2012/07/11

{Fanfiction} Short Story about My Family - Dear My Family


 ===
 Author : Alfi Cho (GaemFi)

Genre : Life, Family, Romance

Cast : 
Cho Kyuhyun - Choi Siwon - Kim Heechul - Lee Donghae - Lee Hyukjae
Choi Heebum - Lee Cheonsa-Choi Raejoon - Choi Seulrin  - Choi Hyobin

===


===

Monday. 7 a.m. Choi’s Residence
(Raejoon’s point of view)
Sinar matahari menyusup masuk melalui jendela. Aku membuka jendela kamarku yang membuat angin segar khas pagi bebas menyelinap masuk dan mempertontonkan kebun ibu yang ada di bawah. Memperlihatkan burung-burung yang sedang mandi di air mancur kecil milik ibu. Dan sepertinya aku juga harus mandi.
Hari ini aku dan Heechul oppa akan melakukan survey untuk tempat pertunangan kami. Aku bahkan masih belum percaya bahwa pria menyebalkan itu melamarku. Cincin di jari manisku. Benar-benar cantik seperti aku. Hihihi. Ya! Kenapa jantungku berdegup seperti ini? Bodoh.
.,.
Aku duduk di samping Heechul oppa yang sedang menyetir. Kami berada di mobil oppa sementara Ibu, Heebum, Seulrin dan Hyobin berada di mobil ayah. Jujur saja, aku tak tahu pria ini akan membawaku kemana. Dia sendiri yang berinisiatif untuk mengurus tempat berlangsungnya acara, jadi sampai sekarangpun aku tak tahu akan seperti apa tempat itu. Sepertinya ini tak akan menjadi perjalanan yang singkat. Lebih baik aku tidur daripada mataku kelelahan karena terlalu banyak mengagumi kelebihan pria di sampingku ini. Hah, bicara apa aku?
.,.

Aku terbangun saat merasa mobil ini berhenti bergerak. Dan benar saja.

“Sudah sampai?”

Dia hanya bergumam menanggapai pertanyaanku dan langsung keluar dari mobil. Aku langsung mengikutinya karena aku yakin dia tidak segan akan meninggalkanku jika aku membuatnya menunggu barang 10 menit saja. Kulihat keluargaku memasuki sebuah bangunan cantik yang berdiri kokoh. Dan otakku masih saja tidak berjalan untuk mengetahui dimana ini. Yang jelas angin segar berkejaran di sekelilingku dan hij-

 “Astaga.. Indah sekali...,” entah bagaimana wajahku sekarang tapi ini benar-benar menakjubkan. Bukit-bukit itu seperti cuilan surga yang terlempar ke bumi. Aku tidak melebih-lebihkan. Dan dalam imajinasi gilaku, pria di sampingku ini adalah malaikat surga yang akan melayaniku. Ha-ha-ha. Konyol!

“Baguslah kalau kau menyukainya. Tidak berterimakasih padaku?”

Dia berdiri di sampingku. Sepertinya menatapnya adalah pilihan yang salah karena untuk beberapa saat justru aku terpaku memandangi wajahnya yang terlalu menyilaukan. Bukan wajahnya sebenarnya, tapi sinar matahari itu. Astaga.. kenapa bisa silau sekali di sini? Harusnya aku memakai kacamata. Beralih dari kacamata, kenapa aku harus berterima kasih?
“Untuk apa?”
Giliran dia yang menatapku, “Kau pikir menemukan tempat seperti ini mudah? Aku harus meluangkan waktuku yang sangat berharga, kau tahu?”
“Terima kasih!” dia merusak naluri berliburku hari ini .__- Perhitungan sekali. Menyebalkan!
“Galak sekali. Ah iya, aku ingin menunjukanmu sesuatu,” dia merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda berbentuk kubus kecil yang dilapisi beludru kurasa. Cincin. Tapi bukankah dia sudah memberiku cincin?
“Tunggu, kau kan sudah memberiku cincin.” Aku mengangkat telapak tanganku di hadapannya.
“Yang ini lepas saja.”

Dia menarik cincin itu. Sedikit susah. Yang ada dia justru mencabutnya paksa, “ Ya!! Sakit bodoh!”
Aku memukul bahunya sedikit keras. Jariku yang cantik sekarang menjadi merah. Sedih sekali..

“Ah, maaf. Terlalu lama dan kau tahu kesabaranku sangat tipis. Kau bertambah gemuk eo?”
Apa katanya?

“Ya! Bisakah kau tidak usah membicarakan hal ini? Paling tidak berpura-puralah tidak tahu! Menyebalkan!”
“Kau marah? Sayang sekali. Sepertinya aku harus mengembalikannya ke toko setelah ini.”
Dia sengaja membuka kotak cincin itu tepat di depan mataku. Aku memang belum melihatnya tadi. Tapi sungguh, benda ini cantik sekali. Lebih molek dibanding cincin sebelumnya.
“Semuanya sama. Langsung melunak jika melihat barang mewah.”
“Kau ini cerewet sekali!” aku tidak menatapnya kali ini, benda cantik digenggamanku lebih menarik perhatian daripada harus melihat wajah menyebalkannya itu.
“Aku memang berbakat membuat matamu berbinar seperti itu.”
Ya ya ya.. terserah apa katamu Kim Heechul.
Suaranya terasa dekat di telingaku. Tiba-tiba kedua tangannya ikut memegang cincin ini. Posisinya masih berdiri di belakangku hingga aku dapat mendengar dengan jelas setiap tarikan nafasnya. Sesuatu yang membuatku rela menukarkan apa saja untuk menahannya di sini. Tinggal bersamaku.
Kedua lengannya mengurungku dalam tubuhnya, jika boleh kubilang, bukan memeluk, tapi menekan erat. Hanya sebentar, karena setelah itu pelukan ringan yang ada. Kami menggoyangkan badan bersama, menikmati angin yang berhembus menerbangkan rambut dan sesekali aku merasakan sentuhan kecil di puncak kepalaku.
.,.
(Seulrin’s point of view)
Raejoon dan Heechul oppa sedang sibuk mengurusi urusan mereka. Dan karena tingkat kebosanan yang sudah melebihi batas kepala, aku, Heebum dan Hyobin memutuskan untuk menelusuri daerah ini. Kapan lagi melihat pemandangan yang cantik seperti ini?
“Hei, kau mau kemana?” teriakku saat Heebum melangkah menjauhiku dan Hyobin. Dia berbincang dengan pemuda yang sepertinya menyewakan motor trail. Tak sampai 1 menit Heebum sudah berada di atas motor itu. Seperti dia bisa saja. Wajah kegirangannya itu benar-benar tak layak untuk dilihat.
Dia mulai melajukan motornya. Entah apa yang terjadi, kejadian itu berlalu begitu saja. Yang kulihat Heebum terjatuh dan terdengar debuman lumayan keras. Kami yang melihatnya langsung bergegas menghampirinya.
“Auu.. Lenganku!”
.,.
Hospital
Dari posisiku duduk sekarang terlihat Heebum yang tidur tengkurap di ranjang rawatnya. Wajahnya sedikit pucat. Kami berada di rumah sakit Seoul karena tak mungkin jika dia harus dirawat di rumah sakit daerah itu. Untuk tidurpun dia harus diberi sedikit suntikan. Saat kejadian tadi dia tidak pingsan. Dia tetap sadar dan itu justru membuat sepupu bodohku merasakan sakit dari lengan kanannya yang retak. Dia hanya meringis saat bahu atau anggota badannya yang terluka bergesekan dengan ranjang dan justru hal itu yang membuatku nyilu sendiri. Baguslah jika dia tertidur.

Samchon dan Komo sedang mengurus administrasi. Sedangkan Kyuhyun oppa dalam perjalanan kemari. Hah.. pasangan ini, entahlah.
.,.
(Heebum’s point of view)

Badanku.. Aku nyaris tak percaya bahwa aku masih bisa hidup dengan rasa sakit seperti ini. Sakit sekali. Aku mengedarkan pandanganku. Tadi sebelum aku tidur ada Seulrin, Hyobin, Raejoon, dan Heechul oppa di sini. Sekarang hanya ada Seulrin yang menonton TV di sofa pojok dan Kyuhyun yang duduk di kursi sampingku. Aku bahkan tak tahu kapan dia datang.

Dia hanya diam. Dan aku yakin bahwa tubuhku tak terlihat jika saja pandangan matanya tidak menatapku setajam ini. Diam seperti ini membuatku mengantuk lagipula mataku belum kubiasakan untuk terbuka terlalu lama dan pria ini tidak tampak ingin mengatakan sesuatu.

“Tetaplah terjaga.”

Suara rendah itu mengacaukan keegoisanku untuk menuntaskan rasa kantuk berlebih. Benar-benar ampuh untuk membuatku melupakan keinginan pribadi dan menepati perkataannya. Pada akhirnya niatku melanjutkan tidur harus kutunda. Untuk pria satu yang merepotkan ini.

Tangannya terulur mengusap kepalaku, nyaman dan membuat hati menghangat,“Gadis bodoh.”

Mwo? Aku memukul tangannya pelan, “Bagaimana jika aku benar-benar menjadi bodoh?!”
Dan dia hanya diam. Mungkin sedang membenarkan ucapanku. Tidak mungkin dia mau mempunyai kekasih yang bodoh karena kutukan yang keluar dari mulutnya sendiri. Aku mencoba beranjak dari posisiku.

“Assh..” aku meringis merasakan lenganku. Rasanya.. parah sekali..

“Hati-hati,” Kyuhyun melingkarkan lengannya di sekitar bahuku dan mencoba membantu membenahi posisiku tapi sepertinya ini sebuah kesalahan. Astaga!!

“Auw! Ya!! Jangan pegang di situ! Itu sakit sekali!” dan akhirnya posisiku membaik. Tapi tetap saja rasanya tulangku dicabut secara paksa. Sakit... T,T

“Apa yang kau rasakan?”

“Rasanya badanku remuk semua jika kau mau tahu.”

Dia diam. Tidak biasanya yang selalu ada teriakannya. Apa ucapanku barusan terlalu berpengaruh? Aku tidak benar-benar serius mengatakannya, ya meskipun memang sakit di sana-sini. Tapi dia tak perlu memperlihatkan tatapannya yang seperti itu.

“Kau terlihat menyedihkan, kau tahu? Baru beranjak dari sisiku sebentar dan berakhir seperti ini. Apa yang ingin kau dapatkan dari motor bodoh itu mm? Gadis bodoh dan ceroboh.”

Dia mengatai aku bodoh? Ceroboh? Dia pikir karena siapa aku seperti ini? Dia yang menolak untuk ikut pergi bersama. Jika bukan karena mati kebosanan aku juga tak akan menaiki motor yang katanya bodoh itu.

“Sudah? Sudah puas menghinaku?” kupikir dia akan menyemangatiku seperti di drama-drama yang sering kulihat, ternyata tidak sama sekali, “Kau pulang saja.”
Aku membalikkan tubuhku. Menghadapkan punggungku untuk dia lihat. Jika aku baik-baik saja sudah kupastikan aku akan pergi. Aku pikir dia bisa membuatku merasa lebih baik. Jika begini lebih baik dia tidak perlu datang kemari. Aku tidur saja.

“Heebum...”

“Hee-ya..”

“Hei, aku tahu kau belum tidur.”

Tangannya mengusap dahiku. Dan pertahananku mulai runtuh jika sudah begini. Tapi tidak boleh. Tidak bisa.

“Oke! Baik! Baik! Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Sekarang kumohon buka matamu.”
Aku tetap memejamkan mataku.

“Baiklah, aku akan pulang. Kau istirahatlah dengan baik.”
Dia mengelus kepalaku lalu mengecup pipiku.

Dengarkan? Dia memutuskan untuk pulang tanpa berusaha sedikit lebih keras. Jika sudah begini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku yang akan merendahkan diri. Ini namanya senjata makan tuan. Astaga.. aku juga yang akhirnya harus bertindak. Baiklah, ini memalukan.

