinya, aku tak lagi
meninggalkannya hanya untuk sekadar mengobrol dengan Seungyeon. Aku lebih
memilih menemaninya hingga dia terbangun,
aku akan membaringkan tubuhku di sampingnya, mendekapnya dan tertidur bersama. Ini jauh lebih baik.
==
Aku tahu dia belum tidur. Dia memunggungiku.
Selalu seperti ini. Dia pikir
aku tidak tahu bahwa dia selalu menangis sampai larut malam hingga membuatnya
lelah lalu jatuh tertidur. Aku selalu mengetahui hal
itu. Aku selalu terjaga saat dia menangis. Dan tidak kuasa melakukan apa pun.
Seperti saat ini, dia menangis lagi, dan aku sudah tak sanggup menyimpannya
sendiri. Aku memeluknya. Kusadari tubuhnya menegang karena terkejut. Aku
menariknya dalam dekapanku. Punggungnya kurapatkan ke dadaku. Aku mengecupi puncak
kepalanya dengan sayang. ”Sudah puas menangisnya?”
Dia hanya diam.
”Aku tahu semua tentangmu, Hee-ya. Aku tahu
rencanamu untukku dan Seungyeon. Katakan padaku, darimana
datangnya ide gila seperti itu hmm? Kenapa
kau melakukan ini padaku?” Aku berbisik
di telinganya. Aku tak mungkin mampu membentaknya.
”Aku tak cukup
baik untukmu, Kyu. Aku... aku merasa malu pada diriku sendiri.”
”Apa yang membuatmu
malu? Kau masih sesempurna dulu. Aku tak merasa ada yang berubah.”
”Kaki ku...”
”Apakah sepasang
kaki menjadi prioritas utamamu selama ini? Aku tak memedulikan kakimu, Sayang.”
”Kau mungkin tidak. Belum tentu orang lain, Kyu.”
”Tidakkah kau merasa
bahwa orang lain justru mengagumimu? Seorang ibu
yang kehilangan fungsi kakinya karena memperjuangkan anaknya untuk merasakan
kehidupan di dunia. Apa itu hal yang memalukan menurutmu?”
Aku mendengar
isakan tangisnya. Sungguh, ini
menyiksaku. Tapi aku harus menyelesaikan ini. ”Apa kau tidak mencintaiku sampai begitu
mudahnya mengumpankanku pada wanita lain? Kau bosan padaku, Hee-ya? Aku
tidak cukup berharga buatmu?”
”Tidak. Bukan
seperti itu, Kyu.”
”Lantas?”
”Aku sangat mencintaimu. Rasanya hampir mati saat
melihatmu dengannya. Tapi jika itu yang kau
inginkan, aku takkan
menghalangi.”
”Cih.... kenapa kau jadi sok tahu seperti ini? Semua yang kuinginkan
sudah aku dapatkan. Kau. Heehyun. Itu pemberian Tuhan yang paling kusyukuri, jika kau ingin
tahu.” Ku dengar dia terkekeh. Membuat senyumku mengembang. ”Aku ingin kau mengungkapkan isi hatimu padaku. Kau tak pernah
mengeluh padaku, Sayang. Dan hal itu membuatku frustrasi. Kau mengerti?”
Dia mengangguk.
”Bagaimana jika Heehyun malu dengan keadaanku?”
”Anakku takkan seperti itu. Eomma-nya adalah wanita paling sempurna di dunia. Apa
yang membuatnya maulu?”
”Kuharap begitu.”
Kesunyian
melingkupi kami berdua. Aku yang sibuk ’menandai’ tengkuknya. Dan dia yang
sibuk memainkan jariku.
”Kyu...”
”Hmm?”
”Kau tidak
keberatan jika aku tidak bisa berjalan kan?”
”Tentu saja.”
”Bolehkah aku
menghentikan terapi itu? Sangat menyakitkan jika kau mau mendengarku mengeluh.”
Aku terkekeh dan
mempererat pelukanku sembari menyerukan kepalaku menciumi lehernya. ”Tentu saja boleh, Sayang.”
Lega rasanya. Ini sudah lebih dari cukup. Keajaiban yang masih menaungi keluarga
kami. Entah apa yang terjadi jika saat itu Tuhan mencabut hak hidup istriku.
Aku lebih
menyegani seperti ini. Bukannya aku senang dia tidak bisa berjalan. Tapi dengan
begini, dia lebih bergantung padaku. Dan aku menyukai
kenyataan tersebut.
Dia tak perlu kakinya untuk menopang hidupnya. Ada aku yang akan melakukannya untuknya. Aku mencintaimu, Cho Heebum.
=END=