“Kyuhyun-a, jangan pergi..”
.,.
(Seulrin’s point of view)
“Satu suap lagi.”
Aku sedang menonton TV di dalam kamar rawat Heebum. Kyuhyun oppa sedang membujuk sepupuku itu untuk menghabiskan makanannya. Kalian tahu? Aku merasa seperti patung di sini. Diabaikan. Huhuhu.. sedih sekali. Tapi tidak masalah, aku akan memata-matai mereka hahaha.
Aku sempat hampir terjungkal tadi begitu mendengar permintaan Heebum agar Kyuhyun oppa tidak pergi. Padahal dia sendiri yang menginginkan Kyuhyun oppa pulang, tapi dia juga yang mencegahnya.
Heebum menggelengkan kepalanya, “Aku sudah kenyang. Sepertinya lambungku terluka gara-gara kejadian tadi sehingga membuatku cepat kenyang.”
“Mana ada yang seperti itu?” Kyuhyun oppa menyentil dahi Heebum.
Sebab yang tidak masuk akal. Kemungkinannya adalah keadaan tubuhnya yang tidak terlalu baik sehingga membuat nafsu makannya sedikit terganggu.
Heebum itu tipe perut karet. Entah kenapa lebar perutnya seolah-olah akan menyesuaikan sebanyak apapun jumlah makanan yang dia lahap. Gadis itu tidak akan cepat kenyang jika tidak ada banyak minuman untuk menggenapi asupan nutrisinya. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya menghabiskan makanan. Sangat cepat.
Akan menjadi sedikit terlambat jika makanan yang dia makan dalam keadaan panas. Dia akan menunggu makanan itu hingga dingin baru setelah itu mulai memakannya. Hal yang serupa dengan Heechul oppa dan samchon.
Keadaan sejenak sunyi. Aku mengintip lagi.
Heebum dengan mulutnya yang penuh sedang berusaha menelan makanan yang disuapkan Kyuhyun oppa sedikit demi sedikit.
“Sakit?” Kyuhyun oppa mengusap pelan luka gores di bawah ujung mata kanan Heebum.
“Ini?” Heebum menunjuk luka itu, “sedikit perih. Kalau lenganku sakit sekali.  Hihihi.”
“Kau masih bisa tertawa dalam keadaan seperti ini?” Cengiran Heebum mendominasi wajahnya.
Eomma dan nunna besok akan kemari.”
“Kau memberi tahu mereka?”
Kyuhyun oppa menyodorkan sesuap makanan ke arah Heebum.
“Sudah.. Sudah kenyang,” Heebum menjauhkan kepalanya dari sendok itu. Sepertinya Kyuhyun oppa menyerah karena dia mengembalikan sendok itu ke dalam mangkuk.
“Jelas saja aku memberitahu mereka. Kau ini aneh.”
“Harusnya tidak usah. Aku tidak enak sendiri.”
“Untuk?”
“Mereka pasti sedang sibuk dan justru memaksakan diri untuk datang.”
“Kau pikir mereka sibuk apa?”
“Aku tidak tahu. Tapi hidup mereka kan bukan hanya tentang aku Kyu..”
Kyuhyun oppa terdiam. Dan aku nyaris bersorak kegirangan saat Kyuhyun oppa mengecup pipi Heebum. Hal yang kecil memang, aku juga sering melakukan itu. Tapi akan menjadi lain saat aku melihat pasangan lain yang melakukannya.
“Kau ini cerewet sekali. Mereka hanya menjengukmu lalu pulang, bukan menyerahkan diri untuk dihukum mati, Hee-ya.”
.,.
“Sedang apa di sini?”
Aku menoleh. Salahku yang terlalu memperhatikan kedua orang itu hingga tak menyadari kedatangan Donghae oppa. Aku tersenyum lalu menghedikan daguku ke arah pasangan itu.
“Apa saja yang sudah mereka lakukan?”
“Kau akan memberiku apa jika aku memberitahu?”
“Perhitungan sekali. Kau sudah makan? Tidak lapar?”
“Lapar..”
“Ayo kita makan.”
Donghae oppa menggenggam tanganku. Hangat dan perlakuannya yang seperti ini seolah-olah membangunkan kupu-kupu di dalam perutku sehingga mereka berterbangan saat ini. Hahaha. Perumpamaan yang menjijikan. Tapi aku menyukainya. Apa saja asal itu menggambarkan perlakuan pria ini padaku selama hanya ada aku dalam radius pandangannya.
Dia mengajakku ke salah satu restaurant yang masih terletak di kawasan rumah sakit. Di dalam sudah ada Heechul oppa, Raejoon, Eunhyuk oppa, Hyobin, dan Siwon oppa dengan seorang gadis yang belum aku kenal. Kekasihnya mungkin.
“Akhirnya kalian datang juga.”
Kami duduk satu meja dengan mereka dan langsung memulai mengisi perut karena makanan-makanan cantik ini terlalu sayang jika diabaikan begitu saja.
“Aku tidak suka bawang dan kau malah memasukannya,” Hyobin menjauhkan tangan Eunhyuk oppa yang sepertinya ingin menyuapkan bulgogi. Eunhyuk oppa melahap makanan itu setengah, “Bagian yang ada bawangnya sudah kumakan,” dan potongan lainnya disuapkan kembali ke mulut Hyobin.
Cukup mengharukan melihat mereka berdua sepertinya sudah benar-benar menerima satu sama lain. Tapi apa Hyobin tidak ingat perkataan komo? ‘air liur itu sumber bakteri,’ ditambah lagi itu air liur Eunhyuk oppa. Iiiii.. tapi jika sudah cinta, mau bagaimana lagi? Benar kan benar kan?
“Kapan wisudamu?” tanya Heechul oppa yang ditujukan untuk Eunhyuk oppa.
“Minggu depan. Tapi akan ada prawisuda besok. Kalian datang?”
“Kami datang sebentar lalu pergi mengecek lokasi kemarin yang seharusnya sudah beres jika saja Heebum tidak mencari masalah,” Raejoon yang angkat bicara menjawab Eunhyuk oppa.
“Sebenarnya bukan salahnya juga. Dia tak akan mungkin melakukan itu jika tahu pada akhirnya akan seperti ini.”
Aku menganggukan kepalaku. Benar kata Donghae oppa. Siapa juga yang mau menjadi gadis itu saat ini? Satu keuntungan dari keadaannya sekarang, perhatian Kyuhyun oppa lebih banyak terpusat padanya. Mungkin aku bisa melakukan hal yang sama untuk menarik perhatian bila Donghae oppa sedang sibuk. Ah, tidak perlu. Masa hanya untuk mendapatkan perhatian harus meretak-kan lengan? Lagipula perhatian Donghae oppa hanya tercurahkan untukku.. hihihi. Menggelikan.
“Ah ye, Siwon oppa, siapa gadis cantik yang kau culik itu?”
Melihat gadis itu menundukan wajahnya tersipu. Terlalu sibuk hingga melupakan pertanyaan primer yang bergentayangan di otakku sejak awal. Beruntung Hyobin mengangkatnya ke permukaan. Sayup-sayup aku mendengar bisikan Siwon oppa ke telinga gadis tersebut, “Perkenalkan dirimu.”
Gadis itu mengangkat wajahnya hingga aku bisa melihat kecantikan alami tanpa make up yang berlebihan. Bukan tipe gadis nocturnal yang akan kelayapan jika sudah tidak ada matahari di atas kepala. Gadis yang santun dan agamis sepertinya, dengan selera fashion yang bagus. Tipikal Siwon oppa sekali. Terlihat juga dia bukan gadis yang akan membuat Siwon oppa mengeluarkan banyak uang. Ya meskipun aku yakin bahwa oppa tidak akan keberatan jika hal itu mesti dilakukan.
“Perkenalkan, Lee Cheonsa,” dia menyalami kami satu persatu.
“Maaf jika ini kurang santun, tapi aku ingin tahu berapa usiamu.”
“Kau ingin memastikan bahwa dia tidak lebih tua dari Siwon?”
“Bukan begitu, aku hanya ingin memastikan akan memanggilnya apa,” jawab Raejoon yang tidak terlalu digubris karena teredam suara terbahak kami.
Dan saat seperti ini aku merasa begitu beruntung karena memiliki keluarga seperti mereka.
“Sudah sudah, jangan tertawa lagi. Kalian tidak melihat wajahnya? Aku 25 tahun. Panggil onnie jika kalian mau.”
“Cheonsa onnie. Beginikan lebih jelas!” Raejoon mencoba membela dirinya.
“Apa kau kekasih Siwon oppa, onnie?”
“Tidak. Kami hanya berteman.”
“Astaga oppa! Jangan membuatku malu menjadi saudaramu! Sudah se-serasi ini dan kau belum berani mengungkapkannya?” gelak tawa kami kembali memenuhi udara begitu mendengar cibiran Raejoon. Melihat wajah kedua orang itu yang merona membuatku geli.
“Kita di sini untuk makan kan?”
Oppa.. kau malu ya? Hahaha...”
Cheonsa onnie. Senang rasanya bertemu dengan kandidat kuat calon anggota baru kami. Ini menyenangkan.
.,.
“Beri aku hadiah,” semua mata tertuju pada Eunhyuk oppa.
“Hadiah? Untuk?”
“Aku kan sudah lulus, setidaknya beri aku hadiah,” jawabnya sembari mengulurkan tangan untuk mengambil potongan daging sapi yang sedang dipanggang, “aku punya ide, bagaimana jika gunting batu kertas? Yang kalah akan membayar makan malam kali ini,” lanjut Eunhyuk oppa memasukkan daging tadi ke dalam mulutnya.
Gunting batu kertas? Sebenarnya berapa usia mereka?
Donghae oppa, Eunhyuk oppa, Heechul oppa dan Siwon oppa berdiri lalu memulai permainan. Donghae oppa melawan Eunhyuk oppa, Heechul oppa melawan Siwon oppa. Kejadiannya begitu cepat. Yang kulihat Eunhyuk oppa melompat-lompat kegirangan lalu berpelukan dengan Heechul oppa, Donghae oppa berhadapan dengan Siwon oppa dan sedetik lalu Siwon oppa tersenyum lebar sembari ber-high five dengan Eunhyuk oppa dan Heechul oppa sementara wajah Donghae oppa yang benar-benar kecewa.
Apa? Dia kalah?
Semua keluarga kami keluar dari restaurant. Meninggalkan aku dan Donghae oppa beserta puluhan piring kotor yang tertinggal bekas minyak di permukaannya.
Lihat, wajah Donghae oppa tetap terlihat merana meski tampan (x__x”). Kumohon, jangan tunjukan wajah itu. Aku tak tega.
“Aku membawa dompet jika kau tidak punya uang, oppa.”
Dia menatapku agak lama. Tatapannya jika kuterjemahkan seperti ini ’kau pikir aku tidak punya uang? Aku hanya sayang jika mengeluarkan uangku untuk sahabatku yang benar-benar pelit itu’             
“Baiklah. Aku tak akan melukai harga dirimu sebagai seorang pria.”
“Asal kau tahu saja, Nona Choi. Aku bisa saja membeli restaurant ini secara cash sekarang juga jika kau memintanya.”
.,.
Tuesday. 11 a.m. Pak Cai University
(Hyobin’s point of view)
Lihat dia, benar-benar membutakan. Dengan semena-mena dia membuat mataku seolah-olah tertutupi kacamata kuda sehingga pandanganku hanya terfokus padanya dan tidak pada pria lain. Dan sialnya bukan hanya aku yang melihatnya saat ini.
“Lee Hyukjae!”
“Eunhyuk oppa!”
“Astaga dia tampan sekali!”
Kalian dengar kan? Pengagumnya itu banyak sekali. Apa mereka tidak tahu, pria yang mereka dewa-dewakan itu kekasihku. Tidak tahu malu.
Dia naik ke atas panggung bersama sunbae lainnya. Ini adalah acara prawisuda dan mereka menjadi pengisi acara menunjukkan skill dance yang mereka miliki. Suara gadis-gadis itu semakin memekakan telinga seiring musik yang mulai menggerayangi.
Aku sering memikirkan hal ini, kenyataan bahwa ketampanannya juga berlaku pada gadis lain. Tidak bisakah ketampanannya hanya berlaku untukku saja sehingga tidak ada perasaan gadis lain yang akan mengusik dan membuatku risih? Tapi yasudahlah. Yang pasti aku yang berhasil memenangkan hatinya.
Aku menghentikan seluruh kegiatanku dan melayangkan pandanganku ke arahnya. Di saat seluruh perhatian terpusat padanya, dan orang lain akan berteriak kagum, aku memilih untuk diam. Menghentikan sebagian indraku untuk menajamkan indra lainnya dan berkonsentrasi penuh pada sosoknya. Setidaknya ada yang bisa ku banggakan karena berbeda dengan gadis kebanyakan.
Kupikir dancenya sudah hampir selesai. Hei, apa yang dia lakukan? Teriakan dari sekelilingku semakin gencar. Ini mengkhawatirkan!
“Lee Hyukjae!! Awas kau!”
Dia langsung menatapku dan menurunkan kembali t-shirt yang nyaris saja tak mampu menyembunyikan perutnya dari pandangan orang-orang. Beberapa orang menatap ke arahku. Aku tak peduli. Jika hanya ketampanannya yang berlaku untuk gadis lain, itu tidak terlalu bermasalah. Masih bisa ku toleransi. Tapi ini? Tidak untuk bagian tubuhnya. Hanya aku saja yang boleh menikmati. Ini harga mati.
.,.
3 p.m. Hospital.
(Heebum’s point of view)
Pintu kamar rawat terbuka dan langsung menampilkan 2 sosok yang sudah tidak asing lagi untukku. Hana ahjumma –Ibu Kyuhyun- dan Ahra onnie.
“Annyeong Haseyo,” sapa mereka.
“Annyeong Haseyo.”
Beberapa anggota keluargaku keluar dari kamar, menyisakan ibu dan Kyuhyun yang masih asyik memainkan jari tangan kiriku.
“Bagaimana keadaannya?” Kudengar Hana ahjumma bertanya pada ibu.
“Hanya luka ringan dan lengan kanannya sedikit retak.”
“Astaga.. Masih sakit sekali?” Tanya ahjumma sembari mengelus kepalaku yang kubalas dengan gelengan kepala, “Sudah lebih baik, Ahjumma.”
“Baguslah jika begitu.”
Setelah itu ahjumma berbincang dengan ibu di sofa pojok. Terlihat ahjumma yang memberikan sekeranjang buah-buahan pada ibu dan kutebak ibu akan berkata, ‘astaga.. tidak perlu repot-repot,’ Lalu ahjumma akan menjawab,          ‘tidak merepotkan sama sekali,’ Ya begitulah..
Ahra onnie bergabung bersamaku dan Kyuhyun. Kami membicarakan banyak hal. Hanya aku dan onnie sebenarnya, Kyuhyun masih sibuk dengan jariku dan hanya sesekali menimpali obrolan kami. Kami tertawa bersama saat Ahra onnie menceritakan masa kecil Kyuhyun. Dan sang tokoh utama hanya diam.
“Darahmu naik.”
Aku melirik selang infus yang menusuk pergelangan tangan kiriku. Dia benar, sudah berubah warna menjadi merah sebagian. Salahku karena terlalu banyak bergerak.
“Tidak apa-apa,Kyu.”
“Tidak. Aku akan memanggil perawat.”
“Tidak perlu kyu. Kyu...” percuma saja karena dia sudah keluar dari kamar ini.
“Benar tidak apa-apa?”
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ahra onnie.
“Lihat dia. Benar-benar protektif jika menyangkut dirimu.”
Aku menatap onnie yang masih menatap pintu, hanya sebentar karena setelah itu dia membalas tatapanku.
“Kau benar-benar mencintainya?”
“Sayangnya Onnie, adikmu sudah membuatku mencintainya habis-habisan.”
“Kalian benar-benar tergila-gila satu sama lain.”
“Aku anggap itu sebuah pujian.”
.,.
(Raejoon’s point of view)
Saat ini kami berada di ruang tamu kamar rawat Heebum. Kamar rawat yang dipesan ayah adalah sebuah ruangan luas yang terdapat kamar rawat lagi di dalamnya. Sehingga dari ruang tamu ini terdapat pintu yang menghubungkan ke kamar tempat Heebum berada sekarang.
Aku dan yang lainnya memilih menyingkir dari dalam kamar untuk memberikan privasi pada Heebum dan keluarga Kyuhyun oppa yang datang.
“Aku hampir lupa ayah seorang pejabat jika wartawan-wartawan itu tidak memenuhi koridor,” kulihat Hyobin datang dengan Eunhyuk oppa yang mengikuti di belakangnya.
Beberapa program TV memang sedang gencar-gencarnya memberitakan Heebum yang dirawat di rumah sakit ini. Tidak heran mengingat ayah merupakan pegawai pemerintahan. Dan beruntung rumah sakit ini menjaga kenyamanan pasiennya sehingga keamanan diperketat untuk menghalau para wartawan yang sudah mengepung lobi rumah sakit agar tidak naik hingga kemari.
“Ada Kwangsoo samchon di luar.”
“Benarkah? Ada Yeonwoo juga?”
“Ada.”
Aku segera beranjak dari duduk ku, melangkah keluar dari ruangan ini. Yeonwoo adalah sepupu kami, anak bungsu Kwangsoo samchon yang merupakan adik ayah dan adik ayah Seulrin. Usia Yeonwoo 9 tahun dan aku suka sekali padanya. Heechul oppa mengikutiku keluar. Kulihat Yeonwoo sedang bersama Siwon oppa saat aku memanggilnya.
“Yeonwoo-ya.”
Oppa.. aku merindukanmu!” Yeonwoo berlari dan langsung melompat ke arah Heechul oppa.
APA? Sebenarnya siapa sepupunya?!?
“Ya! Kenapa hanya dia yang kau rindukan?!”
“Karena oppa tampan sekali. Memangnya ada alasan lain, onnie?”
0,o’  Sainganku, banyak sekali >,<
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku menatap pemandangan di luar jendela kereta ini. Donghae oppa dan aku dalam perjalanan menuju Mokpo. Dia berencana mengajakku ke suatu tempat. Entah sudah berapa lama hingga sampai di stasiun, aku tidak tahu. Waktu menjadi tidak begitu penting jika bersamanya.
Udara segar menyambutku saat turun. Donghae oppa menggenggam tanganku agar tidak tersesat di sini. Aku memang belum pernah kemari sebelumnya. Kami berjalan keluar statiun menuju mobil yang sudah disiapkan keluarga oppa.  Dengan supir juga di dalamnya. Aku dan oppa duduk di jok belakang dan mobil mulai membelah jalanan Mokpo.
Mokpo tidak jauh berbeda dari Seoul, hanya saja tidak seramai itu. Setelah beberapa lama, mobil ini berbelok memasuki kawasan pemakaman keluarga. Ah. Kenapa tidak kupikirkan dari awal? Donghae oppa mengajakku mengunjungi ayahnya.
“Ayo.”
Aku menggenggam tangannya yang terulur ke arah ku. Kami melangkah bersama. Aku memandangi wajahnya dari samping, mencari tahu jenis emosi apa yang dia rasakan saat ini. Tapi tidak bisa, aku tidak pandai dalam hal ini. Sepertinya dia tidak menyadari, tatapannya tetap terfokus ke depan.
Kami berhenti di depan sebuah gundukan tanah tinggi yang sudah ditumbuhi rumput khusus. Donghae oppa melepas genggamannya dan meletakan ranselnya ke tanah. Dia mulai membungkuk dan bersujud, tanpa sadar aku mengikutinya. Kami melakukannya bersama.
Setelah itu kami berdiri. Donghae oppa membuka ransel dan mengeluarkan arak beras kemudian menuangkannya ke permukaan makam paman.
“Bagaimana kabarmu, Appa? Appa baik kan?”
“Aku membawa seseorang. Dia yang kupilih, semoga Appa menyukainya,” Donghae oppa membalikkan badannya dan menatapku.
Aku membungkuk sopan sebelum akhirnya membuka mulutku, “Apa kabar paman? Choi Seulrin imnida. Kuharap paman akan menyukaiku karena anakmu sudah benar-benar jatuh cinta padaku,” aku tertawa kecil. Donghae oppa ikut terkekeh sebelum akhirnya membalikan badannya lagi.
Dia mulai berdoa. Berkomunikasi dengan Tuhan dan menceritakan segala hal yang dilewatkan paman. Aku hanya berdiri di belakangnya, diam memandangi punggung pria itu. Tidak tahu harus melakukan apa selain ikut berdoa.
Air dari langit mulai menetes kecil. Disengaja atau tidak, ini menjadi lebih menyentuh. Oppa  masih berdiri di sana dan aku tidak berkeinginan untuk berteduh. Air hujan membasahi wajahku, menyamarkan air mata yang entah sejak kapan mulai keluar.
Lihat dia, pria yang aku cintai itu sudah merasakan betapa sakitnya kehilangan orang tersayang. Aku lebih beruntung dan seharusnya aku bersyukur. Donghae oppa membalikan badannya, berjalan ke arahku dan menuntunku masuk ke dalam pelukan ringannya, “Kenapa tidak berteduh?”
Aku menggeleng dan tetap mengunci mulutku, menyerukan kepalaku ke dadanya dengan maksud menghapus air mataku. Kami melangkah pulang menuju mobil.
Paman... kau lihat kan? Anakmu sudah dewasa. Tidak secengeng seperti yang diceritakan Eunhyuk oppa dulu. Dia sudah lebih menurut pada bibi. Sudah pandai menyembunyikan rindunya padamu. Aku tahu dia sangat merindukanmu. Tapi pikiranku tidak mencukupi untuk memikirkan seberapa besarnya. Dia selalu ingin mendengar suara paman saat melihat nomor ponselmu. Dia akan selalu menunggu paman menemuinya dalam mimpi. Kau mendidiknya dengan baik, paman. Bahagialah di sana.
Donghae oppa mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan. Membuatku memahami kenapa harus ada perpisahan seiring terlahirnya pertemuan. Sebuah perpisahan akan membuat pertemuan kembali terasa indah sekali. Sudah sepantasnya kita mensyukuri dan mengisi pertemuan kembali itu dengan sebaik mungkin sebelum munculnya perpisahan selanjutnya yang belum tentu akan ada pertemuan lagi.
.,.
Wednesday. 9 a.m.
(Hyobin’s point of view)
Aku memasuki gedung kantor Eunhyuk oppa, sesekali membalas sapaan dari pegawai yang sepertinya sudah hafal denganku. Dia memintaku datang kemari tadi, menyerahkan hak asuh Choco 1 hari ini. Ah, itu dia. Duduk dengan Choco di pangkuannya.
“Sudah lama menunggu?” Aku menghampiri mereka.
“Tidak juga. Aku ada rapat sebentar hari ini dan tidak mungkin Choco ikut. Sekretarisku juga ikut dalam rapat. Maaf merepotkanmu,” ucapnya sembari mengangsurkan Choco ke gendonganku.
“Tidak merepotkan. Halo sayang.. kau merindukanku mm?”
Sedikit geli, basah dan hangat saat Choco menjilati pipiku, sepertinya dia sudah benar-benar menerimaku sebagai kakak iparnya.
“Kau rapat jam berapa, Oppa?” Aku mengalihkan pandanganku dari Choco ke arah Eunhyuk oppa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sebelum akhirnya menjawab, “5 menit lagi.”
“5 menit lagi dan kau masih di sini? Sudah sana pergi! Kau bisa terlambat nanti.”
“Kau mengusirku? Lagipula aku ini Vice President Directur, tidak masalah jika aku terlambat.”
“Mana bisa seperti itu? Kau membuat contoh yang jelek untuk pekerja lainnya.”
“Baiklah, sepertinya Choco mendominasi pikiranmu hari ini. Jika urusanku sudah beres, aku akan menguasai perhatianmu lagi.”
“Ya ya ya. Terserahmu Oppa.”
Aku ikut melangkah menuju lift mengantar Eunhyuk oppa. Kami berhenti tepat di depan lift yang masih tertutup dan kemudian dia membalikan tubuhnya menghadapku, “Jaga dirimu, eo?” Dia mencium keningku singkat lalu mengusap bulu Choco sebelum akhirnya masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
Choco meraih-raih udara agar terlepas dari gendonganku, “Kau tidak boleh ikut ke dalam. Di sini saja bersama nunna,eo?”
Hanya tertinggal 3 detik waktu yang tersisa sampai pintu tertutup sempurna sampai..
Saranghae!”
Dia berteriak sebelum pintu lift benar-benar tertutup. Membuat seluruh orang di ruangan ini menatap ke arahku sembari tersenyum konyol. Astaga! Mukaku memanas.. kau membuatku malu Oppa. Dia pasti sedang tertawa puas di dalam sana. Sial! Yang mereka perhatikan hanya aku, sedangkan si terdakwa kabur begitu saja. /O\
Dengan sisa tebal muka yang mulai terkikis, aku bergegas keluar dengan kepala menunduk sebelum ada hal lebih memalukan yang akan terjadi. Omong-omong, nado saranghae Oppa.
Aku bersama Choco memasuki sebuah minimarket membeli sekotak susu untuknya. Setelah membayar di kasir, kami beranjak keluar dan aku mengambil makanan Choco di dalam mobil oppa.
Sinar matahari cukup cerah kurasa. Dan mungkin pilihan bagus untuk kami bermain bersama di taman dekat kantor Eunhyuk oppa. Sementara Choco melahap makan siangnya, aku memilih duduk di sebuah bangku panjang dan mengeluarkan tablet PC memulai memeriksa tugas kuliahku.
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat kulihat ke arah Choco. Dia lenyap tak berbekas. Aku bergegas memasukan PC ke dalam tas dan berlarian kesana kemari seperti orang gila untuk mencarinya. Astaga.. Dimana dia?
Aku menghentikan langkah saat melihat sosok itu tak jauh dari tempatku berdiri. Lututku lemas dan aku langsung berhambur menjatuhkan pantatku ke jalan beraspal hitam. Aku tidak peduli tatapan orang-orang. Aku lega sekali. Kukira dia hilang atau diculik seseorang tak bertanggung jawab yang mungkin saja mampu membuat Eunhyuk oppa meninjau ulang hubungan kami. Jelas saja, aku bahkan meragukan dia lebih menyayangiku dibanding Choco.
Aku nyaris gila memikirkan apa yang harus aku katakan padanya jika Choco hilang. Tapi sekarang tidak lagi. Aku sudah tenang. Dan sepertinya aku akan mendapat adik ipar. Di sana, Choco sedang mengeluarkan kharismanya di depan seekor anjing.
Aku beranjak dari posisiku yang duduk menjadi berjongkok senyaman mungkin sembari memata-matai pasangan baru yang sedang pamer kemesraan. Bisa-bisanya! Sementara aku nyaris mati kebingungan karena mencarinya.
“Ternyata kau di sini.” Eunhyuk oppa berdiri di hadapanku, memunggungi Choco. Aku hanya bisa melihat kakinya sebenarnya.
“Kenapa berjongkok di sini? Di kantorku banyak toilet jika perutmu mulas.”
“Sepertinya kau akan mendapat adik ipar,” ucapku dengan nada putus asa, mengabaikan pertanyaan yang dia lontarkan.
Dia berjongkok di hadapanku sekarang, “Adik ipar? Apa yang terjadi? Ibumu melahirkan lagi?”
“Kau pikir berapa usia ibuku?! Tentu saja tidak. Lihat itu!” Aku menghedikan daguku ke arah belakang oppa. Dia menatap ke arah yang ku tunjuk.
“Ahaha. Masa puber ke 2. Pak tua itu benar-benar semempesona aku. Benarkan, sayang?”
Aku mendorongnya kuat sehingga dia terjungkal dari posisinya, “Percaya diri sekali!” aku tertawa dan beranjak meninggalkannya saat dia meneriakan kalimat yang membuat semua orang di sini menatap ke arahku.
“Ya! Mau kemana, ISTRIKU?”
Astaga.. Memalukan T,T
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku menghentakan kakiku kesal. Saat ini aku berada di taman kampus dan berniat untuk pergi. Aku lelah sekali. Ahjussi tua itu benar-benar gila. Jika dia bukan dosenku, sudah kuukir kepala botaknya dengan namaku.
Gerutuanku sepanjang perjalanan tadi terhenti saat ponselku bergetar. Donghae oppa! Aku segera mengangkatnya dan kutempelkan ke telinga kananku setelah menyelipkan rambut yang menghalangi.
“Ada apa menelfonku?”
“Jadi harus ada alasan untuk itu?”
“Bukan begitu juga.. hanya saja-“
“Ada yang harus aku katakan padamu.”
“Apa ada hal gawat? Oppa? Kau sakit? Donghwa Oppa sakit? Ata-“
“Aku merindukanmu,” ujarnya santai. Ucapan yang belum terselesaikan kutelan kembali. Lidahku merileks. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, “kita baru berpisah sebentar dan aku sudah tidak kuat untuk menahannya. Ini.. gawat kan?”
Apa-apaan pria ini? Dan bodohnya, jantungku justru bekerja berlawanan arah dengan otakku. Saat otakku berpikir hal itu terlalu berlebihan, jantungku justru melompat kegirangan. Hantamannya kuat sekali. Aku sampai khawatir jika Donghae oppa dapat mendengarnya dari ujung sana.
“Kau genit sekali, Oppa,” ucapku dengan segala pengendalian diri yang ku kerahkan. Dia terkekeh. Tidak tahu bahwa aku mati-matian menahan teriakan gembiraku di sini.
“Jadi kenapa kau tidak membalikan tubuhmu lalu menghambur ke pelukanku? Kenapa justru menahan tawa hingga melompat-lompat seperti tadi? Kau tidak sadar beberapa orang sedang memperhatikanmu?”
Dengar. Suaranya lembut dan menenangkan. Nyaris tidak ku temukan emosi dalam nadanya. Tapi apa yang DIA KATAKAN? Jadi dari tadi.. DIA MELIHATKU?! Aku langsung memutar-mutar kepalaku kesana kemari. Dia di sekitar sini.
Tatapanku berhenti pada pria yang mengenakan jaket kulit hitam dan topi hitam dengan ransel di punggungnya. Di hidungnya bertengger kacamata hitam dan dia menempelkan ponsel di telinga kirinya. Duduk di bangku panjang taman ini, menumpukan kaki kiri di atas kaki kanan, sedang menatapku dan melambaikan tangan kanannya santai ke arahku.
Aku langsung membalikan tubuhku membelakanginya, sedikit membungkukan badan untuk menyembunyikan wajahku dan mengerang pelan. Astaga! Mau ditaruh mana mukaku? Ini benar-benar memalukan. Apa terlihat sekali bahwa aku sangat bahagia? Ah, kedengaran seperti hal buruk.
Setelah beberapa saat kurasa mentalku sudah cukup kuat untuk dihina (×_×), aku membalikan badan, mengibaskan rambutku dan memapangkan wajahku dengan senyuman seperti tidak terjadi apa-apa kemudian mulai melangkah ke arahnya. Astaga.. aku malu sekali. Harga diriku (ToT). Oke, bersikap biasa saja!
“Hai, Oppa,” aku berdiri di hadapannya. Kami sama-sama menjauhkan ponsel dan menyimpannya. Dia menepuk tempat kosong di sampingnya.
“Kau sedang kesal?” tanyanya setelah memastikan aku sudah duduk nyaman di tempat yang dia perintahkan tadi. Beruntung dia tidak membahas hal memalukan itu. Dia memang pengertian sekali.
“Aku sedang kesal dengan dosenku. Kau tahu oppa? Kemarin aku bertanya padanya tugas apa yang harus ku buat dan dia menjawab akan memberitahuku besok yang berarti hari ini. Di saat aku menelfonnya untuk bertanya, dia justru memerintahkan aku untuk datang ke ruangannya yang berada di lantai 4. Setelah aku naik, dia tidak ada. Kutanya lagi ternyata dia berada di ruang BEM lantai 1. Setelah aku turun ternyata dia sudah kembali ke ruangannya dan sangat terpaksa aku harus naik lagi. Kau tahu apa yang dia katakan saat kami bertemu? Dengan seenaknya dia belum memutuskan akan memberiku tugas apa dan akan memberitahuku besok setelah aku naik turun anak tangga dan di sini tidak ada lift!! Rasanya ingin sekali kulempar dia dari lantai 6 dan ya!! Jangan menatapku seperti itu!”
Aku menarik beberapa rambutku untuk memberi sekat agar mampu menutupi wajahku dari pandangannya yang mungkun mampu melelehkan baja setebal 13 cm. Tatapannya membuatku gugup. Tenang namun menelusup. Seolah tidak akan membiarkan hal sekecil apapun lolos dari pandangannya. Menghanyutkan.
Dia menyingkirkan tangan dan rambutku agar tidak menutupi pandangannya, menatapku dengan senyum tipis ber-efek besar khas Lee Donghae. Aku merasa diperlakukan lembut sekali.
Dia menarikku perlahan menuju ke pelukannya. Aku memeluk pinggangnya dan dia mencium dahiku sembari menempatkan telapak tangannya agar tidak ada yang melihat apa yang kami lakukan. Lama. Aku pasrah dan lebih berkonsentrasi menjinakan jantungku yang kadar ketukannya menggila namun tetap dalam penguasaanku.
Kami menghentikan aktivitas kami setelah dirasa cukup, “Sudah tidak marah lagi, kan?” tanyanya yang ku jawab dengan gelengan.
“Kau akan kemana setelah ini?”
.,.
Hospital
Kami berjalan memasuki lobi rumah sakit. Beruntung wartawan-wartawan itu sedang istirahat sehingga ruangan ini lega.
“Maaf tidak bisa menemanimu hari ini. Eomma memintaku menemui Donghwa hyung setelah ini.” Ujarnya ketika aku mengusap dada bidangnya perlahan, merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.
“Tidak masalah. Terima kasih sudah mengantarku,” aku menjauhkan tanganku.
“Sudah sana. Masuklah!”
“Tidak. Kau dulu yang pergi baru setelah itu aku masuk.”
“Mana ada yang seperti itu? Sana masuk! Hush hush!”
“Baiklah kalau begitu, aku masuk,” aku membalikan badanku dan mulai melangkah tapi tanganku ditahan, “apa lagi?” aku menatapnya.
Dia mendekatkan wajahnya menatapku, “Lihat wajah jelek itu, kau masih lengkap dan aku sudah melihatmu. Jadi aku bisa pergi sekarang,” dia berhenti sejenak, “sudah sana masuk,” dia mendorong tubuhku pelan.
Aku berjalan mundur agar dapat terus melihatnya yang mulai terlihat kecil sembari melambaikan tanganku. Rasanya tidak ingin dia pergi. Harusnya dia tetap di sini. Sudahlah. Sosoknya sudah terhalangi dokter dan perawat yang berlalu lalang. Tak ku sadari ternyata kamar rawat Heebum sudah dekat.
Aku memasuki kamar rawat Heebum. Suhu rendah dari AC langsung mengelus kulitku. Di dalam hanya ada dia sendiri yang sedang menonton TV. Aku melayangkan pantatku ke sofa terdekat.

“Ada apa kemari?”

“Memangnya tidak boleh? Aku hanya mengasihanimu karena tidak ada yang menunggui.”
Lihat dia, tangannya itu membuat orang lain iba melihatnya jika saja-

“Aku tak butuh kau tunggui sebenarnya.”

Lihat kan? Tidak berterima kasih dan justru seperti itu.. ckck

“Ya!! Aku ini pasien di sini, kenapa kau memukulku?” protesnya sembari menunjukan pergelangan tangannya yang terpasang infus. Hahaha. Rasakan itu!

Aku meneguk air dari gelas yang ada di meja, tidak mempedulikan gerutuan sepanjang jalur subway yang keluar dari mulutnya.

Kurasa ruangan ini hening.. tidak seramai biasanya, “Kenapa di sini sepi sekali?”

“Pecahkan saja gelasnya, biar ramai.”

Dan aku pikir lebih menyenangkan jika mematahkan lengan kirimu Choi Heebum!!
.,.
Kim’s Residence. 7.03 p.m.
(Raejoon’s point of view)
“Sebenarnya kau ingin memberiku apa?”
Aku menatap Heechul oppa yang berdiri di hadapanku. Cahaya lampu yang sudah dinyalakan karena memang hari sudah petang memantul ke wajahnya, mebuat ketampanannya menjadi lebih dramatis. Dia berdiri di anak tangga yang lebih tinggi dari yang kuinjak. Kami berada di halaman depan rumahnya saat ini.
“Sesuatu yang diinginkan semua wanita di dunia ini.”
“Sesuatu yang diinginkan semua wanita?” ulangku yang dibalas dengan anggukan kepala darinya.
“Tidak mungkin kau memberiku cincin. Kau sudah memberiku itu,” gumamku sembari melihat jari tangan, sementari otakku masih terus berputar.
“Mobil?” tanyaku tidak yakin.
Dia menggeleng, “Coba kau lihat di sekitar sini.”
Aku menatapnya sembari memikirkan ucapannya, “Apa kau ingin memberiku rumah ini?”
Dia hanya terkekeh kecil, kemudian menggeleng dan menepuk kepalaku pelan, “Kau ini serakah sekali.”
Pandanganku mengedar ke seluruh sudut, tidak ada hal menjanjikan lainnya yang seperti dia bilang, diinginkan semua wanita di dunia.
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku menyerah.”
“Secepat itu?”
“Aku sudah mencobanya dari tadi, yang kulihat di sini hanya rumah dan mobil,” ucapku masih dengan mata yang menyusuri halaman rumah ini, “tapi tidak ada yang benar menurutmu, padahal aku sudah menyebutkan semua yang aku lih-“ otakku langsung berhenti bekerja secara mendadak saat mataku menangkap sosoknya, aku mendesis pelan.
“Jangan katakan itu adalah kau. Oh ayolah, bagaimana bisa kepercayaan dirimu setinggi ini?”
Dia tersenyum lagi, hari ini selera tersenyumnya dalam keadaan baik. Bukankah itu mengagumkan? Keajaiban dunia nomor 9 karena nomor 8 sudah terisi oleh sebuah boyband luar biasa dengan jumlah member 13 menurutku.
“Gadis di dunia ini pasti akan berpikir berulang kali untuk menolakku. Harusnya kau bersyukur karena menjadi pilihanku.”
Entah keinginan dari mana, aku mulai melangkah mendekatinya dan dengan ragu memeluknya. Sedikit berjinjit dan menyerukan hidungku ke bahunya. Aku menyukai aroma ini, Kim Heechul sekali. Tidak peduli apa yang akan pria ini pikirkan, aku hanya sedang ingin. Dia melingkarkan lengannya di sekitar pinggangku, menarikku mendekat dan menahanku agar tidak lelah karena terus berjinjit.
“Selama ini aku hanya bisa membuatmu berteriak kesal. Aku hanya bisa membuatmu marah. Sementara kau selalu membuatku tersenyum. Kau yang selalu membuatku bersemangat. Aku baru menyadari bahwa aku tak pernah memikirkan perasaanmu. Aku hanya memikirkan kenyamananku sendiri. Aku minta maaf untuk semua itu,” aku berbisik di telinganya.
Kupikir karena hidup tidak mempunyai fasilitas autocorrect, jadi kita sendiri yang harus membetulkannya.
“Kau tidak perlu mengatakan ini.”
“Jika bukan padamu, aku harus mengatakannya pada siapa?”
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Entah kenapa berpelukan dengannya seperti ini telah menjadi aktifitas favoritku.
“Terima kasih telah bertahan. Kau pasti memaksakan diri untuk bertahan denganku hingga selama ini,” ucapnya dengan suara pelan.
“Jika bukan karena aku menyayangimu, aku pasti sudah meninggalkanmu dari dulu. Kau kan galak sekali,” balasku. Dia terkekeh mendengarnya. Begitu juga aku.
Kita mungkin tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar kita, tapi kita bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam hidup kita. Termasuk keberadaan pria ini.
.,.
Thursday. 11.13 a.m. Hospital
(Heebum’s point of view)
Aku sedang memasukan barang-barangku dibantu beberapa pegawai ibu. Dokter mengijinkanku pulang hari ini. Lega sekali. Aku tidak suka berada di sini, membuatku terlihat lemah. Astaga..
Ayah masih ada urusan di Blue House sehingga yang menjemputku hanya –jika boleh dikatakan ‘hanya’- Siwon oppa, ibu, Kyuhyun, Raejoon, Hyobin dan Seulrin. Sebenarnya kedatangan mereka semua hanya formalitas saja, karena kudengar banyak wartawan di bawah. Merepotkan saja.
Setelah semua beres, kami melangkah turun dan keluar dari rumah sakit. Van ayah terparkir tepat di depan pintu lobi tapi wartawan-wartawan bahkan sudah menutupi pintu keluar. Silau blitz kamera mereka bahkan sudah menyambangiku yang berjarak sekitar 40 meter dari mereka. Oh, adakah yang berbaik hati memberikan kaca matanya untukku?
Aku membungkuk dan melambaikan tangan ke arah mereka, menarik Kyuhyun agar melangkah lebih lebar sehingga cepat masuk ke dalam mobil.
“Astaga, ini buruk sekali,” ujarku saat kami semua sudah duduk dalam van.
Akhirnya aku bebas..
.,.
Friday. Choi’s residence. 8.15 a.m.
(Heebum’s point of view)
Omona omona! Sejak kapan ada meja di sini?
Ah, memang meja itu tempatnya di sini. Aku akan mengutuk siapapun yang mengganggu tidurku pagi ini. Jam 9 dan ini hari libur, apa motivasinya untuk mengacaukan mimpi indahku? Menyebalkan.
Aku melangkah menuju ruang keluarga saat kemudian kulihat Heechul oppa yang sudah menunjukan batang hidungnya. Pagi-pagi begini dan dia tidak bosan apa selalu kemari?
Eh? Eh?
Suara apa itu? Itu seperti suara... astaga! Untuk apa makhluk bernama Kim Heechul itu membawa anaknya kemari? Ini bisa mengganggu perdamaian dunia namanya.
“Hiiaaa oppa! Kenapa membawa itu?!” aku langsung berlari memanjat kursi.
“Kau ini berlebihan sekali. Bukankah dia ini lucu,” Raejoon datang dan langsung memungut makhluk berbulu itu ke gendongannya
“Astaga Raejoon! Kau tidak ingat perkataan ayah? Tokso tokso!!”
Jauhkan makhluk itu dariku. Atau aku akan.. aku yang akan menjauh kalau begitu.
“Hei, mau kemana kau?”
“Menjauh darimu, dia, anak kalian dan tokso!”
.,.
“Kau lihat kan? Dia ini lucu sekali..”
“Astaga.. cantik sekali.”
Ya ya ya, entah apa yang mereka bicarakan aku tidak peduli. Mereka bertiga berdiri di samping televisi sembari memandangi makhluk menggelikan yang berada di pelukan Raejoon. Seperti kucing itu adalah pusat dunia mereka. Biar. Biar saja mereka asyik dengan dunia mereka sendiri dan aku asyik dengan tayangan televisi itu.
“Heebum, lihat,” aku menoleh ke arah Raejoon yang menunjukan kucing itu
“Bagian mana yang tidak kau sukai dari makhluk secantik ini?”
“Terserah apa katamu. Nikmati saja kuku tajam dan tahi kucing itu.”
.,.
(Raejoon’s point of view)
“Hei Raejoon, apa kau tidak curiga?” aku menoleh ke arah Hyobin yang menoel-noel lenganku.
“Curiga apa?”
“Kenapa nama kucing Heechul oppa justru Heebum? Kenapa tidak Raejoon?” Untuk apa dia mengangkat tema ini?
Kulihat wajah Heebum yang datar-datar saja dan tersirat bahwa dia terganggu dengan pembicaraan ini. Tapi hanya sekejap karena sedetik setelahnya sudah terpampang seringai yang tak layak untuk dilihat menurutku.
“Kau benar Hyobin-ya, kau harus berhati-hati Raejoon. Jangan-jangan Heechul oppa tertarik padaku.”
“Ya! Kalian ini bicara apa? Itu hanya kebetulan!” dan jika mereka bukan keluargaku, sudah kulempar mereka dengan sepatu.
“Kau harus tetap berhati-hati. Aku kan sangat memikat,” Heebum menyentil daguku. Entah kenapa rasanya aku tiba-tiba alergi dengan sentuhannya.
“Kau jangan macam-macam! Ku adukan pada Kyuhyun oppa!” aku tidak menyukai seperti ini. Aku tidak ingin konsentrasiku terpecah hanya karena memikirkan lelucon mereka yang entah kenapa benar-benar terserap otakku. Aku ini tipikal pemikir bahkan untuk hal sepele seperti ini. Jika bisa dikatakan sepele.
“Hei, kami hanya bercanda. Tak usah kau anggap serius.”
Iya, tapi sudah terlanjur kucerna bodoh!
“Kau tahu ini apa?” Heebum menunjuk jari manis tangan kiriku.
“Tentu saja cincin. Apa lagi?”
“Ini adalah benda keramat. Benda keramat yang seharusnya mampu meyakinkanmu bahwa yang Heechul oppa pilih adalah kau. Choi Raejoon. Bukan Choi Heebum, Choi Hyobin, Choi Seulrin apalagi Choi Siwon. Astaga, sebenarnya aku ini berbicara apa? Entahlah. Yang jelas awas saja jika kau masih tidak paham. Ku bunuh kau!”
.,.
Sudah 15 menit. Dia diam. Apalagi aku.
Hanya ada kami berdua di ruang tamu yang entah kenapa bertambah luas saja rasanya. Aku menyangga kepala dengan tangan sembari memperhatikan pria ini. Hal yang membuatku lebih sebal dibanding diabaikan adalah dia tidak mengerti betapa frustasinya aku sekarang. Memikirkan topik yang disinggung saudara-saudaraku tadi seorang diri. Tanpa dia yang ikut memikirkannya. Sial!
Aku sedikit menjauhkan wajahku ketika melihatnya melipat koran dan menatapku tajam, “Apa? Kau ingin mengatakan apa? Kenapa menatapku seolah aku ini pria tertampan di dunia?”
Aku mengatupkan mulut dari rasa keterkejutanku yang menguasai nyaris seluruh indra. Apa telingaku tidak salah dengar? Apa katanya? Pria tertampan sedunia? Oh, bunuh aku jika tidak menyetujuinya. Memang dia pria tertampan versiku. Ya meskipun Donghae oppa terkadang terlihat menggiurkan. Dan apa aku tidak salah lihat hari ini? Tidak seharusnya dia terlihat setampan ini hanya dengan pakaian itu... dan kenapa aku memikirkan hal ini? -__-
“Ada yang ingin kau katakan?” suaranya melembut selembut tatapannya.
“Boleh aku bertanya?”
“Katakan.”
Aku memungut Heebum –kucing- ke pangkuanku
“Kenapa kau memberi nama kucingmu ‘Heebum’?”
Dia terdiam. Sesulit itu ya mengatakan alasannya? Kulihat bibirnya mulai beranjak menjawab dan aku sudah menyiapkan telingaku semaksimal mungkin.
“Mungkin saat kita sudah menikah nanti aku akan sering meninggalkanmu di rumah. Kau sangat dekat dengan Heebum, kupikir dengan begitu saat sendirianpun akan selalu ada dia di sekelilingmu. Dalam bentuk lain.”
.,.
11.17 a.m.
(Hyobin’s point of view)
Hari ini jadwal kami berempat adalah membantu ibu membuat kimchi untuk persediaan beberapa hari kedepan berhubung persediaan kami sudah habis beberapa hari lalu.
Hanya kami bertiga sebenarnya, mengingat lengan kanan Heebum yang belum memungkinkan untuk digerakan terlalu banyak. Kami sudah memakai celemek untuk melindungi pakaian mahal kami dari kemungkinan terciprat sesuatu. Hahaha. Aku sombong sekali.
Tugas kami berbeda-beda, Raejoon yang akan mencuci sawi, aku dan Seulrin yang mencampur sawi tersebut dengan bumbu racikan kami sendiri. Heebum duduk di kursi tinggi yang menghadap langsung ke arah dapur sembari memperhatikan.
“Yaaaa!!”
Astaga! Mengagetkan saja!
“Ya! Kau ini berisik sekali!” Heebum mendekat dan langsung menggeplak kepala Raejoon menggunakan tangan kirinya.
“Ada apa?”
“Sawi. Itu banyak ulatnya,” Raejoon bergidik berkali-kali. Kulihat kulitnya langsung merinding dan sampai-sampai tak menghiraukan pukulan yang didaratkan Heebum di kepalanya tadi. Mereka ini saudara atau bukan sih? -__-
Heebum melihat sawi yang sudah dilempar Raejoon tadi. Wajahnya langsung meringis geli saat melihatnya, “ Siapapun, tolong buang itu.” Dia langsung kembali ke ‘singgasananya’.
“Kalian ini, begini saja ribut!” dan akhirnya ibu menolong ulat-ulat itu agar puas memakan daun sawi dengan membuangnya ke tempat sampah.
Keadaan mulai hening. Hanya dentingan alat masak yang mampu menggerayangi gendang telinga.
Tidak sesunyi itu sebenarnya, teriakan menyalahkan dari Heebum sering kali terdengar. Seperti dia bisa saja!

Aku meregangkan ototku yang terlalu lama merunduk. Lihat, tanganku berlumuran bumbu pedas. Jadi tak sabar mencoba kimchi buatanku. Tiba-tiba mata kananku tidak bisa dibuka. Perih, terkena keringat sepertinya. Aku mengucek mataku dan mencoba membuka mata. Astaga! Pedas! Bodoh! Bagaimana bisa aku lupa bahwa tanganku berlumuran cabai?!

“Asshh!! Heebum-ya, tolong lap mataku! Ini pedas sekali!”
Mata kiriku masih bisa sedikit melihat wajahnya.

“Kenapa harus aku? Tanganku sedang sakit Hyo.”
Apa katanya?

“Ya!! Tangan kirimu baik-baik saja!”

“Memar di tangan kiriku belum sembuh,” dia melengos pergi.

Sial! Bilang saja tidak mau menolong ku! Apanya yang saudara?!
Astaga!! Pedas!

.,.

“Heebum-ya, kau coba ini”

Kulihat Seulrin mencangkup sedikit kimchi buatannya dan memasukannya ke dalam mulut Heebum.
Hei, kenapa dengan wajah Heebum? Ekspresinya jelek sekali.
“Uhuk. Uhuk uhuk..”

Hahaha rasakan itu!
Heebum terbatuk-batuk hingga terjongkok. Kau mendapat balasannya, sayang.

“Ya!! Kau membuat kimchi atau ramuan pembunuh ha? Parah sekali!!”

Lihat, wajah Heebum merah padam seperti pantat kera yang pernah kulihat di Taiwan. Hahaha. Aku puas sekali.
Terima kasih Seulrin...
.,.
Saturday. 6.53 a.m. Choi’s Residence.
(Raejoon’s point of view)
Hari libur. Ayah dan ibu pergi mengurusi acara pertunanganku dan Heechul oppa, Siwon oppa ikut dengan mereka. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi mereka melarangku dengan alasan agar aku tidak kelelahan. Yasudahlah.
Seperti rutinitas biasanya, kami ber-empat belum mandi dan justru terdampar di ruang keluarga. Suasana sunyi dan yang terdengar hanya suara Hyobin dan Seulrin sedang saling melontarkan umpatan menyerang satu sama lain melalui layar datar itu. Mereka sedang bermain Playstation dan duduk di lantai. Heebum sedang melanjutkan tidurnya di sofa dengan posisi kaki kanan yang ditumpangkan ke kaki kiri.  Dan aku sedang duduk di kursi ruang makan memperhatikan orang-orang itu.
Rasanya sudah lama tidak seperti ini. Berkumpul hanya kami saja. Ya meskipun tidak lengkap karena perginya Siwon oppa. Biasanya aku akan pergi dengan Heechul oppa, Heebum disibukan dengan Kyuhyun oppa, Hyobin dengan Eunhyuk oppa dan Seulrin dengan Donghae oppa.
Perhatianku teralihkan saat bel rumah berbunyi. Aku beranjak untuk membukakan pintu dan ternyata itu ayah.
“Sudah pulang?”
“Hanya sebentar, mengambil berkas. Tumben sekali lengkap.” Ayah masuk ke dalam kamarnya. Mungkin maksud ayah adalah hal yang sedang ku bahas tadi.
“Kalian tidak ingin berbelanja? Pakai saja card yang ada di meja.” Ujar ayah setelah keluar dari kamar dengan amplop coklat besar di tangannya.
“Apa? Benar boleh?” aku memekik kesenangan.
“Tentu. Ayah pergi dulu.” Ayah berlalu dari hadapanku dan mulai menggapai gagang pintu saat aku melihat suatu hal yang membuatku mulai berpikir.
.,.
Cafe. Hyundai Dpartement Store.
(Heebum’s point of view)
Kami duduk di bangku cafe setelah tadi Raejoon mengajak kami pergi bersenang-senang. Yang kulihat Raejoon hanya diam sejak tadi.
“Kau kenapa diam?” Hyobin yang menyuarakan pikiranku.
“Apa kalian pernah memikirkannya? Aku melihat rambut ayah yang sudah mulai memutih. Dan itu membuatku memikirkan banyak hal saat ini. Ayah dan ibu tidak mungkin selalu.. ehm.. kalian pasti tahu maksudku kan? Astaga, bahkan aku sendiri tak ingin mengucapkannya, tapi suatu saat itu pasti akan terjadi.  Dan aku harap tidak dalam radius 50 tahun dari sekarang.”
“Aku ingin menua bersama mereka. Duduk berkumpul memandangi cucu dan cicit bersama di sore hari dengan secangkir teh hangat atau segelas ice tea.”
Dia benar.. Aku tidak akan mampu menyimpan kesedihan sebanyak itu.
Aku masih baik-baik saja dalam keadaan ini hingga sekarang. Aku bisa bertahan dengan menyimpan beberapa hal dan melaluinya sendirian tanpa harus membaginya pada ibu dan ayah. Mungkin aku akan melanjutkannya sampai nanti pada titik dimana hal yang kulalui terlalu berat untuk kusimpan seorang diri.
Aku memang bukan seorang anak yang romantis dan dapat mengungkapkan segalanya pada ibu dan ayah seperti Raejoon. Jika boleh memilih, aku akan menunjuk kepribadian Raejoon untuk menjadi milikku. Hanya saja bukan itu yang terjadi.
Aku lebih memilih menyimpan segala jawaban yang ayah dan ibu tanyakan padaku. Aku lebih memilih diam dibanding menyatakan kenyataan bahwa aku masih membutuhkan keberadaan mereka di sampingku. Tapi yang harus mereka tahu, aku benar-benar membutuhkan mereka hingga waktu tak terbatas. Lebih lama dibanding menghilangnya aku dari dunia ini.
“Sudah-sudah. Ayo kita makan.”
.,.
2.13 p.m
(Hyobin’s point of view)
Aku melangkah menuju ruangan Eunhyuk oppa. Kami akan pergi bersama hari ini setelah dia sukses memaksaku menemaninya melakukan fitting pakaian yang akan dia kenakan saat pertunangan Raejoon dan Heechul oppa.
“Selamat siang, nona,” sekretaris oppa yang berada di luar ruangannya menyapaku.
Aku membungkuk sedikit, “Selamat siang, apa Eunhyuk oppa ada di ruangannya?” tanyaku memastikan.
“Iya, ada. Dia sudah menunggu Anda di dalam.”
“Ah, terima kasih.”
Aku membuka pintu ruang kerjanya. Dia sedang duduk di kursinya memeriksa beberapa tumpukan berkas di atas meja.
“Kau sudah datang?”
Aku berjalan mendekatinya, “Oh ayolah. Aku tidak akan berdiri di sini jika belum datang, oppa.”
Dia tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya ke arahku, “Mendekatlah.”
Aku menggenggam tangannya. Dia menarikku untuk duduk di pangkuannya, benar-benar tanpa jarak. Tangannya melingkar di pingganggku sementara bibirnya sudah menjelajah. Ini menggelikan.
“Jadi.. kita pergi sekarang?” tanyanya.
“Tentu saja. Nanti sore kita akan pergi, oppa. Kau lupa?”
“Tidak. Baiklah, ayo.”
Kami melangkah bersama menuju lift setelah menyapa beberapa pekerja. Pintu lift masih tertutup saat kami sampai. Suara berdenting menyadarkanku. Akhirnya lift ini datang juga.
“Ayo masuk.”
Hanya ada aku dan Eunhyuk oppa di dalam lift. Tidak heran mengingat waktu makan siang sudah dimulai 10 menit yang lalu. Aku mengabaikan jari-jarinya yang bergesekan dengan jariku. Tapi tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam tanganku yang langsung ku hempaskan.
“Kenapa?” protesnya tidak terima.
“Aku tidak ingin hubungan kita menjadi tontonan untuk pegawaimu. Di sana ada CCTV,” aku menunjuk benda kecil yang tertempel di langit-langit sudut belakang sebelah kiri dari lift ini.
Senyumnya tetap mengembang sementara dia beranjak menuju tempat tepat di bawah kamera pengintai itu tertempel, “Kemarilah, dari sini tidak akan tertangkap kamera.”
Aku menggenggam tangannya yang terulur ke arahku. Dia menarikku lalu membalikan tubuhku memunggunginya dan kemudian kedua lengannya sudah melingkar di sekeliling bahuku. Nyaman dan hangat. Kami hanya diam sembari menggerakan tubuh kami bersama. Nafasnya menari-nari di atas kulit leherku. Menggelikan.
Kami terlalu asyik hingga tak menyadari dentingan pintu lift yang menandakan ada orang yang masuk. Aku baru tersadar ketika Eunhyuk oppa mendorongku sebagai reflek terkejutnya. Aku yang tidak ada persiapan langsung terpental dan menghantam dada seseorang. Astaga!
“Maafkan aku Ahjusshi,” aku membungkuk singkat. Ini memalukan sekali...
Yang kutabrak dadanya adalah ayah Eunhyuk oppa. Di belakangnya ada assistant ahjusshi yang berdiri menahan tawa. Rasanya ingin sekali menenggelamkan diri saking malunya.
“Sepertinya kita harus menggunakan lift lain,” kemudian ahjusshi melangkah mundur dan keluar dari lift ini dengan tawa yang meledak.
Setelah pintu lift tertutup tawa ku dan Eunhyuk oppa tak tertahankan lagi, “Ayo kemari,” dia mengulurkan tangannya lagi.
“Kau menyuruhku mendekat agar dapat melemparku lagi nanti?”
Tawanya kembali pecah, “Tidak.”
Aku kembali mendekatinya namun sedetik kemudian pintu lift kembali berdenting. Dia langsung mendorong tubuhku, tidak sekeras tadi dan kali ini arahnya ke samping. 2 orang pegawai masuk dan berdiri di depan kami setelah membungkuk singkat.
“Kau melemparku lagi,” bisikku
“Maaf.”
Perutku sampai sakit karena harus menahan tawa. Jari kelingking Eunhyuk oppa mengait jari kelingkingku dan kami mulai mengayunkan lengan kami perlahan. Agar tidak menyentuh pantat ke 2 orang di depan kami tentunya. Hihihi.
.,.
Aku terdampar di sebuah butik pria. Waktu berlalu 15 menit saat dia berdiri di hadapanku. Aku menatapnya yang sudah mengenakan tuxedo berwarna senada dengan gaun yang kupesan.
“Bagaimana?”
Mulutku seolah terkunci. Tidak ada kata yang cukup pantas untuk mendiskripsikan betapa.. betapa menawan-nya dia.
“Benar... kau.. tampan sekali.”
Aku memilih diam setelahnya. Bisa ku jamin suaraku akan bergetar dan tangisanku akan pecah jika meneruskan ucapanku. Daya tariknya bertambah berkali lipat dengan rona kebahagiaan yang menguar secara gamblang dari binar matanya.
Aku cepat-cepat membalikan tubuhku, merutuki air mata yang sulit sekali untuk kutahan.
“Ya! Ya! Ya! Tidak usah sampai menangis begitu,” Eunhyuk oppa membalikan tubuhku menghadapnya.
“Kau pikir aku mau seperti ini?!” aku memukul lengannya.
Dia hanya tersenyum tipis memandangiku. Tidak berusaha mengatakan apapun yang mampu menghiburku karena dia cukup tahu bahwa ini bukan air mata kesedihan. Ini adalah air mata dari rasa syukur yang tulus karena Tuhan begitu baiknya menakdirkan aku untuk dapat merasakan luapan kasih sayang dari pria di hadapanku.
“Sudah menangisnya.. Ssstt ssstt sstt. Sini aku peluk,” dia menuntunku memasuki pelukannya yang hangat dan menenangkan.
Hhh.. Kenapa juga aku harus seperti tadi? Aku khawatir jika kadar kepercayaan dirinya yang sudah tinggi itu akan meroket tajam karena tahu aku mencintainya setengah mati. Masa bodohlah. Memang seperti itu. Mau bagaimana lagi?
.,.
5 p.m
Keluarga kami sudah berkumpul semua. Eunhyuk oppa, Donghae oppa, Kyuhyun oppa, dan Heechul oppa juga sudah datang. Kami mulai memasukan barang masing-masing ke bagasi mobil dan berangkat menuju tempat pertunangan Raejoon dan Heechul oppa akan diadakan. Mobil kami berangkat beriringan. Siwon oppa, Cheonsa onnie,  ayah dan ibu berada di 1 mobil. Lihat, katanya hanya teman. Teman apanya? Mereka ini pemalu sekali.
Aku dan Eunhyuk oppa menjadi yang paling belakang, di depan kami ada mobil Seulrin dan Donghae oppa. Kami yang mengawasi mereka, mengingat kemampuan menyetir Donghae oppa yang memprihatinkan. Darimana dia mendapatkan kartu ijin mengemudi itu?
Setelah 2 jam perjalanan, tidak terasa mobil sudah berhenti. Jam 7 malam dan kami sudah sampai. Semua orang turun dan mengurus barang-barang mereka agar diangkut oleh petugas villa tempat ini. Villa ini memiliki 8 kamar dan sebuah gedung pertemuan megah yang sangat luas. Dengan pemandangan alam yang indah di sekelilingnya. Heechul oppa sangat keren!
.,.
7 p.m
(Heebum’s point of view)
Aku melangkah tergesa-gesa mengikuti langkah Kyuhyun memasuki villa. Angin bertiup sedikit kencang membuat rambutku berterbangan kesana kemari.
“Ah! Ini merepotkan sekali,” aku mencoba mengatur rambutku dan tentu saja tanganku belum sanggup mengikatnya.
Kyuhyun menghentikan langkahnya lalu menatapku. Dia mengambil ikat rambut yang kulilitkan di pergelangan tangan kemudian beranjak berdiri di belakangku dan mulai melakukan sesuatu.
“Sudah,” Dia berdiri di hadapanku, perbuatannya membuatku sedikit termenung. Dia bahkan membantuku mengikat rambut.
“Terima kasih.”
Dia membalas senyumanku. Mengusap kepalaku dan menyarangkan lengannya tetap di atas kepalaku sambil sesekali menepuknya pelan. Senyuman-nya tulus sekali. Kami berdiam dalam posisi seperti ini sampai suara Eunhyuk oppa yang memanggil.
“Ayo ke sana,” dia tetap tersenyum dan menggenggam tanganku agar mengikuti langkahnya.
Angin tetap berhembus tapi sudah tidak menjadi masalah berkat perbuatan pria ini. Aku menatap tangan kami yang saling menggenggam. Entah kenapa pemikiran ini tiba-tiba muncul. Sebelumnya aku hanya orang asing di kehidupannya, namun sekarang aku bahkan bisa merasakan genggaman hangatnya di telapak tanganku. Rencana Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi nikmatnya.
Aku menegakan kepalaku saat sesuatu menyentuh pipi. Kulihat dia yang bergegas memalingkan muka saat aku menatapnya. Lucu sekali.
Aku berpikir banyak dalam waktu yang relatif singkat untuk melakukan ini. Dan ku rasa tidak masalah untuk dilakukan. Aku menghentikan langkahku yang membuatnya mau tak mau ikut berhenti. Dia menatapku yang melepaskan genggaman tangannya. Aku mulai mendekatinya lalu menarik kerah bajunya agar dia menunduk. Kenapa dia harus setinggi ini? Merepotkan dan membuatku harus berjinjit untuk melakukan balasan perbuatannya tadi.
Aku menyentuhkan bibirku ke dahinya dan menahan posisi tersebut. Segalanya terasa seperti slow motion dalam bayanganku. Hening.. Sepi.. Jam-jam gelisah. Cukup ada dia dan aku yang sedang memejamkan mata. Layaknya hanya angin yang mampu berhembus lembut menerpa kami dan menerbangkan dedaunan kering tak berbobot. Tuhan, dengarkan aku. Sepenuh hati. Aku menyayanginya.
Aku menatap wajahnya untuk melihat reaksinya yang ternyata sudah menyeringai setan, jika boleh dibilang ada setan setampan dia.
“Kenapa menatapku seperti itu? Ayo pergi,” aku berjalan mendahuluinya yang masih diam di tempat. Tidak lama karena tiba-tiba dia sudah berjalan di sampingku dan langsung melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Harusnya aku mencium bibirmu tadi.”
Apa katanya? o,O
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku mengantuk sekali.. rasanya ada yang mengoleskan lem di mataku. Aku turun dari mobil saat sudah sampai. Tidak memikirkan apapun karena kupikir aku sedang tidur.
“Omona!” mataku terbuka sedikit karena aku menabrak sesuatu.
“Kau ini bagaimana?”
Ah, ternyata Donghae oppa yang kutabrak, “Maaf oppa, aku tidak melihatmu tadi,” jawabku linglung.
“Kau memprihatinkan. Ayo naik,” dia berjongkok di depanku.
“Aku berat,oppa.
“Naik saja.”
“Aku tidak akan bertanggung jawab jika punggungmu sakit setelah ini,” gumamku sembari memeluk lehernya. Tidak berapa lama tubuhku terasa melayang. Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya.
“Seulrin-ya,” panggilnya yang kujawab dengan gumaman. Hanya 1 kalimat yang kudengar karena setelah itu, entahlah.
“Kau bukan beban untukku, harusnya kau tahu itu.”
.,.
10.13 p.m
(Raejoon’s point of view)
Malam ini langit gelap gulita. Biarpun ada beribu bintang di langit, kupikir tidak satupun yang tersenyum padaku. Kosong.
Jantungku masih bekerja sebagaimana mestinya hingga 1 detik lalu. Memikirkan apa yang akan terjadi di hari esok membuatku cemas. Bagaimana jika tidak ada tamu yang datang? Bagaimana jika Heechul oppa sebenarnya bosan denganku dan memutuskan untuk kabur malam ini? Bagaimana jika dia tidak bahagia setelah kami bertunangan? Dan ribuan bagaimana-bagaimana lainnya. Kepalaku hampir meledak rasanya. Persis seperti jantungku yang sudah nyaris melompat keluar dari tempatnya. Aku mengecek ponselku saat benda itu bergetar.
Jangan isi hari dengan kecemasan hari esok karena akan mengganggu hebatnya hari ini dan akan mengusik indahnya hari esok. Kenapa? Cemas?
Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Dia pasti ada di sekitar sini dan sedang melihatku. Dan benar saja. Dia sedang berdiri dengan tangan dilipat di depan dada yang membuatnya terlihat lebih menggoda, menatapku yang berada di beranda lantai 2.
“Mengikatmu adalah hal paling menyenangkan untukku. Sudah malam. Sana tidur! Awas saja jika muncul keriput di wajahmu besok! Kau adalah tunangan Kim Heechul. Jangan membuatku malu mengakuimu.”
Entah kenapa senyumku mengembang dengan sendirinya memandang punggungnya yang mulai melangkah menjauh. Benar. Dia pasti mencintaiku. Dia pria dewasa dan tidak mungkin gegabah dalam menentukan langkah sepenting ini. Bukankah dia sudah memberiku cincin ini? Benda keramat yang seharusnya kuresapi apa gunanya.
Aku, benarkan?
.,.
Sunday. 7 p.m.
(Heebum’s point of view)
Para undangan yang datang sudah duduk di tempatnya masing-masing. Beberapa jajaran pemerintah Korea Selatan juga terlihat hadir di kursi VVIP. Aku duduk satu meja dengan keluargaku, memperhatikan Raejoon dan Heechul oppa yang berdiri di depan sana. Mereka menjadi pusat perhatian dari semua orang malam ini.
“Terima kasih kepada para undangan yang sudah hadir di sini. Kami selaku pihak yang bersangkutan ingin menyatukan 2 keluarga dengan pertunangan ini. Semoga Tuhan memberkati ikatan mereka,” ayah Heechul oppa memberikan sambutan. Dan entah apalagi hingga tiba saat Heechul oppa dan Raejoon saling bertukar cincin.
Wajah mereka memancarkan kelegaan yang luar biasa setelahnya. Senyum terpaksa yang terlihat sedari tadi kini sudah lenyap dan berganti dengan senyum tulus yang saling menenangkan satu sama lain. Heechul oppa tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, matanya berbinar dan dia menarik kepala Raejoon perlahan masuk ke dalam pelukannya. Gemuruh suara tepuk tangan menandai berakhirnya ketegangan hari ini. Mereka bahagia. Yah meskipun kupikir ini bukan acara untuk mereka. Acara ini ditujukan untuk perusahaan dan pemerintahan. Dan kupikir itu tidak terlalu ber-efek. Mereka sudah bekerja keras selama ini.
Untuk menjadi bahagia, butuh usaha dan kerja keras. Untuk menjadi sedih, yah, semua orang juga bisa menjadi sedih. Benarkan? 0_<
.,.
(Raejoon’s point of view)
Tiba saatnya makan malam. Aku dan Heechul oppa sudah berkumpul bersama keluarga kami. Para pelayan sudah mulai berseliweran kesana kemari membawa piring di tangan mereka. Satu piring besar sampai di meja kami, saat membukanya yang muncul adalah ayam. Oh! Oh! Coba cium baunya.. enak sekali.
“Raejoon-ya, aku tahu kau menyukai ayam. Tapi ini hari pertunanganmu, jadi kumohon jangan permalukan dirimu sendiri dengan tidak mencuci tangan setelah makan dan justru menjilati jarimu,eo?” ujar Hyobin.
“Ya! Kau pikir aku sebodoh itu?!” ucapku tidak terima dan mereka justru tertawa. Apanya yang lucu?
Kadang aku berharap hidup adalah sebuah video sehingga aku bisa menghapus bagian yang tidak kusuka.
.,.
11.15 p.m
(Heebum’s point of view)
Acara resmi sudah berakhir. Tamu-tamu kehormatan sudah pulang seluruhnya.
Malam hari memang saat yang tepat untuk memanjakan diri. Setelah seharian wajah dipenuhi peluh, debu, minyak, ditambah bahan-bahan kimia dari kosmetik yang menempel berjam-jam, tiba saatnya untuk mengusir semua hal menjijikan itu. Kami ber-empat tidur berjajar di dalam kamar. Muka tertutupi masker dan mata terhalangi mentimun. Ini surga dunia namanya \o/. Masker akan membuat kulit wajah kita bersih dan kencang sampai 80 km/jam hahahaha.
Bermenit-menit kami hanya diam, mengarungi pikiran masing-masing. Aku jadi penasaran.
“Apa yang sedang kau pikirkan di saat seperti ini?” aku berbicara dengan gigi yang masih mengatup. Mengantisipasi agar maskerku tidak rusak sementara lenganku menggapai seseorang di samping kananku karena aku memang berbaring di paling kiri. Kalau tidak salah, Hyobin.
“Apa yang kupikirkan?” suaranya teredam sama sepertiku, menjaga kekencangan masker agar tidak rusak yang menyebabkan kulit berkeriput, “Eunhyuk oppa.”
“Lebih spesifik. Apa yang kau pikirkan tentang dia?”
“Tidak tahu. Aku hanya mencoba menghitung berapa lama lagi aku akan tetap bertahan untuk mencintainya. Dan kupikir mencari jawaban dari pertanyaan itu hanya membuang-buang waktu saja. Karena yang ku dapat tidak pernah berubah 1 inchi-pun dari awal semua ini. Rasanya tidak akan jenuh untuk mencintainya.”
“Kau picisan sekali.”
“Ya! Bukankah kau yang bertanya tadi?”
“Jangan berteriak seperti itu kalau tidak mau wajahmu dipenuhi kerutan. Lalu kau Seulrin, apa yang kau pikirkan?”
Aku masih bisa mendengar Hyobin yang menggerutu kesal. Hihihi..
“Aku hanya mengira-ngira apa yang ada di pikiran Donghae oppa. Aku tidak tahu kenapa sulit sekali untuk memahaminya.”
Suaranya terdengar tidak terlalu jauh dari telingaku. Aku jadi ingat sekarang bagaimana posisi kami tadi. Dimulai dari kiri, aku lalu Hyobin, setelah itu Seulrin dan Raejoon yang paling kanan.
“Donghae oppa sering mengumpankanku pada pria lain hanya karena dia ingin aku dapat berpikir jernih siapa yang sebenarnya aku sayangi. Paling tidak itu yang bisa kutangkap.”
“Itu semua membuatku frustasi dan ingin menangis. Rasanya ingin menarik semua rambutku hingga ke akar. Dia selalu merasa tak cukup baik untukku, padahal pada kenyataannya aku yang tidak tahu apa-apa tentang dia. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatnya percaya bahwa hanya ada dia, tidak ada pria lain. Karena segalanya sudah kulakukan.”
“Sampai pada saat dimana aku menumpahkan segalanya. Mungkin itu pertama kalinya aku benar-benar menangis dihadapan seorang pria. Dan kuharap dengan begitu dia mulai mengerti bahwa pemikirannya selama ini salah telak. Aku justru khawatir jika pada prakteknya aku yang tak pantas untuknya.”
“Kau berjuang keras. Seharusnya dalam membuat kimchi usahamu juga sebesar ini.”
“Tidak ada hubungannya! Lalu kau sendiri, apa yang kau pikirkan?”
“Aku? Aku hanya memikirkan berapa banyak uang ayah yang terbuang percuma karena aku sering membolos kuliah. Kyuhyun pasti akan mengatakan hal yang sama di telephone jika aku merajuk karena dia harus mengurus urusannya. Dia pasti akan mengatakan seperti ini, ‘Kau ini kenapa? Ingin memberontak lagi? Apa karena tidak ingin kuliah hari ini? Ya sudah, tidak usah berangkat. Tapi jangan seperti ini, Hee-ya. Jangan mendiamkanku,’  Hahaha... aku sampai bosan mendengarnya.”
“Bosan mendengarnya atau bosan dengan orangnya?”
“Ya! Pemikiran macam apa itu?!”
“Jangan berteriak seperti itu kalau tidak mau wajahmu dipenuhi kerutan hahaha... Lalu kau Raejoon, apa yang kau pikirkan?”
Sial, Itu kata-kataku. Tidak kreatif.. o__o
“Aku memikirkan ayah.”
“Apa?? Ayah?!”
“Iya. Aku ingat saat ayah mengajakku untuk menemaninya memotong rambut. Kalian tahu alasan ayah sering memangkas rambutnya? Itu agar ubannya tidak terlihat. Rasanya tawaku akan meledak saat itu. Tapi aku sadar bahwa itu tempat umum. Jadi ku tahan saja hingga sakit perut.”
“Hanya ayah yang kau pikirkan? Tidak terbesit Heechul oppa sedikitpun?”
“Tentu saja tetap ada. Entah kenapa pria itu begitu usil sehingga selalu berhasil menyelinap ke hal apapun yang aku pikirkan. Saat aku mengingat ibu memasak ramyun, aku teringat bahwa ramyun adalah makanan favoritnya. Saat aku mengingat kau Heebum, aku teringat Heebum –kucing-, lebih tepatnya pemiliknya. Dan banyak pemikiran lainnya yang membuatku kikuk sendiri. Seperti segala ingatanku terdapat tombol hyperlink yang menciptakan jalur agar terhubung dengannya.”
“Aku ingat saat Seunghyun mengakhiri hubungan kami dan memilih melanjutkan study-nya ke luar negeri. Aku benar-benar sedih. Dan disaat seperti itu ada dia yang sering berkunjung ke rumah dengan alasan menemui Siwon oppa. Kalian mengingatnya kan?”
Aku mengangguk. Tak tahu dengan yang lain karena mentimun ini menghalangi pandanganku.
“Dia selalu menghiburku saat aku benar-benar terjatuh. Kalian tahu apa yang dia katakan saat itu? ‘Mungkin saat ini kau yang kehilangan dia, tapi kedepannya dia yang akan kehilanganmu.’ Itu adalah pertama kalinya aku mensyukuri kedatangannya, sebelumnya aku sedikit terusik dengan kemunculannya di rumah. Pemikiran lain mulai bermunculan di benakku bahwa pasti sangat menyenangkan jika dia tetap tinggal untuk menghiburku kapanpun saat aku terpuruk. Dan aku patut bersyukur karena dia juga merasakan hal yang sama.”
“1 tahun setelahnya Seunghyun kembali ke Seoul. Jujur saja saat itu perasaanku padanya belum banyak meluntur. Dan itu sedikit membuatku gamang. Aku benar-benar ingat saat Heechul oppa bertanya apakah aku masih mencintai Seunghyun yang langsung kujawab dengan ‘aku lebih mencintaimu. Suatu hari tiba-tiba Seunghyun meminta untuk bertemu hanya berdua. Kami mengobrol banyak seperti kawan lama yang sudah lama tidak bertemu. Sampai pada saat dia sedikit menyinggung masa lalu dan memintaku untuk kembali padanya yang membuatku risih.”
“ ‘Terkadang hubungan kita berakhir dengan seseorang yang tidak kita inginkan itu akan terjadi. terkadang kita mencintai seseorang yang tidak seharusnya. Hubungan kita berakhir. Dan itu adalah takdirku untuk bertemu dengan dia. Kim Heechul.’ Aku hanya bisa mengatakan itu. Aku masih ingat apa yang aku katakan saat bertemu Heechul oppa setelahnya,                 ‘aku tidak akan mencari cara untuk membuatnya mencintaiku. Aku justru mencoba menemukan banyak cara. Cara untuk membuatnya tidak mencintaiku. Aku keren kan?.
“Aku jadi tidak heran kenapa kau terlihat tua. Pikiranmu itu maha luas.”
“Ya!!”
Yang kami tidak tahu, ternyata pria-pria itu masuk ke dalam kamar dan mendengar semuanya sambil sesekali menahan tawa. Dan setelah puas, mereka keluar dari kamar kami diam-diam sehingga tidak satupun dari kami yang tahu.
.,.
Monday. 7.43 p.m. Villa.
(Heebum’s point of view)
Setelah sepanjang hari tadi kami hanya beristirahat di dalam villa, malam ini kami mengadakan pesta keluarga. Hanya keluarga kecil dari Raejoon dan Heechul oppa saja sebenarnya. Tetap di villa kemarin, menyalakan api unggun dan membakar daging sapi di halaman belakang. Benar-benar terasa kekeluargaan. Aku duduk di kursi dengan snack di pangkuanku, sesekali terbahak melihat tingkah laku orang-orang itu. Rasanya menyenangkan sekali.
Aku tetap bisa bahagia meskipun tanganku terluka. Tetap akan terselip ketidaknyamanan di kehidupan, entah di awal, di tengah, maupun di akhir. Di dunia ini sesuatu yang berlebihan memang tidak terlalu dianjurkan. Begitu juga hidup yang terlalu dan selalu bahagia, pasti akan ada efek tidak baik yang akan terjadi.
Di dalam kehidupanku cukup 3 hal berlebihan yang kuperbolehkan. Uang ayah dan ibu, ketampanan Kyuhyun dan kecantikanku. Hahaha. Tidak, aku hanya bercanda.
Beberapa orang bersyukur bahwa ada yang dipelajari dari hari ini. Untuk beberapa orang lainnya lebih memilih melihat masa lalu dan mempersiapkannya untuk hari esok. Dan masa depan seperti apa yang menunggu kita? Aku tidak tahu.
.,.
(Raejoon’s point of view)
Malam ini aku merasa hangat. Bukan kehangatan karena api atau selimut, melainkan kehangatan yang timbul karena adanya keluarga. Senyum dari setiap orang disini menelusup ke hatiku dan mampu memancarkan kehangatan.
Aku berpikir tentang hidupku yang terlalu mudah untuk dilewati. Benar-benar tanpa halangan berarti. Orangtua yang romantis, saudara yang hangat, harta ayah dan ibu yang tak membuatku berpikir 2 kali untuk membelanjakannya, sahabat baik yang mengitariku, kemampuan otak kanan dan kiri yang seimbang.
Semuanya berjalan lancar sesuai keinginanku hingga tiba dimana Seunghyun meninggalkanku saat itu. Semuanya berantakan, pertama kalinya aku gagal dan itu membuatku jatuh begitu dalam. Mungkin itu adalah saat dimana aku dituntut untuk mengambil pilihan yang ku yakini demi hidupku kedepannya.
Kemudian aku memutuskan untuk bangkit, membuka lebar hatiku dan membuang rasa frustasi yang menyergapku. Dan kupikir aku berhasil. Aku sudah melaluinya.
Di dunia ini semua orang pernah gagal, sebagian menyerah, sebagian bangkit kembali. Maka ada pecundang, ada pemenang.
.,.
(Seulrin’s point of view)
Menyenangkan. Yah meskipun tidak ada orang tuaku disini, aku sudah menganggap mereka sebagai penggantinya. Dimulai dariku yang menjadi member terbaru dari keluarga ini, lalu Donghae oppa, dan sepertinya Cheonsa onnie yang sedang membakar daging bersama Siwon oppa disana akan segera menyusul.
Sayang hidup tidak seperti sebuah kamera sehingga aku bisa merekam detik ini, dimana semua orang tertawa bahagia dan aku akan menyimpannya. Lalu disuatu saat, ketika aku merasa dunia sudah tidak berpihak lagi padaku, aku akan mengulang hari ini, sesuatu yang mampu meringankan bebanku karena aku tahu bahwa mereka akan tetap mendukungku saat hal buruk itu terjadi.
Asal dengan mereka, meskipun hal paling menyebalkan yang akan terjadi, aku merasa bisa melaluinya.
.,.
(Hyobin’s point of view)
Suara tawa begitu menggelegar di sekelilingku. Mau tidak mau aku juga ikut terhanyut dalam candaan mereka yang sebenarnya tidak lucu. Aku yakin semua orang di sini tertawa bukan karena menertawakan suatu hal yang lucu. Mereka dan aku tertawa karena luapan kebahagiaan yang tidak terbendung lagi. Ramai dan mereka begitu nyaman mengeluarkan segala macam emosi layaknya di rumah sendiri.
Tidak peduli dimana rumah kami berada. Karena pada dasarnya di manapun kami bersama, maka itu disebut rumah.
(Hyobin’s point of view end)
.,.
Raejoon :
“Terima kasih telah menjadi orang tua yang sempurna untukku. Terima kasih telah menjadi contoh terbaik untuk kehidupanku kedepannya. Terima kasih untuk banyak tahun berharga yang kita lewati bersama. Kita lanjutkan puluhan tahun kedepan bersama lagi,eo? Tetap seperti ini. Aku mencintai kalian.”

Heebum :
“Ketika aku merasa putus asa, kalian menjadi kekuatan besar yang dapat membantuku untuk bangkit kembali. Disaat aku tidak menemukan tempat untuk bertahan. Disaat aku terjebak dalam badai. Kalian tetap memberiku cinta dan keberanian. Untuk kalian, aku kirimkan rasa terima kasihku.”

Hyobin :
“Disaat aku merasa kesepian, hari-hariku dimasa lalu seringkali dipenuhi tangisan, kalian juga ikut merasakannya. Akhirnya sekarang aku menyadarinya. Hanya satu hal yang dapat menyembuhkan rasa sakit dari kekejaman dunia. Ketika kita saling menyayangi satu sama lain. Hingga hidupku usai, hingga dunia ini berakhir, kita akan tetap bersama selamanya.”

Seulrin :
“Layaknya hal kecil yang menyatu agar menjadi sebuah kekuatan besar. Aku percaya kita adalah satu. Mari bersama kita menciptakan kebahagiaan. Hingga tiba waktunya kita menjadi cahaya untuk dunia yanh kering ini. Aku mencintai kalian.”

Dear My Family, Saranghaeyo...
=END=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar