===
Author : Alfi Cho (GaemFi)
Genre : Life, Family, Romance
Cast :
Cho Kyuhyun - Choi Siwon - Kim Heechul - Lee Donghae - Lee Hyukjae
Choi Heebum - Lee Cheonsa-Choi Raejoon - Choi Seulrin - Choi Hyobin
===
===
Monday. 7 a.m. Choi’s Residence
(Raejoon’s point of view)
Sinar matahari menyusup masuk melalui jendela. Aku membuka jendela
kamarku yang membuat angin segar khas pagi bebas menyelinap masuk dan
mempertontonkan kebun ibu yang ada di bawah. Memperlihatkan burung-burung yang
sedang mandi di air mancur kecil milik ibu. Dan sepertinya aku juga harus
mandi.
Hari ini aku dan Heechul oppa akan melakukan survey untuk tempat pertunangan kami. Aku
bahkan masih belum percaya bahwa pria menyebalkan itu melamarku. Cincin di jari
manisku. Benar-benar cantik seperti aku. Hihihi. Ya! Kenapa jantungku berdegup
seperti ini? Bodoh.
Aku duduk di samping Heechul oppa
yang sedang menyetir. Kami berada di mobil oppa
sementara Ibu, Heebum, Seulrin dan Hyobin berada di mobil ayah. Jujur saja, aku
tak tahu pria ini akan membawaku kemana. Dia sendiri yang berinisiatif untuk
mengurus tempat berlangsungnya acara, jadi sampai sekarangpun aku tak tahu akan
seperti apa tempat itu. Sepertinya ini tak akan menjadi perjalanan yang
singkat. Lebih baik aku tidur daripada mataku kelelahan karena terlalu banyak
mengagumi kelebihan pria di sampingku ini. Hah, bicara apa aku?
.,.
Aku terbangun saat merasa mobil ini berhenti
bergerak. Dan benar saja.
“Sudah sampai?”
Dia hanya bergumam menanggapai pertanyaanku dan
langsung keluar dari mobil. Aku langsung mengikutinya karena aku yakin dia
tidak segan akan meninggalkanku jika aku membuatnya menunggu barang 10 menit
saja. Kulihat keluargaku memasuki sebuah bangunan cantik yang berdiri kokoh.
Dan otakku masih saja tidak berjalan untuk mengetahui dimana ini. Yang jelas
angin segar berkejaran di sekelilingku dan hij-
“Astaga.. Indah
sekali...,” entah bagaimana wajahku sekarang tapi ini benar-benar menakjubkan.
Bukit-bukit itu seperti cuilan surga yang terlempar ke bumi. Aku tidak
melebih-lebihkan. Dan dalam imajinasi gilaku, pria di sampingku ini adalah
malaikat surga yang akan melayaniku. Ha-ha-ha. Konyol!
“Baguslah kalau kau menyukainya. Tidak
berterimakasih padaku?”
Dia berdiri di sampingku. Sepertinya menatapnya adalah
pilihan yang salah karena untuk beberapa saat justru aku terpaku memandangi
wajahnya yang terlalu menyilaukan. Bukan wajahnya sebenarnya, tapi sinar
matahari itu. Astaga.. kenapa bisa silau sekali di sini? Harusnya aku memakai
kacamata. Beralih dari kacamata, kenapa aku harus berterima kasih?
“Untuk apa?”
Giliran dia yang menatapku, “Kau pikir menemukan
tempat seperti ini mudah? Aku harus meluangkan waktuku yang sangat berharga,
kau tahu?”
“Terima kasih!” dia merusak naluri berliburku hari ini .__- Perhitungan
sekali. Menyebalkan!
“Galak sekali. Ah iya, aku ingin menunjukanmu sesuatu,” dia merogoh
saku celananya. Mengeluarkan benda berbentuk kubus kecil yang dilapisi beludru
kurasa. Cincin. Tapi bukankah dia sudah memberiku cincin?
“Tunggu, kau kan sudah memberiku cincin.” Aku mengangkat telapak
tanganku di hadapannya.
“Yang ini lepas saja.”
Dia menarik cincin itu. Sedikit susah. Yang ada dia
justru mencabutnya paksa, “ Ya!! Sakit bodoh!”
Aku memukul bahunya sedikit keras. Jariku yang
cantik sekarang menjadi merah. Sedih sekali..
“Ah, maaf. Terlalu lama dan kau tahu kesabaranku
sangat tipis. Kau bertambah gemuk eo?”
Apa katanya?
“Ya! Bisakah kau tidak usah membicarakan hal ini?
Paling tidak berpura-puralah tidak tahu! Menyebalkan!”
“Kau marah? Sayang sekali. Sepertinya aku harus mengembalikannya ke
toko setelah ini.”
Dia sengaja membuka kotak cincin itu tepat di depan
mataku. Aku memang belum melihatnya tadi. Tapi sungguh, benda ini cantik
sekali. Lebih molek dibanding cincin sebelumnya.
“Semuanya sama. Langsung melunak jika melihat barang mewah.”
“Kau ini cerewet sekali!” aku tidak menatapnya kali ini, benda cantik
digenggamanku lebih menarik perhatian daripada harus melihat wajah
menyebalkannya itu.
“Aku memang berbakat membuat matamu berbinar
seperti itu.”
Ya ya ya.. terserah apa katamu Kim Heechul.
Suaranya terasa dekat di telingaku. Tiba-tiba kedua tangannya ikut memegang
cincin ini. Posisinya masih berdiri di belakangku hingga aku dapat mendengar
dengan jelas setiap tarikan nafasnya. Sesuatu yang membuatku rela menukarkan
apa saja untuk menahannya di sini. Tinggal bersamaku.
Kedua lengannya mengurungku dalam tubuhnya, jika boleh kubilang, bukan
memeluk, tapi menekan erat. Hanya sebentar, karena setelah itu pelukan ringan
yang ada. Kami menggoyangkan badan bersama, menikmati angin yang berhembus
menerbangkan rambut dan sesekali aku merasakan sentuhan kecil di puncak
kepalaku.
.,.
(Seulrin’s point of view)
Raejoon dan Heechul oppa
sedang sibuk mengurusi urusan mereka. Dan karena tingkat kebosanan yang sudah
melebihi batas kepala, aku, Heebum dan Hyobin memutuskan untuk menelusuri
daerah ini. Kapan lagi melihat pemandangan yang cantik seperti ini?
“Hei, kau mau kemana?” teriakku saat Heebum melangkah menjauhiku dan
Hyobin. Dia berbincang dengan pemuda yang sepertinya menyewakan motor trail. Tak sampai 1 menit Heebum sudah
berada di atas motor itu. Seperti dia bisa saja. Wajah kegirangannya itu
benar-benar tak layak untuk dilihat.
Dia mulai melajukan motornya. Entah apa yang terjadi, kejadian itu
berlalu begitu saja. Yang kulihat Heebum terjatuh dan terdengar debuman lumayan
keras. Kami yang melihatnya langsung bergegas menghampirinya.
“Auu.. Lenganku!”
.,.
Hospital
Dari posisiku duduk sekarang terlihat Heebum yang
tidur tengkurap di ranjang rawatnya. Wajahnya sedikit pucat. Kami berada di
rumah sakit Seoul karena tak mungkin jika dia harus dirawat di rumah sakit
daerah itu. Untuk tidurpun dia harus diberi sedikit suntikan. Saat kejadian
tadi dia tidak pingsan. Dia tetap sadar dan itu justru membuat sepupu bodohku
merasakan sakit dari lengan kanannya yang retak. Dia hanya meringis saat bahu
atau anggota badannya yang terluka bergesekan dengan ranjang dan justru hal itu
yang membuatku nyilu sendiri. Baguslah jika dia tertidur.
Samchon
dan Komo sedang mengurus
administrasi. Sedangkan Kyuhyun oppa
dalam perjalanan kemari. Hah.. pasangan ini, entahlah.
.,.
(Heebum’s point of view)
Badanku.. Aku nyaris tak percaya bahwa aku masih
bisa hidup dengan rasa sakit seperti ini. Sakit sekali. Aku mengedarkan
pandanganku. Tadi sebelum aku tidur ada Seulrin, Hyobin, Raejoon, dan Heechul oppa di sini. Sekarang hanya ada Seulrin
yang menonton TV di sofa pojok dan Kyuhyun yang duduk di kursi sampingku. Aku bahkan
tak tahu kapan dia datang.
Dia hanya diam. Dan aku yakin bahwa tubuhku tak
terlihat jika saja pandangan matanya tidak menatapku setajam ini. Diam seperti
ini membuatku mengantuk lagipula mataku belum kubiasakan untuk terbuka terlalu
lama dan pria ini tidak tampak ingin mengatakan sesuatu.
“Tetaplah terjaga.”
Suara rendah itu mengacaukan keegoisanku untuk
menuntaskan rasa kantuk berlebih. Benar-benar ampuh untuk membuatku melupakan
keinginan pribadi dan menepati perkataannya. Pada akhirnya niatku melanjutkan
tidur harus kutunda. Untuk pria satu yang merepotkan ini.
Tangannya terulur mengusap kepalaku, nyaman dan
membuat hati menghangat,“Gadis bodoh.”
Mwo? Aku
memukul tangannya pelan, “Bagaimana jika aku benar-benar menjadi bodoh?!”
Dan dia hanya diam. Mungkin sedang membenarkan
ucapanku. Tidak mungkin dia mau mempunyai kekasih yang bodoh karena kutukan
yang keluar dari mulutnya sendiri. Aku mencoba beranjak dari posisiku.
“Assh..” aku meringis merasakan lenganku. Rasanya..
parah sekali..
“Hati-hati,” Kyuhyun melingkarkan lengannya di
sekitar bahuku dan mencoba membantu membenahi posisiku tapi sepertinya ini
sebuah kesalahan. Astaga!!
“Auw! Ya!! Jangan pegang di situ! Itu sakit sekali!”
dan akhirnya posisiku membaik. Tapi tetap saja rasanya tulangku dicabut secara
paksa. Sakit... T,T
“Apa yang kau rasakan?”
“Rasanya badanku remuk semua jika kau mau tahu.”
Dia diam. Tidak biasanya yang selalu ada
teriakannya. Apa ucapanku barusan terlalu berpengaruh? Aku tidak benar-benar
serius mengatakannya, ya meskipun memang sakit di sana-sini. Tapi dia tak perlu
memperlihatkan tatapannya yang seperti itu.
“Kau terlihat menyedihkan, kau tahu? Baru beranjak
dari sisiku sebentar dan berakhir seperti ini. Apa yang ingin kau dapatkan dari
motor bodoh itu mm? Gadis bodoh dan ceroboh.”
Dia mengatai aku bodoh? Ceroboh? Dia pikir karena
siapa aku seperti ini? Dia yang menolak untuk ikut pergi bersama. Jika bukan
karena mati kebosanan aku juga tak akan menaiki motor yang katanya bodoh itu.
“Sudah? Sudah puas menghinaku?” kupikir dia akan
menyemangatiku seperti di drama-drama yang sering kulihat, ternyata tidak sama
sekali, “Kau pulang saja.”
Aku membalikkan tubuhku. Menghadapkan punggungku
untuk dia lihat. Jika aku baik-baik saja sudah kupastikan aku akan pergi. Aku
pikir dia bisa membuatku merasa lebih baik. Jika begini lebih baik dia tidak
perlu datang kemari. Aku tidur saja.
“Heebum...”
“Hee-ya..”
“Hei, aku tahu kau belum tidur.”
Tangannya mengusap dahiku. Dan pertahananku mulai
runtuh jika sudah begini. Tapi tidak boleh. Tidak bisa.
“Oke! Baik! Baik! Aku minta maaf. Aku benar-benar
minta maaf. Sekarang kumohon buka matamu.”
Aku tetap memejamkan mataku.
“Baiklah, aku akan pulang. Kau istirahatlah dengan
baik.”
Dia mengelus kepalaku lalu mengecup pipiku.
Dengarkan? Dia memutuskan untuk pulang tanpa
berusaha sedikit lebih keras. Jika sudah begini aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku yang akan merendahkan diri. Ini namanya senjata makan tuan. Astaga.. aku
juga yang akhirnya harus bertindak. Baiklah, ini memalukan.
“Kyuhyun-a, jangan pergi..”
.,.
(Seulrin’s point of view)
“Satu suap lagi.”
Aku sedang menonton TV di dalam kamar rawat Heebum. Kyuhyun oppa sedang membujuk sepupuku itu untuk
menghabiskan makanannya. Kalian tahu? Aku merasa seperti patung di sini.
Diabaikan. Huhuhu.. sedih sekali. Tapi tidak masalah, aku akan memata-matai
mereka hahaha.
Aku sempat hampir terjungkal tadi begitu mendengar permintaan Heebum
agar Kyuhyun oppa tidak pergi.
Padahal dia sendiri yang menginginkan Kyuhyun oppa pulang, tapi dia juga yang
mencegahnya.
Heebum menggelengkan kepalanya, “Aku sudah kenyang. Sepertinya
lambungku terluka gara-gara kejadian tadi sehingga membuatku cepat kenyang.”
“Mana ada yang seperti itu?” Kyuhyun oppa menyentil dahi Heebum.
Sebab yang tidak masuk akal. Kemungkinannya adalah keadaan tubuhnya
yang tidak terlalu baik sehingga membuat nafsu makannya sedikit terganggu.
Heebum itu tipe perut karet. Entah kenapa lebar perutnya seolah-olah akan
menyesuaikan sebanyak apapun jumlah makanan yang dia lahap. Gadis itu tidak
akan cepat kenyang jika tidak ada banyak minuman untuk menggenapi asupan
nutrisinya. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya menghabiskan makanan. Sangat
cepat.
Akan menjadi sedikit terlambat jika makanan yang dia makan dalam
keadaan panas. Dia akan menunggu makanan itu hingga dingin baru setelah itu
mulai memakannya. Hal yang serupa dengan Heechul oppa dan samchon.
Keadaan sejenak sunyi. Aku mengintip lagi.
Heebum dengan mulutnya yang penuh sedang berusaha menelan makanan yang
disuapkan Kyuhyun oppa sedikit demi
sedikit.
“Sakit?” Kyuhyun oppa
mengusap pelan luka gores di bawah ujung mata kanan Heebum.
“Ini?” Heebum menunjuk luka itu, “sedikit perih. Kalau lenganku sakit
sekali. Hihihi.”
“Kau masih bisa tertawa dalam keadaan seperti ini?” Cengiran Heebum
mendominasi wajahnya.
“Eomma dan nunna besok akan kemari.”
“Kau memberi tahu mereka?”
Kyuhyun oppa menyodorkan
sesuap makanan ke arah Heebum.
“Sudah.. Sudah kenyang,” Heebum menjauhkan kepalanya dari sendok itu.
Sepertinya Kyuhyun oppa menyerah
karena dia mengembalikan sendok itu ke dalam mangkuk.
“Jelas saja aku memberitahu mereka. Kau ini aneh.”
“Harusnya tidak usah. Aku tidak enak sendiri.”
“Untuk?”
“Mereka pasti sedang sibuk dan justru memaksakan diri untuk datang.”
“Kau pikir mereka sibuk apa?”
“Aku tidak tahu. Tapi hidup mereka kan bukan hanya tentang aku Kyu..”
Kyuhyun oppa terdiam. Dan aku
nyaris bersorak kegirangan saat Kyuhyun oppa
mengecup pipi Heebum. Hal yang kecil memang, aku juga sering melakukan itu.
Tapi akan menjadi lain saat aku melihat pasangan lain yang melakukannya.
“Kau ini cerewet sekali. Mereka hanya menjengukmu lalu pulang, bukan
menyerahkan diri untuk dihukum mati, Hee-ya.”
.,.
“Sedang apa di sini?”
Aku menoleh. Salahku yang terlalu memperhatikan kedua orang itu hingga tak
menyadari kedatangan Donghae oppa.
Aku tersenyum lalu menghedikan daguku ke arah pasangan itu.
“Apa saja yang sudah mereka lakukan?”
“Kau akan memberiku apa jika aku memberitahu?”
“Perhitungan sekali. Kau sudah makan? Tidak lapar?”
“Lapar..”
“Ayo kita makan.”
Donghae oppa menggenggam
tanganku. Hangat dan perlakuannya yang seperti ini seolah-olah membangunkan kupu-kupu
di dalam perutku sehingga mereka berterbangan saat ini. Hahaha. Perumpamaan
yang menjijikan. Tapi aku menyukainya. Apa saja asal itu menggambarkan
perlakuan pria ini padaku selama hanya ada aku dalam radius pandangannya.
Dia mengajakku ke salah satu restaurant
yang masih terletak di kawasan rumah sakit. Di dalam sudah ada Heechul oppa, Raejoon, Eunhyuk oppa, Hyobin, dan Siwon oppa dengan seorang gadis yang belum aku
kenal. Kekasihnya mungkin.
“Akhirnya kalian datang juga.”
Kami duduk satu meja dengan mereka dan langsung memulai mengisi perut
karena makanan-makanan cantik ini terlalu sayang jika diabaikan begitu saja.
“Aku tidak suka bawang dan kau malah memasukannya,” Hyobin menjauhkan
tangan Eunhyuk oppa yang sepertinya
ingin menyuapkan bulgogi. Eunhyuk oppa
melahap makanan itu setengah, “Bagian yang ada bawangnya sudah kumakan,” dan
potongan lainnya disuapkan kembali ke mulut Hyobin.
Cukup mengharukan melihat mereka berdua sepertinya sudah benar-benar
menerima satu sama lain. Tapi apa Hyobin tidak ingat perkataan komo? ‘air liur itu sumber bakteri,’ ditambah lagi itu air liur Eunhyuk oppa. Iiiii.. tapi jika sudah cinta, mau
bagaimana lagi? Benar kan benar kan?
“Kapan wisudamu?” tanya Heechul oppa
yang ditujukan untuk Eunhyuk oppa.
“Minggu depan. Tapi akan ada prawisuda besok. Kalian datang?”
“Kami datang sebentar lalu pergi mengecek lokasi kemarin yang
seharusnya sudah beres jika saja Heebum tidak mencari masalah,” Raejoon yang
angkat bicara menjawab Eunhyuk oppa.
“Sebenarnya bukan salahnya juga. Dia tak akan mungkin melakukan itu
jika tahu pada akhirnya akan seperti ini.”
Aku menganggukan kepalaku. Benar kata Donghae oppa. Siapa juga yang mau menjadi gadis itu saat ini? Satu
keuntungan dari keadaannya sekarang, perhatian Kyuhyun oppa lebih banyak terpusat padanya. Mungkin aku bisa melakukan hal
yang sama untuk menarik perhatian bila Donghae oppa sedang sibuk. Ah, tidak perlu. Masa hanya untuk mendapatkan
perhatian harus meretak-kan lengan? Lagipula perhatian Donghae oppa hanya tercurahkan untukku.. hihihi.
Menggelikan.
“Ah ye, Siwon oppa, siapa
gadis cantik yang kau culik itu?”
Melihat gadis itu menundukan wajahnya tersipu. Terlalu sibuk hingga
melupakan pertanyaan primer yang bergentayangan di otakku sejak awal. Beruntung
Hyobin mengangkatnya ke permukaan. Sayup-sayup aku mendengar bisikan Siwon oppa ke telinga gadis tersebut,
“Perkenalkan dirimu.”
Gadis itu mengangkat wajahnya hingga aku bisa melihat kecantikan alami
tanpa make up yang berlebihan. Bukan
tipe gadis nocturnal yang akan
kelayapan jika sudah tidak ada matahari di atas kepala. Gadis yang santun dan
agamis sepertinya, dengan selera fashion
yang bagus. Tipikal Siwon oppa
sekali. Terlihat juga dia bukan gadis yang akan membuat Siwon oppa mengeluarkan banyak uang. Ya
meskipun aku yakin bahwa oppa tidak
akan keberatan jika hal itu mesti dilakukan.
“Perkenalkan, Lee Cheonsa,” dia menyalami kami satu persatu.
“Maaf jika ini kurang santun, tapi aku ingin tahu berapa usiamu.”
“Kau ingin memastikan bahwa dia tidak lebih tua dari Siwon?”
“Bukan begitu, aku hanya ingin memastikan akan memanggilnya apa,” jawab
Raejoon yang tidak terlalu digubris karena teredam suara terbahak kami.
Dan saat seperti ini aku merasa begitu beruntung karena memiliki
keluarga seperti mereka.
“Sudah sudah, jangan tertawa lagi. Kalian tidak melihat wajahnya? Aku
25 tahun. Panggil onnie jika kalian
mau.”
“Cheonsa onnie. Beginikan
lebih jelas!” Raejoon mencoba membela dirinya.
“Apa kau kekasih Siwon oppa, onnie?”
“Tidak. Kami hanya berteman.”
“Astaga oppa! Jangan
membuatku malu menjadi saudaramu! Sudah se-serasi ini dan kau belum berani
mengungkapkannya?” gelak tawa kami kembali memenuhi udara begitu mendengar
cibiran Raejoon. Melihat wajah kedua orang itu yang merona membuatku geli.
“Kita di sini untuk makan kan?”
“Oppa.. kau malu ya? Hahaha...”
Cheonsa onnie. Senang rasanya
bertemu dengan kandidat kuat calon anggota baru kami. Ini menyenangkan.
.,.
“Beri aku hadiah,” semua mata tertuju pada Eunhyuk oppa.
“Hadiah? Untuk?”
“Aku kan sudah lulus, setidaknya beri aku hadiah,” jawabnya sembari
mengulurkan tangan untuk mengambil potongan daging sapi yang sedang dipanggang,
“aku punya ide, bagaimana jika gunting batu kertas? Yang kalah akan membayar
makan malam kali ini,” lanjut Eunhyuk oppa
memasukkan daging tadi ke dalam mulutnya.
Gunting batu kertas? Sebenarnya berapa usia mereka?
Donghae oppa, Eunhyuk oppa, Heechul oppa dan Siwon oppa
berdiri lalu memulai permainan. Donghae oppa
melawan Eunhyuk oppa, Heechul oppa melawan Siwon oppa. Kejadiannya begitu cepat. Yang kulihat Eunhyuk oppa melompat-lompat kegirangan lalu
berpelukan dengan Heechul oppa,
Donghae oppa berhadapan dengan Siwon oppa dan sedetik lalu Siwon oppa tersenyum lebar sembari ber-high five dengan Eunhyuk oppa dan Heechul oppa sementara wajah Donghae oppa
yang benar-benar kecewa.
Apa? Dia kalah?
Semua keluarga kami keluar dari restaurant.
Meninggalkan aku dan Donghae oppa
beserta puluhan piring kotor yang tertinggal bekas minyak di permukaannya.
Lihat, wajah Donghae oppa
tetap terlihat merana meski tampan (x__x”). Kumohon, jangan tunjukan wajah itu.
Aku tak tega.
“Aku membawa dompet jika kau tidak punya uang, oppa.”
Dia menatapku agak lama. Tatapannya jika kuterjemahkan seperti ini ’kau pikir aku tidak punya uang? Aku hanya
sayang jika mengeluarkan uangku untuk sahabatku yang benar-benar pelit itu’
“Baiklah. Aku tak akan melukai harga dirimu sebagai seorang pria.”
“Asal kau tahu saja, Nona Choi. Aku bisa saja membeli restaurant ini secara cash sekarang juga jika kau memintanya.”
.,.
Tuesday. 11 a.m. Pak Cai
University
(Hyobin’s point of view)
Lihat dia, benar-benar membutakan. Dengan semena-mena dia membuat
mataku seolah-olah tertutupi kacamata kuda sehingga pandanganku hanya terfokus
padanya dan tidak pada pria lain. Dan sialnya bukan hanya aku yang melihatnya
saat ini.
“Lee Hyukjae!”
“Eunhyuk oppa!”
“Astaga dia tampan sekali!”
Kalian dengar kan? Pengagumnya itu banyak sekali. Apa mereka tidak
tahu, pria yang mereka dewa-dewakan itu kekasihku. Tidak tahu malu.
Dia naik ke atas panggung bersama sunbae
lainnya. Ini adalah acara prawisuda dan
mereka menjadi pengisi acara menunjukkan skill
dance yang mereka miliki. Suara gadis-gadis itu semakin memekakan telinga
seiring musik yang mulai menggerayangi.
Aku sering memikirkan hal ini, kenyataan bahwa ketampanannya juga
berlaku pada gadis lain. Tidak bisakah ketampanannya hanya berlaku untukku saja
sehingga tidak ada perasaan gadis lain yang akan mengusik dan membuatku risih?
Tapi yasudahlah. Yang pasti aku yang berhasil memenangkan hatinya.
Aku menghentikan seluruh kegiatanku dan melayangkan pandanganku ke
arahnya. Di saat seluruh perhatian terpusat padanya, dan orang lain akan
berteriak kagum, aku memilih untuk diam. Menghentikan sebagian indraku untuk
menajamkan indra lainnya dan berkonsentrasi penuh pada sosoknya. Setidaknya ada
yang bisa ku banggakan karena berbeda dengan gadis kebanyakan.
Kupikir dancenya sudah hampir
selesai. Hei, apa yang dia lakukan? Teriakan dari sekelilingku semakin gencar.
Ini mengkhawatirkan!
“Lee Hyukjae!! Awas kau!”
Dia langsung menatapku dan menurunkan kembali t-shirt yang nyaris saja tak mampu menyembunyikan perutnya dari
pandangan orang-orang. Beberapa orang menatap ke arahku. Aku tak peduli. Jika
hanya ketampanannya yang berlaku untuk gadis lain, itu tidak terlalu
bermasalah. Masih bisa ku toleransi. Tapi ini? Tidak untuk bagian tubuhnya.
Hanya aku saja yang boleh menikmati. Ini harga mati.
.,.
3 p.m. Hospital.
(Heebum’s point of view)
Pintu kamar rawat terbuka dan langsung menampilkan 2 sosok yang sudah
tidak asing lagi untukku. Hana ahjumma
–Ibu Kyuhyun- dan Ahra onnie.
“Annyeong Haseyo,” sapa mereka.
“Annyeong Haseyo.”
Beberapa anggota keluargaku keluar dari kamar, menyisakan ibu dan
Kyuhyun yang masih asyik memainkan jari tangan kiriku.
“Bagaimana keadaannya?” Kudengar Hana ahjumma bertanya pada ibu.
“Hanya luka ringan dan lengan kanannya sedikit retak.”
“Astaga.. Masih sakit sekali?” Tanya ahjumma sembari mengelus kepalaku yang kubalas dengan gelengan
kepala, “Sudah lebih baik, Ahjumma.”
“Baguslah jika begitu.”
Setelah itu ahjumma berbincang
dengan ibu di sofa pojok. Terlihat ahjumma
yang memberikan sekeranjang buah-buahan pada ibu dan kutebak ibu akan berkata, ‘astaga.. tidak perlu repot-repot,’ Lalu ahjumma akan menjawab, ‘tidak
merepotkan sama sekali,’ Ya begitulah..
Ahra onnie bergabung
bersamaku dan Kyuhyun. Kami membicarakan banyak hal. Hanya aku dan onnie sebenarnya, Kyuhyun masih sibuk
dengan jariku dan hanya sesekali menimpali obrolan kami. Kami tertawa bersama
saat Ahra onnie menceritakan masa
kecil Kyuhyun. Dan sang tokoh utama hanya diam.
“Darahmu naik.”
Aku melirik selang infus yang menusuk pergelangan tangan kiriku. Dia
benar, sudah berubah warna menjadi merah sebagian. Salahku karena terlalu
banyak bergerak.
“Tidak apa-apa,Kyu.”
“Tidak. Aku akan memanggil perawat.”
“Tidak perlu kyu. Kyu...” percuma saja karena dia sudah keluar dari
kamar ini.
“Benar tidak apa-apa?”
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ahra onnie.
“Lihat dia. Benar-benar protektif jika menyangkut dirimu.”
Aku menatap onnie yang masih
menatap pintu, hanya sebentar karena setelah itu dia membalas tatapanku.
“Kau benar-benar mencintainya?”
“Sayangnya Onnie, adikmu
sudah membuatku mencintainya habis-habisan.”
“Kalian benar-benar tergila-gila satu sama lain.”
“Aku anggap itu sebuah pujian.”
.,.
(Raejoon’s point of view)
Saat ini kami berada di ruang tamu kamar rawat Heebum. Kamar rawat yang
dipesan ayah adalah sebuah ruangan
luas yang terdapat kamar rawat lagi di dalamnya. Sehingga dari ruang tamu ini
terdapat pintu yang menghubungkan ke kamar tempat Heebum berada sekarang.
Aku dan yang lainnya memilih menyingkir dari dalam kamar untuk
memberikan privasi pada Heebum dan keluarga Kyuhyun oppa yang datang.
“Aku hampir lupa ayah seorang pejabat jika wartawan-wartawan itu tidak
memenuhi koridor,” kulihat Hyobin datang dengan Eunhyuk oppa yang mengikuti di belakangnya.
Beberapa program TV memang sedang gencar-gencarnya memberitakan Heebum
yang dirawat di rumah sakit ini. Tidak heran mengingat ayah merupakan pegawai
pemerintahan. Dan beruntung rumah sakit ini menjaga kenyamanan pasiennya sehingga
keamanan diperketat untuk menghalau para wartawan yang sudah mengepung lobi
rumah sakit agar tidak naik hingga kemari.
“Ada Kwangsoo samchon di
luar.”
“Benarkah? Ada Yeonwoo juga?”
“Ada.”
Aku segera beranjak dari duduk ku, melangkah keluar dari ruangan ini.
Yeonwoo adalah sepupu kami, anak bungsu Kwangsoo samchon yang merupakan adik ayah dan adik ayah Seulrin. Usia
Yeonwoo 9 tahun dan aku suka sekali padanya. Heechul oppa mengikutiku keluar.
Kulihat Yeonwoo sedang bersama Siwon oppa
saat aku memanggilnya.
“Yeonwoo-ya.”
“Oppa.. aku merindukanmu!”
Yeonwoo berlari dan langsung melompat ke arah Heechul oppa.
APA? Sebenarnya siapa sepupunya?!?
“Ya! Kenapa hanya dia yang kau rindukan?!”
“Karena oppa tampan sekali. Memangnya ada alasan lain, onnie?”
0,o’ Sainganku,
banyak sekali >,<
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku menatap pemandangan di luar jendela kereta ini. Donghae oppa dan aku dalam perjalanan menuju Mokpo.
Dia berencana mengajakku ke suatu tempat. Entah sudah berapa lama hingga sampai
di stasiun, aku tidak tahu. Waktu menjadi tidak begitu penting jika bersamanya.
Udara segar menyambutku saat turun. Donghae oppa menggenggam tanganku agar tidak tersesat di sini. Aku memang
belum pernah kemari sebelumnya. Kami berjalan keluar statiun menuju mobil yang
sudah disiapkan keluarga oppa. Dengan supir juga di dalamnya. Aku dan oppa duduk di jok belakang dan mobil
mulai membelah jalanan Mokpo.
Mokpo tidak jauh berbeda dari Seoul, hanya saja tidak seramai itu.
Setelah beberapa lama, mobil ini berbelok memasuki kawasan pemakaman keluarga.
Ah. Kenapa tidak kupikirkan dari awal? Donghae oppa mengajakku mengunjungi ayahnya.
“Ayo.”
Aku menggenggam tangannya yang terulur ke arah ku. Kami melangkah
bersama. Aku memandangi wajahnya dari samping, mencari tahu jenis emosi apa
yang dia rasakan saat ini. Tapi tidak bisa, aku tidak pandai dalam hal ini.
Sepertinya dia tidak menyadari, tatapannya tetap terfokus ke depan.
Kami berhenti di depan sebuah gundukan tanah tinggi yang sudah
ditumbuhi rumput khusus. Donghae oppa
melepas genggamannya dan meletakan ranselnya ke tanah. Dia mulai membungkuk dan
bersujud, tanpa sadar aku mengikutinya. Kami melakukannya bersama.
Setelah itu kami berdiri. Donghae oppa
membuka ransel dan mengeluarkan arak beras kemudian menuangkannya ke permukaan
makam paman.
“Bagaimana kabarmu, Appa? Appa baik kan?”
“Aku membawa seseorang. Dia yang kupilih, semoga Appa menyukainya,” Donghae oppa
membalikkan badannya dan menatapku.
Aku membungkuk sopan sebelum akhirnya membuka mulutku, “Apa kabar
paman? Choi Seulrin imnida. Kuharap
paman akan menyukaiku karena anakmu sudah benar-benar jatuh cinta padaku,” aku
tertawa kecil. Donghae oppa ikut
terkekeh sebelum akhirnya membalikan badannya lagi.
Dia mulai berdoa. Berkomunikasi dengan Tuhan dan menceritakan segala
hal yang dilewatkan paman. Aku hanya berdiri di belakangnya, diam memandangi
punggung pria itu. Tidak tahu harus melakukan apa selain ikut berdoa.
Air dari langit mulai menetes kecil. Disengaja atau tidak, ini menjadi
lebih menyentuh. Oppa masih berdiri di sana dan aku tidak
berkeinginan untuk berteduh. Air hujan membasahi wajahku, menyamarkan air mata
yang entah sejak kapan mulai keluar.
Lihat dia, pria yang aku cintai itu sudah merasakan betapa sakitnya
kehilangan orang tersayang. Aku lebih beruntung dan seharusnya aku bersyukur.
Donghae oppa membalikan badannya,
berjalan ke arahku dan menuntunku masuk ke dalam pelukan ringannya, “Kenapa tidak
berteduh?”
Aku menggeleng dan tetap mengunci mulutku, menyerukan kepalaku ke
dadanya dengan maksud menghapus air mataku. Kami melangkah pulang menuju mobil.
Paman... kau lihat kan? Anakmu sudah dewasa. Tidak secengeng seperti
yang diceritakan Eunhyuk oppa dulu.
Dia sudah lebih menurut pada bibi. Sudah pandai menyembunyikan rindunya padamu.
Aku tahu dia sangat merindukanmu. Tapi pikiranku tidak mencukupi untuk
memikirkan seberapa besarnya. Dia selalu ingin mendengar suara paman saat
melihat nomor ponselmu. Dia akan selalu menunggu paman menemuinya dalam mimpi.
Kau mendidiknya dengan baik, paman. Bahagialah di sana.
Donghae oppa mengajarkanku
banyak hal tentang kehidupan. Membuatku memahami kenapa harus ada perpisahan
seiring terlahirnya pertemuan. Sebuah perpisahan akan membuat pertemuan kembali
terasa indah sekali. Sudah sepantasnya kita mensyukuri dan mengisi pertemuan
kembali itu dengan sebaik mungkin sebelum munculnya perpisahan selanjutnya yang
belum tentu akan ada pertemuan lagi.
.,.
Wednesday. 9 a.m.
(Hyobin’s point of view)
Aku memasuki gedung kantor Eunhyuk oppa,
sesekali membalas sapaan dari pegawai yang sepertinya sudah hafal denganku. Dia
memintaku datang kemari tadi, menyerahkan hak asuh Choco 1 hari ini. Ah, itu
dia. Duduk dengan Choco di pangkuannya.
“Sudah lama menunggu?” Aku menghampiri mereka.
“Tidak juga. Aku ada rapat sebentar hari ini dan tidak mungkin Choco
ikut. Sekretarisku juga ikut dalam rapat. Maaf merepotkanmu,” ucapnya sembari
mengangsurkan Choco ke gendonganku.
“Tidak merepotkan. Halo sayang.. kau merindukanku mm?”
Sedikit geli, basah dan hangat saat Choco menjilati pipiku, sepertinya
dia sudah benar-benar menerimaku sebagai kakak iparnya.
“Kau rapat jam berapa, Oppa?”
Aku mengalihkan pandanganku dari Choco ke arah Eunhyuk oppa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya
sebelum akhirnya menjawab, “5 menit lagi.”
“5 menit lagi dan kau masih di sini? Sudah sana pergi! Kau bisa
terlambat nanti.”
“Kau mengusirku? Lagipula aku ini Vice
President Directur, tidak masalah jika aku terlambat.”
“Mana bisa seperti itu? Kau membuat contoh yang jelek untuk pekerja
lainnya.”
“Baiklah, sepertinya Choco mendominasi pikiranmu hari ini. Jika
urusanku sudah beres, aku akan menguasai perhatianmu lagi.”
“Ya ya ya. Terserahmu Oppa.”
Aku ikut melangkah menuju lift mengantar Eunhyuk oppa. Kami berhenti tepat di depan lift yang masih tertutup dan
kemudian dia membalikan tubuhnya menghadapku, “Jaga dirimu, eo?” Dia mencium keningku singkat lalu
mengusap bulu Choco sebelum akhirnya masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
Choco meraih-raih udara agar terlepas dari gendonganku, “Kau tidak
boleh ikut ke dalam. Di sini saja bersama nunna,eo?”
Hanya tertinggal 3 detik waktu yang tersisa sampai pintu tertutup
sempurna sampai..
“Saranghae!”
Dia berteriak sebelum pintu lift benar-benar tertutup. Membuat seluruh
orang di ruangan ini menatap ke arahku sembari tersenyum konyol. Astaga! Mukaku
memanas.. kau membuatku malu Oppa.
Dia pasti sedang tertawa puas di dalam sana. Sial! Yang mereka perhatikan hanya
aku, sedangkan si terdakwa kabur begitu saja. /O\
Dengan sisa tebal muka yang mulai terkikis, aku bergegas keluar dengan
kepala menunduk sebelum ada hal lebih memalukan yang akan terjadi. Omong-omong,
nado saranghae Oppa.
Aku bersama Choco memasuki sebuah minimarket
membeli sekotak susu untuknya. Setelah membayar di kasir, kami beranjak keluar
dan aku mengambil makanan Choco di dalam mobil oppa.
Sinar matahari cukup cerah kurasa. Dan mungkin pilihan bagus untuk kami
bermain bersama di taman dekat kantor Eunhyuk oppa. Sementara Choco melahap makan siangnya, aku memilih duduk di
sebuah bangku panjang dan mengeluarkan tablet PC memulai memeriksa tugas
kuliahku.
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat kulihat ke arah Choco. Dia
lenyap tak berbekas. Aku bergegas memasukan PC ke dalam tas dan berlarian
kesana kemari seperti orang gila untuk mencarinya. Astaga.. Dimana dia?
Aku menghentikan langkah saat melihat sosok itu tak jauh dari tempatku
berdiri. Lututku lemas dan aku langsung berhambur menjatuhkan pantatku ke jalan
beraspal hitam. Aku tidak peduli tatapan orang-orang. Aku lega sekali. Kukira
dia hilang atau diculik seseorang tak bertanggung jawab yang mungkin saja mampu
membuat Eunhyuk oppa meninjau ulang
hubungan kami. Jelas saja, aku bahkan meragukan dia lebih menyayangiku
dibanding Choco.
Aku nyaris gila memikirkan apa yang harus aku katakan padanya jika
Choco hilang. Tapi sekarang tidak lagi. Aku sudah tenang. Dan sepertinya aku
akan mendapat adik ipar. Di sana, Choco sedang mengeluarkan kharismanya di
depan seekor anjing.
Aku beranjak dari posisiku yang duduk menjadi berjongkok senyaman
mungkin sembari memata-matai pasangan baru yang sedang pamer kemesraan.
Bisa-bisanya! Sementara aku nyaris mati kebingungan karena mencarinya.
“Ternyata kau di sini.” Eunhyuk oppa
berdiri di hadapanku, memunggungi Choco. Aku hanya bisa melihat kakinya
sebenarnya.
“Kenapa berjongkok di sini? Di kantorku banyak toilet jika perutmu
mulas.”
“Sepertinya kau akan mendapat adik ipar,” ucapku dengan nada putus asa,
mengabaikan pertanyaan yang dia lontarkan.
Dia berjongkok di hadapanku sekarang, “Adik ipar? Apa yang terjadi?
Ibumu melahirkan lagi?”
“Kau pikir berapa usia ibuku?! Tentu saja tidak. Lihat itu!” Aku
menghedikan daguku ke arah belakang oppa.
Dia menatap ke arah yang ku tunjuk.
“Ahaha. Masa puber ke 2. Pak tua itu benar-benar semempesona aku.
Benarkan, sayang?”
Aku mendorongnya kuat sehingga dia terjungkal dari posisinya, “Percaya
diri sekali!” aku tertawa dan beranjak meninggalkannya saat dia meneriakan
kalimat yang membuat semua orang di sini menatap ke arahku.
“Ya! Mau kemana, ISTRIKU?”
Astaga.. Memalukan T,T
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku menghentakan kakiku kesal. Saat ini aku berada di taman kampus dan
berniat untuk pergi. Aku lelah sekali. Ahjussi
tua itu benar-benar gila. Jika dia bukan dosenku, sudah kuukir kepala botaknya
dengan namaku.
Gerutuanku sepanjang perjalanan tadi terhenti saat ponselku bergetar.
Donghae oppa! Aku segera
mengangkatnya dan kutempelkan ke telinga kananku setelah menyelipkan rambut
yang menghalangi.
“Ada apa menelfonku?”
“Jadi harus ada alasan untuk itu?”
“Bukan begitu juga.. hanya saja-“
“Ada yang harus aku katakan padamu.”
“Apa ada hal gawat? Oppa? Kau
sakit? Donghwa Oppa sakit? Ata-“
“Aku merindukanmu,” ujarnya santai. Ucapan yang belum terselesaikan
kutelan kembali. Lidahku merileks. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan
ucapannya, “kita baru berpisah sebentar dan aku sudah tidak kuat untuk
menahannya. Ini.. gawat kan?”
Apa-apaan pria ini? Dan bodohnya, jantungku justru bekerja berlawanan
arah dengan otakku. Saat otakku berpikir hal itu terlalu berlebihan, jantungku
justru melompat kegirangan. Hantamannya kuat sekali. Aku sampai khawatir jika
Donghae oppa dapat mendengarnya dari
ujung sana.
“Kau genit sekali, Oppa,”
ucapku dengan segala pengendalian diri yang ku kerahkan. Dia terkekeh. Tidak
tahu bahwa aku mati-matian menahan teriakan gembiraku di sini.
“Jadi kenapa kau tidak membalikan tubuhmu lalu menghambur ke pelukanku?
Kenapa justru menahan tawa hingga melompat-lompat seperti tadi? Kau tidak sadar
beberapa orang sedang memperhatikanmu?”
Dengar. Suaranya lembut dan menenangkan. Nyaris tidak ku temukan emosi
dalam nadanya. Tapi apa yang DIA KATAKAN? Jadi dari tadi.. DIA MELIHATKU?! Aku
langsung memutar-mutar kepalaku kesana kemari. Dia di sekitar sini.
Tatapanku berhenti pada pria yang mengenakan jaket kulit hitam dan topi
hitam dengan ransel di punggungnya. Di hidungnya bertengger kacamata hitam dan
dia menempelkan ponsel di telinga kirinya. Duduk di bangku panjang taman ini,
menumpukan kaki kiri di atas kaki kanan, sedang menatapku dan melambaikan
tangan kanannya santai ke arahku.
Aku langsung membalikan tubuhku membelakanginya, sedikit membungkukan
badan untuk menyembunyikan wajahku dan mengerang pelan. Astaga! Mau ditaruh
mana mukaku? Ini benar-benar memalukan. Apa terlihat sekali bahwa aku sangat
bahagia? Ah, kedengaran seperti hal buruk.
Setelah beberapa saat kurasa mentalku sudah cukup kuat untuk dihina (×_×), aku
membalikan badan, mengibaskan rambutku dan memapangkan wajahku dengan senyuman
seperti tidak terjadi apa-apa kemudian mulai melangkah ke arahnya. Astaga.. aku
malu sekali. Harga diriku (ToT). Oke, bersikap biasa saja!
“Hai,
Oppa,” aku berdiri di hadapannya.
Kami sama-sama menjauhkan ponsel dan menyimpannya. Dia menepuk tempat kosong di
sampingnya.
“Kau
sedang kesal?” tanyanya setelah memastikan aku sudah duduk nyaman di tempat
yang dia perintahkan tadi. Beruntung dia tidak membahas hal memalukan itu. Dia
memang pengertian sekali.
“Aku
sedang kesal dengan dosenku. Kau tahu
oppa? Kemarin aku bertanya padanya tugas apa yang harus ku buat dan dia
menjawab akan memberitahuku besok yang berarti hari ini. Di saat aku
menelfonnya untuk bertanya, dia justru memerintahkan aku untuk datang ke
ruangannya yang berada di lantai 4. Setelah aku naik, dia tidak ada. Kutanya
lagi ternyata dia berada di ruang BEM lantai 1. Setelah aku turun ternyata dia
sudah kembali ke ruangannya dan sangat terpaksa aku harus naik lagi. Kau tahu
apa yang dia katakan saat kami bertemu? Dengan seenaknya dia belum memutuskan
akan memberiku tugas apa dan akan memberitahuku besok setelah aku naik turun
anak tangga dan di sini tidak ada lift!! Rasanya ingin sekali kulempar dia dari
lantai 6 dan ya!! Jangan menatapku seperti itu!”
Aku
menarik beberapa rambutku untuk memberi sekat agar mampu menutupi wajahku dari
pandangannya yang mungkun mampu melelehkan baja setebal 13 cm. Tatapannya
membuatku gugup. Tenang namun menelusup. Seolah tidak akan membiarkan hal
sekecil apapun lolos dari pandangannya. Menghanyutkan.
Dia
menyingkirkan tangan dan rambutku agar tidak menutupi pandangannya, menatapku
dengan senyum tipis ber-efek besar khas Lee Donghae. Aku merasa diperlakukan
lembut sekali.
Dia
menarikku perlahan menuju ke pelukannya. Aku memeluk pinggangnya dan dia
mencium dahiku sembari menempatkan telapak tangannya agar tidak ada yang
melihat apa yang kami lakukan. Lama. Aku pasrah dan lebih berkonsentrasi menjinakan
jantungku yang kadar ketukannya menggila namun tetap dalam penguasaanku.
Kami
menghentikan aktivitas kami setelah dirasa cukup, “Sudah tidak marah lagi,
kan?” tanyanya yang ku jawab dengan gelengan.
“Kau
akan kemana setelah ini?”
.,.
Hospital
Kami
berjalan memasuki lobi rumah sakit. Beruntung wartawan-wartawan itu sedang
istirahat sehingga ruangan ini lega.
“Maaf
tidak bisa menemanimu hari ini. Eomma
memintaku menemui Donghwa hyung
setelah ini.” Ujarnya ketika aku mengusap dada bidangnya perlahan, merapikan
pakaiannya yang sedikit kusut.
“Tidak
masalah. Terima kasih sudah mengantarku,” aku menjauhkan tanganku.
“Sudah
sana. Masuklah!”
“Tidak.
Kau dulu yang pergi baru setelah itu aku masuk.”
“Mana
ada yang seperti itu? Sana masuk! Hush hush!”
“Baiklah
kalau begitu, aku masuk,” aku membalikan badanku dan mulai melangkah tapi
tanganku ditahan, “apa lagi?” aku menatapnya.
Dia
mendekatkan wajahnya menatapku, “Lihat wajah jelek itu, kau masih lengkap dan
aku sudah melihatmu. Jadi aku bisa pergi sekarang,” dia berhenti sejenak,
“sudah sana masuk,” dia mendorong tubuhku pelan.
Aku
berjalan mundur agar dapat terus melihatnya yang mulai terlihat kecil sembari
melambaikan tanganku. Rasanya tidak ingin dia pergi. Harusnya dia tetap di
sini. Sudahlah. Sosoknya sudah terhalangi dokter dan perawat yang berlalu
lalang. Tak ku sadari ternyata kamar rawat Heebum sudah dekat.
Aku memasuki kamar rawat Heebum. Suhu rendah dari
AC langsung mengelus kulitku. Di dalam hanya ada dia sendiri yang sedang
menonton TV. Aku melayangkan pantatku ke sofa terdekat.
“Ada apa kemari?”
“Memangnya tidak boleh? Aku hanya mengasihanimu
karena tidak ada yang menunggui.”
Lihat dia, tangannya itu membuat orang lain iba
melihatnya jika saja-
“Aku tak butuh kau tunggui sebenarnya.”
Lihat kan? Tidak berterima kasih dan justru seperti
itu.. ckck
“Ya!! Aku ini pasien di sini, kenapa kau memukulku?”
protesnya sembari menunjukan pergelangan tangannya yang terpasang infus. Hahaha.
Rasakan itu!
Aku meneguk air dari gelas yang ada di meja, tidak
mempedulikan gerutuan sepanjang jalur subway yang keluar dari mulutnya.
Kurasa ruangan ini hening.. tidak seramai biasanya,
“Kenapa di sini sepi sekali?”
“Pecahkan saja gelasnya, biar ramai.”
Dan aku pikir lebih menyenangkan jika mematahkan
lengan kirimu Choi Heebum!!
.,.
Kim’s Residence. 7.03 p.m.
(Raejoon’s point of view)
“Sebenarnya kau ingin memberiku apa?”
Aku menatap Heechul oppa yang
berdiri di hadapanku. Cahaya lampu yang sudah dinyalakan karena memang hari
sudah petang memantul ke wajahnya, mebuat ketampanannya menjadi lebih dramatis.
Dia berdiri di anak tangga yang lebih tinggi dari yang kuinjak. Kami berada di
halaman depan rumahnya saat ini.
“Sesuatu yang diinginkan semua wanita di dunia ini.”
“Sesuatu yang diinginkan semua wanita?” ulangku yang dibalas dengan
anggukan kepala darinya.
“Tidak mungkin kau memberiku cincin. Kau sudah memberiku itu,” gumamku
sembari melihat jari tangan, sementari otakku masih terus berputar.
“Mobil?” tanyaku tidak yakin.
Dia menggeleng, “Coba kau lihat di sekitar sini.”
Aku menatapnya sembari memikirkan ucapannya, “Apa kau ingin memberiku
rumah ini?”
Dia hanya terkekeh kecil, kemudian menggeleng dan menepuk kepalaku
pelan, “Kau ini serakah sekali.”
Pandanganku mengedar ke seluruh sudut, tidak ada hal menjanjikan
lainnya yang seperti dia bilang, diinginkan semua wanita di dunia.
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku menyerah.”
“Secepat itu?”
“Aku sudah mencobanya dari tadi, yang kulihat di sini hanya rumah dan
mobil,” ucapku masih dengan mata yang menyusuri halaman rumah ini, “tapi tidak
ada yang benar menurutmu, padahal aku sudah menyebutkan semua yang aku lih-“
otakku langsung berhenti bekerja secara mendadak saat mataku menangkap
sosoknya, aku mendesis pelan.
“Jangan katakan itu adalah kau. Oh ayolah, bagaimana bisa kepercayaan
dirimu setinggi ini?”
Dia tersenyum lagi, hari ini selera tersenyumnya dalam keadaan baik.
Bukankah itu mengagumkan? Keajaiban dunia nomor 9 karena nomor 8 sudah terisi
oleh sebuah boyband luar biasa dengan jumlah member 13 menurutku.
“Gadis di dunia ini pasti akan berpikir berulang kali untuk menolakku.
Harusnya kau bersyukur karena menjadi pilihanku.”
Entah keinginan dari mana, aku mulai melangkah mendekatinya dan dengan
ragu memeluknya. Sedikit berjinjit dan menyerukan hidungku ke bahunya. Aku
menyukai aroma ini, Kim Heechul sekali. Tidak peduli apa yang akan pria ini
pikirkan, aku hanya sedang ingin. Dia melingkarkan lengannya di sekitar
pinggangku, menarikku mendekat dan menahanku agar tidak lelah karena terus
berjinjit.
“Selama ini aku hanya bisa membuatmu berteriak kesal. Aku hanya bisa
membuatmu marah. Sementara kau selalu membuatku tersenyum. Kau yang selalu
membuatku bersemangat. Aku baru menyadari bahwa aku tak pernah memikirkan
perasaanmu. Aku hanya memikirkan kenyamananku sendiri. Aku minta maaf untuk
semua itu,” aku berbisik di telinganya.
Kupikir karena hidup tidak mempunyai fasilitas autocorrect, jadi kita sendiri yang harus membetulkannya.
“Kau tidak perlu mengatakan ini.”
“Jika bukan padamu, aku harus mengatakannya pada siapa?”
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Entah kenapa berpelukan dengannya
seperti ini telah menjadi aktifitas favoritku.
“Terima kasih telah bertahan. Kau pasti memaksakan diri untuk bertahan
denganku hingga selama ini,” ucapnya dengan suara pelan.
“Jika bukan karena aku menyayangimu, aku pasti sudah meninggalkanmu
dari dulu. Kau kan galak sekali,” balasku. Dia terkekeh mendengarnya. Begitu
juga aku.
Kita mungkin tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di
luar kita, tapi kita bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam hidup kita.
Termasuk keberadaan pria ini.
.,.
Thursday. 11.13 a.m. Hospital
(Heebum’s point of view)
Aku sedang memasukan barang-barangku dibantu beberapa pegawai ibu.
Dokter mengijinkanku pulang hari ini. Lega sekali. Aku tidak suka berada di
sini, membuatku terlihat lemah. Astaga..
Ayah masih ada urusan di Blue
House sehingga yang menjemputku hanya –jika boleh dikatakan ‘hanya’- Siwon oppa, ibu, Kyuhyun, Raejoon, Hyobin dan
Seulrin. Sebenarnya kedatangan mereka semua hanya formalitas saja, karena
kudengar banyak wartawan di bawah. Merepotkan saja.
Setelah semua beres, kami melangkah turun dan keluar dari rumah sakit. Van ayah terparkir tepat di depan pintu
lobi tapi wartawan-wartawan bahkan sudah menutupi pintu keluar. Silau blitz kamera mereka bahkan sudah
menyambangiku yang berjarak sekitar 40 meter dari mereka. Oh, adakah yang
berbaik hati memberikan kaca matanya untukku?
Aku membungkuk dan melambaikan tangan ke arah mereka, menarik Kyuhyun
agar melangkah lebih lebar sehingga cepat masuk ke dalam mobil.
“Astaga, ini buruk sekali,” ujarku saat kami semua sudah duduk dalam van.
Akhirnya aku bebas..
.,.
Friday. Choi’s residence. 8.15
a.m.
(Heebum’s point of view)
Omona omona! Sejak kapan ada
meja di sini?
Ah, memang meja itu tempatnya di sini. Aku akan mengutuk siapapun yang
mengganggu tidurku pagi ini. Jam 9 dan ini hari libur, apa motivasinya untuk
mengacaukan mimpi indahku? Menyebalkan.
Aku melangkah menuju ruang keluarga saat kemudian kulihat Heechul oppa yang sudah menunjukan batang
hidungnya. Pagi-pagi begini dan dia tidak bosan apa selalu kemari?
Eh? Eh?
Suara apa itu? Itu seperti suara... astaga! Untuk
apa makhluk bernama Kim Heechul itu membawa anaknya kemari? Ini bisa mengganggu
perdamaian dunia namanya.
“Hiiaaa oppa! Kenapa membawa
itu?!” aku langsung berlari memanjat kursi.
“Kau ini berlebihan sekali. Bukankah dia ini lucu,” Raejoon datang dan
langsung memungut makhluk berbulu itu ke gendongannya
“Astaga Raejoon! Kau tidak ingat perkataan ayah? Tokso tokso!!”
Jauhkan makhluk itu dariku. Atau aku akan.. aku yang akan menjauh kalau
begitu.
“Hei, mau kemana kau?”
“Menjauh darimu, dia, anak kalian dan tokso!”
.,.
“Kau lihat kan? Dia ini lucu sekali..”
“Astaga.. cantik sekali.”
Ya ya ya, entah apa yang mereka bicarakan aku tidak peduli. Mereka
bertiga berdiri di samping televisi sembari memandangi makhluk menggelikan yang
berada di pelukan Raejoon. Seperti kucing itu adalah pusat dunia mereka. Biar.
Biar saja mereka asyik dengan dunia mereka sendiri dan aku asyik dengan
tayangan televisi itu.
“Heebum, lihat,” aku menoleh ke arah Raejoon yang menunjukan kucing itu
“Bagian mana yang tidak kau sukai dari makhluk secantik ini?”
“Terserah apa katamu. Nikmati saja kuku tajam dan tahi kucing itu.”
.,.
(Raejoon’s point of view)
“Hei Raejoon, apa kau tidak curiga?” aku menoleh ke arah Hyobin yang
menoel-noel lenganku.
“Curiga apa?”
“Kenapa nama kucing Heechul oppa
justru Heebum? Kenapa tidak Raejoon?” Untuk apa dia mengangkat tema ini?
Kulihat wajah Heebum yang datar-datar saja dan tersirat bahwa dia
terganggu dengan pembicaraan ini. Tapi hanya sekejap karena sedetik setelahnya
sudah terpampang seringai yang tak layak untuk dilihat menurutku.
“Kau benar Hyobin-ya, kau harus berhati-hati Raejoon. Jangan-jangan
Heechul oppa tertarik padaku.”
“Ya! Kalian ini bicara apa? Itu hanya kebetulan!” dan jika mereka bukan
keluargaku, sudah kulempar mereka dengan sepatu.
“Kau harus tetap berhati-hati. Aku kan sangat memikat,” Heebum
menyentil daguku. Entah kenapa rasanya aku tiba-tiba alergi dengan sentuhannya.
“Kau jangan macam-macam! Ku adukan pada Kyuhyun oppa!” aku tidak menyukai seperti ini. Aku tidak ingin
konsentrasiku terpecah hanya karena memikirkan lelucon mereka yang entah kenapa
benar-benar terserap otakku. Aku ini tipikal pemikir bahkan untuk hal sepele
seperti ini. Jika bisa dikatakan sepele.
“Hei, kami hanya bercanda. Tak usah kau anggap serius.”
Iya, tapi sudah terlanjur kucerna bodoh!
“Kau tahu ini apa?” Heebum menunjuk jari manis tangan kiriku.
“Tentu saja cincin. Apa lagi?”
“Ini adalah benda keramat. Benda keramat yang seharusnya mampu
meyakinkanmu bahwa yang Heechul oppa
pilih adalah kau. Choi Raejoon. Bukan Choi Heebum, Choi Hyobin, Choi Seulrin
apalagi Choi Siwon. Astaga, sebenarnya aku ini berbicara apa? Entahlah. Yang
jelas awas saja jika kau masih tidak paham. Ku bunuh kau!”
.,.
Sudah 15 menit. Dia diam. Apalagi aku.
Hanya ada kami berdua di ruang tamu yang entah kenapa bertambah luas
saja rasanya. Aku menyangga kepala dengan tangan sembari memperhatikan pria
ini. Hal yang membuatku lebih sebal dibanding diabaikan adalah dia tidak
mengerti betapa frustasinya aku sekarang. Memikirkan topik yang disinggung
saudara-saudaraku tadi seorang diri. Tanpa dia yang ikut memikirkannya. Sial!
Aku sedikit menjauhkan wajahku ketika melihatnya melipat koran dan
menatapku tajam, “Apa? Kau ingin mengatakan apa? Kenapa menatapku seolah aku
ini pria tertampan di dunia?”
Aku mengatupkan mulut dari rasa keterkejutanku yang menguasai nyaris
seluruh indra. Apa telingaku tidak salah dengar? Apa katanya? Pria tertampan
sedunia? Oh, bunuh aku jika tidak menyetujuinya. Memang dia pria tertampan
versiku. Ya meskipun Donghae oppa
terkadang terlihat menggiurkan. Dan apa aku tidak salah lihat hari ini? Tidak
seharusnya dia terlihat setampan ini hanya dengan pakaian itu... dan kenapa aku
memikirkan hal ini? -__-
“Ada yang ingin kau katakan?” suaranya melembut selembut tatapannya.
“Boleh aku bertanya?”
“Katakan.”
Aku memungut Heebum –kucing- ke pangkuanku
“Kenapa kau memberi nama kucingmu ‘Heebum’?”
Dia terdiam. Sesulit itu ya mengatakan alasannya? Kulihat bibirnya
mulai beranjak menjawab dan aku sudah menyiapkan telingaku semaksimal mungkin.
“Mungkin saat kita sudah menikah nanti aku akan sering meninggalkanmu
di rumah. Kau sangat dekat dengan Heebum, kupikir dengan begitu saat
sendirianpun akan selalu ada dia di sekelilingmu. Dalam bentuk lain.”
.,.
11.17 a.m.
(Hyobin’s point of view)
Hari ini jadwal kami berempat adalah membantu ibu membuat kimchi untuk
persediaan beberapa hari kedepan berhubung persediaan kami sudah habis beberapa
hari lalu.
Hanya kami bertiga sebenarnya, mengingat lengan kanan Heebum yang belum
memungkinkan untuk digerakan terlalu banyak. Kami sudah memakai celemek untuk
melindungi pakaian mahal kami dari kemungkinan terciprat sesuatu. Hahaha. Aku
sombong sekali.
Tugas kami berbeda-beda, Raejoon yang akan mencuci sawi, aku dan
Seulrin yang mencampur sawi tersebut dengan bumbu racikan kami sendiri. Heebum
duduk di kursi tinggi yang menghadap langsung ke arah dapur sembari
memperhatikan.
“Yaaaa!!”
Astaga! Mengagetkan saja!
“Ya! Kau ini berisik sekali!” Heebum mendekat dan langsung menggeplak
kepala Raejoon menggunakan tangan kirinya.
“Ada apa?”
“Sawi. Itu banyak ulatnya,” Raejoon bergidik berkali-kali. Kulihat
kulitnya langsung merinding dan sampai-sampai tak menghiraukan pukulan yang
didaratkan Heebum di kepalanya tadi. Mereka ini saudara atau bukan sih? -__-
Heebum melihat sawi yang sudah dilempar Raejoon tadi. Wajahnya langsung
meringis geli saat melihatnya, “ Siapapun, tolong buang itu.” Dia langsung
kembali ke ‘singgasananya’.
“Kalian ini, begini saja ribut!” dan akhirnya ibu menolong ulat-ulat
itu agar puas memakan daun sawi dengan membuangnya ke tempat sampah.
Keadaan mulai hening. Hanya dentingan alat masak
yang mampu menggerayangi gendang telinga.
Tidak sesunyi itu sebenarnya, teriakan menyalahkan
dari Heebum sering kali terdengar. Seperti dia bisa saja!
Aku meregangkan ototku yang terlalu lama merunduk. Lihat,
tanganku berlumuran bumbu pedas. Jadi tak sabar mencoba kimchi buatanku. Tiba-tiba
mata kananku tidak bisa dibuka. Perih, terkena keringat sepertinya. Aku
mengucek mataku dan mencoba membuka mata. Astaga! Pedas! Bodoh! Bagaimana bisa
aku lupa bahwa tanganku berlumuran cabai?!
“Asshh!! Heebum-ya, tolong lap mataku! Ini pedas
sekali!”
Mata kiriku masih bisa sedikit melihat wajahnya.
“Kenapa harus aku? Tanganku sedang sakit Hyo.”
Apa katanya?
“Ya!! Tangan kirimu baik-baik saja!”
“Memar di tangan kiriku belum sembuh,” dia melengos
pergi.
Sial! Bilang saja tidak mau menolong ku! Apanya
yang saudara?!
Astaga!! Pedas!
.,.
“Heebum-ya, kau coba ini”
Kulihat Seulrin mencangkup sedikit kimchi buatannya
dan memasukannya ke dalam mulut Heebum.
Hei, kenapa dengan wajah Heebum? Ekspresinya jelek
sekali.
“Uhuk. Uhuk uhuk..”
Hahaha rasakan itu!
Heebum terbatuk-batuk hingga terjongkok. Kau
mendapat balasannya, sayang.
“Ya!! Kau membuat kimchi atau ramuan pembunuh ha?
Parah sekali!!”
Lihat, wajah Heebum merah padam seperti pantat kera
yang pernah kulihat di Taiwan. Hahaha. Aku puas sekali.
Terima kasih Seulrin...
.,.
Saturday. 6.53 a.m. Choi’s
Residence.
(Raejoon’s point of view)
Hari libur. Ayah dan ibu pergi mengurusi acara pertunanganku dan
Heechul oppa, Siwon oppa ikut dengan
mereka. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi mereka melarangku dengan alasan agar
aku tidak kelelahan. Yasudahlah.
Seperti rutinitas biasanya, kami ber-empat belum mandi dan justru
terdampar di ruang keluarga. Suasana sunyi dan yang terdengar hanya suara
Hyobin dan Seulrin sedang saling melontarkan umpatan menyerang satu sama lain
melalui layar datar itu. Mereka sedang bermain Playstation dan duduk di lantai. Heebum sedang melanjutkan tidurnya
di sofa dengan posisi kaki kanan yang ditumpangkan ke kaki kiri. Dan aku sedang duduk di kursi ruang makan
memperhatikan orang-orang itu.
Rasanya sudah lama tidak seperti ini. Berkumpul hanya kami saja. Ya
meskipun tidak lengkap karena perginya Siwon oppa. Biasanya aku akan pergi dengan Heechul oppa, Heebum disibukan dengan Kyuhyun oppa, Hyobin dengan Eunhyuk oppa
dan Seulrin dengan Donghae oppa.
Perhatianku teralihkan saat bel rumah berbunyi. Aku beranjak untuk
membukakan pintu dan ternyata itu ayah.
“Sudah pulang?”
“Hanya sebentar, mengambil berkas. Tumben sekali lengkap.” Ayah masuk
ke dalam kamarnya. Mungkin maksud ayah adalah hal yang sedang ku bahas tadi.
“Kalian tidak ingin berbelanja? Pakai saja card yang ada di meja.” Ujar ayah setelah keluar dari kamar dengan
amplop coklat besar di tangannya.
“Apa? Benar boleh?” aku memekik kesenangan.
“Tentu. Ayah pergi dulu.” Ayah berlalu dari hadapanku dan mulai
menggapai gagang pintu saat aku melihat suatu hal yang membuatku mulai berpikir.
.,.
Cafe. Hyundai Dpartement Store.
(Heebum’s point of view)
Kami duduk di bangku cafe
setelah tadi Raejoon mengajak kami pergi bersenang-senang. Yang kulihat Raejoon
hanya diam sejak tadi.
“Kau kenapa diam?” Hyobin yang menyuarakan pikiranku.
“Apa kalian pernah memikirkannya? Aku melihat rambut ayah yang sudah
mulai memutih. Dan itu membuatku memikirkan banyak hal saat ini. Ayah dan ibu
tidak mungkin selalu.. ehm.. kalian pasti tahu maksudku kan? Astaga, bahkan aku
sendiri tak ingin mengucapkannya, tapi suatu saat itu pasti akan terjadi. Dan aku harap tidak dalam radius 50 tahun
dari sekarang.”
“Aku ingin menua bersama mereka. Duduk berkumpul memandangi cucu dan
cicit bersama di sore hari dengan secangkir teh hangat atau segelas ice tea.”
Dia benar.. Aku tidak akan mampu menyimpan kesedihan sebanyak itu.
Aku masih baik-baik saja dalam keadaan ini hingga sekarang. Aku bisa
bertahan dengan menyimpan beberapa hal dan melaluinya sendirian tanpa harus
membaginya pada ibu dan ayah. Mungkin aku akan melanjutkannya sampai nanti pada
titik dimana hal yang kulalui terlalu berat untuk kusimpan seorang diri.
Aku memang bukan seorang anak yang romantis dan dapat mengungkapkan
segalanya pada ibu dan ayah seperti Raejoon. Jika boleh memilih, aku akan
menunjuk kepribadian Raejoon untuk menjadi milikku. Hanya saja bukan itu yang
terjadi.
Aku lebih memilih menyimpan segala jawaban yang ayah dan ibu tanyakan
padaku. Aku lebih memilih diam dibanding menyatakan kenyataan bahwa aku masih
membutuhkan keberadaan mereka di sampingku. Tapi yang harus mereka tahu, aku
benar-benar membutuhkan mereka hingga waktu tak terbatas. Lebih lama dibanding
menghilangnya aku dari dunia ini.
“Sudah-sudah. Ayo kita makan.”
.,.
2.13 p.m
(Hyobin’s point of view)
Aku melangkah menuju ruangan Eunhyuk oppa. Kami akan pergi bersama hari ini setelah dia sukses memaksaku
menemaninya melakukan fitting pakaian
yang akan dia kenakan saat pertunangan Raejoon dan Heechul oppa.
“Selamat siang, nona,” sekretaris
oppa yang berada di luar ruangannya menyapaku.
Aku membungkuk sedikit, “Selamat siang, apa Eunhyuk oppa ada di ruangannya?” tanyaku
memastikan.
“Iya, ada. Dia sudah menunggu Anda di dalam.”
“Ah, terima kasih.”
Aku membuka pintu ruang kerjanya. Dia sedang duduk di kursinya
memeriksa beberapa tumpukan berkas di atas meja.
“Kau sudah datang?”
Aku berjalan mendekatinya, “Oh ayolah. Aku tidak akan berdiri di sini
jika belum datang, oppa.”
Dia tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya ke arahku, “Mendekatlah.”
Aku menggenggam tangannya. Dia menarikku untuk duduk di pangkuannya,
benar-benar tanpa jarak. Tangannya melingkar di pingganggku sementara bibirnya
sudah menjelajah. Ini menggelikan.
“Jadi.. kita pergi sekarang?” tanyanya.
“Tentu saja. Nanti sore kita akan pergi, oppa. Kau lupa?”
“Tidak. Baiklah, ayo.”
Kami melangkah bersama menuju lift setelah menyapa beberapa pekerja.
Pintu lift masih tertutup saat kami sampai. Suara berdenting menyadarkanku.
Akhirnya lift ini datang juga.
“Ayo masuk.”
Hanya ada aku dan Eunhyuk oppa
di dalam lift. Tidak heran mengingat waktu makan siang sudah dimulai 10 menit
yang lalu. Aku mengabaikan jari-jarinya yang bergesekan dengan jariku. Tapi
tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam tanganku yang langsung ku hempaskan.
“Kenapa?” protesnya tidak terima.
“Aku tidak ingin hubungan kita menjadi tontonan untuk pegawaimu. Di
sana ada CCTV,” aku menunjuk benda
kecil yang tertempel di langit-langit sudut belakang sebelah kiri dari lift ini.
Senyumnya tetap mengembang sementara dia beranjak menuju tempat tepat
di bawah kamera pengintai itu tertempel, “Kemarilah, dari sini tidak akan
tertangkap kamera.”
Aku menggenggam tangannya yang terulur ke arahku. Dia menarikku lalu
membalikan tubuhku memunggunginya dan kemudian kedua lengannya sudah melingkar
di sekeliling bahuku. Nyaman dan hangat. Kami hanya diam sembari menggerakan
tubuh kami bersama. Nafasnya menari-nari di atas kulit leherku. Menggelikan.
Kami terlalu asyik hingga tak menyadari dentingan pintu lift yang
menandakan ada orang yang masuk. Aku baru tersadar ketika Eunhyuk oppa mendorongku sebagai reflek terkejutnya. Aku yang tidak ada
persiapan langsung terpental dan menghantam dada seseorang. Astaga!
“Maafkan aku Ahjusshi,” aku
membungkuk singkat. Ini memalukan sekali...
Yang kutabrak dadanya adalah ayah Eunhyuk oppa. Di belakangnya ada assistant
ahjusshi yang berdiri menahan tawa. Rasanya ingin sekali menenggelamkan
diri saking malunya.
“Sepertinya kita harus menggunakan lift lain,” kemudian ahjusshi melangkah mundur dan keluar
dari lift ini dengan tawa yang meledak.
Setelah pintu lift tertutup tawa ku dan Eunhyuk oppa tak tertahankan lagi, “Ayo kemari,” dia mengulurkan tangannya
lagi.
“Kau menyuruhku mendekat agar dapat melemparku lagi nanti?”
Tawanya kembali pecah, “Tidak.”
Aku kembali mendekatinya namun sedetik kemudian pintu lift kembali
berdenting. Dia langsung mendorong tubuhku, tidak sekeras tadi dan kali ini
arahnya ke samping. 2 orang pegawai masuk dan berdiri di depan kami setelah
membungkuk singkat.
“Kau melemparku lagi,” bisikku
“Maaf.”
Perutku sampai sakit karena harus menahan tawa. Jari kelingking Eunhyuk
oppa mengait jari kelingkingku dan
kami mulai mengayunkan lengan kami perlahan. Agar tidak menyentuh pantat ke 2
orang di depan kami tentunya. Hihihi.
.,.
Aku terdampar di sebuah butik pria. Waktu berlalu 15 menit saat dia
berdiri di hadapanku. Aku menatapnya yang sudah mengenakan tuxedo berwarna
senada dengan gaun yang kupesan.
“Bagaimana?”
Mulutku seolah terkunci. Tidak ada kata yang cukup pantas untuk
mendiskripsikan betapa.. betapa menawan-nya dia.
“Benar... kau.. tampan sekali.”
Aku memilih diam setelahnya. Bisa ku jamin suaraku akan bergetar dan
tangisanku akan pecah jika meneruskan ucapanku. Daya tariknya bertambah berkali
lipat dengan rona kebahagiaan yang menguar secara gamblang dari binar matanya.
Aku cepat-cepat membalikan tubuhku, merutuki air mata yang sulit sekali
untuk kutahan.
“Ya! Ya! Ya! Tidak usah sampai menangis begitu,” Eunhyuk oppa membalikan tubuhku menghadapnya.
“Kau pikir aku mau seperti ini?!” aku memukul lengannya.
Dia hanya tersenyum tipis memandangiku. Tidak berusaha mengatakan
apapun yang mampu menghiburku karena dia cukup tahu bahwa ini bukan air mata
kesedihan. Ini adalah air mata dari rasa syukur yang tulus karena Tuhan begitu
baiknya menakdirkan aku untuk dapat merasakan luapan kasih sayang dari pria di
hadapanku.
“Sudah menangisnya.. Ssstt ssstt sstt. Sini aku peluk,” dia menuntunku
memasuki pelukannya yang hangat dan menenangkan.
Hhh.. Kenapa juga aku harus seperti tadi? Aku khawatir jika kadar
kepercayaan dirinya yang sudah tinggi itu akan meroket tajam karena tahu aku
mencintainya setengah mati. Masa bodohlah. Memang seperti itu. Mau bagaimana
lagi?
.,.
5 p.m
Keluarga kami sudah berkumpul semua. Eunhyuk oppa, Donghae oppa,
Kyuhyun oppa, dan Heechul oppa juga sudah datang. Kami mulai
memasukan barang masing-masing ke bagasi mobil dan berangkat menuju tempat
pertunangan Raejoon dan Heechul oppa akan
diadakan. Mobil kami berangkat beriringan. Siwon oppa, Cheonsa onnie, ayah dan ibu berada di 1 mobil. Lihat, katanya
hanya teman. Teman apanya? Mereka ini pemalu sekali.
Aku dan Eunhyuk oppa menjadi
yang paling belakang, di depan kami ada mobil Seulrin dan Donghae oppa. Kami yang mengawasi mereka,
mengingat kemampuan menyetir Donghae oppa
yang memprihatinkan. Darimana dia mendapatkan kartu ijin mengemudi itu?
Setelah 2 jam perjalanan, tidak terasa mobil sudah berhenti. Jam 7
malam dan kami sudah sampai. Semua orang turun dan mengurus barang-barang mereka
agar diangkut oleh petugas villa tempat ini. Villa ini memiliki 8 kamar dan
sebuah gedung pertemuan megah yang sangat luas. Dengan pemandangan alam yang
indah di sekelilingnya. Heechul oppa
sangat keren!
.,.
7 p.m
(Heebum’s point of view)
Aku melangkah tergesa-gesa mengikuti langkah Kyuhyun memasuki villa.
Angin bertiup sedikit kencang membuat rambutku berterbangan kesana kemari.
“Ah! Ini merepotkan sekali,” aku mencoba mengatur rambutku dan tentu
saja tanganku belum sanggup mengikatnya.
Kyuhyun menghentikan langkahnya lalu menatapku. Dia mengambil ikat
rambut yang kulilitkan di pergelangan tangan kemudian beranjak berdiri di
belakangku dan mulai melakukan sesuatu.
“Sudah,” Dia berdiri di hadapanku, perbuatannya membuatku sedikit
termenung. Dia bahkan membantuku mengikat rambut.
“Terima kasih.”
Dia membalas senyumanku. Mengusap kepalaku dan menyarangkan lengannya
tetap di atas kepalaku sambil sesekali menepuknya pelan. Senyuman-nya tulus
sekali. Kami berdiam dalam posisi seperti ini sampai suara Eunhyuk oppa yang memanggil.
“Ayo ke sana,” dia tetap tersenyum dan menggenggam tanganku agar
mengikuti langkahnya.
Angin tetap berhembus tapi sudah tidak menjadi masalah berkat perbuatan
pria ini. Aku menatap tangan kami yang saling menggenggam. Entah kenapa
pemikiran ini tiba-tiba muncul. Sebelumnya aku hanya orang asing di
kehidupannya, namun sekarang aku bahkan bisa merasakan genggaman hangatnya di
telapak tanganku. Rencana Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi nikmatnya.
Aku menegakan kepalaku saat sesuatu menyentuh pipi. Kulihat dia yang
bergegas memalingkan muka saat aku menatapnya. Lucu sekali.
Aku berpikir banyak dalam waktu yang relatif singkat untuk melakukan
ini. Dan ku rasa tidak masalah untuk dilakukan. Aku menghentikan langkahku yang
membuatnya mau tak mau ikut berhenti. Dia menatapku yang melepaskan genggaman
tangannya. Aku mulai mendekatinya lalu menarik kerah bajunya agar dia menunduk.
Kenapa dia harus setinggi ini? Merepotkan dan membuatku harus berjinjit untuk
melakukan balasan perbuatannya tadi.
Aku menyentuhkan bibirku ke dahinya dan menahan posisi tersebut. Segalanya
terasa seperti slow motion dalam
bayanganku. Hening.. Sepi.. Jam-jam gelisah. Cukup ada dia dan aku yang sedang
memejamkan mata. Layaknya hanya angin yang mampu berhembus lembut menerpa kami
dan menerbangkan dedaunan kering tak berbobot. Tuhan, dengarkan aku. Sepenuh
hati. Aku menyayanginya.
Aku menatap wajahnya untuk melihat reaksinya yang ternyata sudah
menyeringai setan, jika boleh dibilang ada setan setampan dia.
“Kenapa menatapku seperti itu? Ayo pergi,” aku berjalan mendahuluinya
yang masih diam di tempat. Tidak lama karena tiba-tiba dia sudah berjalan di
sampingku dan langsung melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Harusnya aku mencium bibirmu tadi.”
Apa katanya? o,O
.,.
(Seulrin’s point of view)
Aku mengantuk sekali.. rasanya ada yang mengoleskan lem di mataku. Aku
turun dari mobil saat sudah sampai. Tidak memikirkan apapun karena kupikir aku
sedang tidur.
“Omona!” mataku terbuka sedikit karena aku menabrak sesuatu.
“Kau ini bagaimana?”
Ah, ternyata Donghae oppa yang
kutabrak, “Maaf oppa, aku tidak
melihatmu tadi,” jawabku linglung.
“Kau memprihatinkan. Ayo naik,” dia berjongkok di depanku.
“Aku berat,oppa.”
“Naik saja.”
“Aku tidak akan bertanggung jawab jika punggungmu sakit setelah ini,”
gumamku sembari memeluk lehernya. Tidak berapa lama tubuhku terasa melayang.
Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya.
“Seulrin-ya,” panggilnya yang kujawab dengan gumaman. Hanya 1 kalimat
yang kudengar karena setelah itu, entahlah.
“Kau bukan beban untukku, harusnya kau tahu itu.”
.,.
10.13 p.m
(Raejoon’s point of view)
Malam ini langit gelap gulita. Biarpun ada beribu bintang di langit,
kupikir tidak satupun yang tersenyum padaku. Kosong.
Jantungku masih bekerja sebagaimana mestinya hingga 1 detik lalu.
Memikirkan apa yang akan terjadi di hari esok membuatku cemas. Bagaimana jika
tidak ada tamu yang datang? Bagaimana jika Heechul oppa sebenarnya bosan denganku dan memutuskan untuk kabur malam
ini? Bagaimana jika dia tidak bahagia setelah kami bertunangan? Dan ribuan bagaimana-bagaimana
lainnya. Kepalaku hampir meledak rasanya. Persis seperti jantungku yang sudah
nyaris melompat keluar dari tempatnya. Aku mengecek ponselku saat benda itu
bergetar.
Jangan isi hari dengan kecemasan hari esok karena akan mengganggu
hebatnya hari ini dan akan mengusik indahnya hari esok. Kenapa? Cemas?
Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Dia pasti ada di sekitar
sini dan sedang melihatku. Dan benar saja. Dia sedang berdiri dengan tangan
dilipat di depan dada yang membuatnya terlihat lebih menggoda, menatapku yang
berada di beranda lantai 2.
“Mengikatmu adalah hal paling menyenangkan untukku. Sudah malam. Sana
tidur! Awas saja jika muncul keriput di wajahmu besok! Kau adalah tunangan Kim
Heechul. Jangan membuatku malu mengakuimu.”
Entah kenapa senyumku mengembang dengan sendirinya memandang
punggungnya yang mulai melangkah menjauh. Benar. Dia pasti mencintaiku. Dia
pria dewasa dan tidak mungkin gegabah dalam menentukan langkah sepenting ini.
Bukankah dia sudah memberiku cincin ini? Benda keramat yang seharusnya kuresapi
apa gunanya.
Aku, benarkan?
.,.
Sunday. 7 p.m.
(Heebum’s point of view)
Para undangan yang datang sudah duduk di tempatnya masing-masing.
Beberapa jajaran pemerintah Korea Selatan juga terlihat hadir di kursi VVIP.
Aku duduk satu meja dengan keluargaku, memperhatikan Raejoon dan Heechul oppa yang berdiri di depan sana. Mereka
menjadi pusat perhatian dari semua orang malam ini.
“Terima kasih kepada para undangan yang sudah hadir di sini. Kami
selaku pihak yang bersangkutan ingin menyatukan 2 keluarga dengan pertunangan
ini. Semoga Tuhan memberkati ikatan mereka,” ayah Heechul oppa memberikan sambutan. Dan entah apalagi hingga tiba saat
Heechul oppa dan Raejoon saling
bertukar cincin.
Wajah mereka memancarkan kelegaan yang luar biasa setelahnya. Senyum
terpaksa yang terlihat sedari tadi kini sudah lenyap dan berganti dengan senyum
tulus yang saling menenangkan satu sama lain. Heechul oppa tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi,
matanya berbinar dan dia menarik kepala Raejoon perlahan masuk ke dalam
pelukannya. Gemuruh suara tepuk tangan menandai berakhirnya ketegangan hari
ini. Mereka bahagia. Yah meskipun kupikir ini bukan acara untuk mereka. Acara
ini ditujukan untuk perusahaan dan pemerintahan. Dan kupikir itu tidak terlalu
ber-efek. Mereka sudah bekerja keras selama ini.
Untuk menjadi bahagia, butuh usaha dan kerja keras. Untuk menjadi
sedih, yah, semua orang juga bisa menjadi sedih. Benarkan? 0_<
.,.
(Raejoon’s point of view)
Tiba saatnya makan malam. Aku dan Heechul oppa sudah berkumpul bersama keluarga kami. Para pelayan sudah
mulai berseliweran kesana kemari membawa piring di tangan mereka. Satu piring
besar sampai di meja kami, saat membukanya yang muncul adalah ayam. Oh! Oh! Coba
cium baunya.. enak sekali.
“Raejoon-ya, aku tahu kau menyukai ayam. Tapi ini hari pertunanganmu,
jadi kumohon jangan permalukan dirimu sendiri dengan tidak mencuci tangan
setelah makan dan justru menjilati jarimu,eo?” ujar Hyobin.
“Ya! Kau pikir aku sebodoh itu?!” ucapku tidak terima dan mereka justru
tertawa. Apanya yang lucu?
Kadang aku berharap hidup adalah sebuah video sehingga aku
bisa menghapus bagian yang tidak kusuka.
.,.
11.15 p.m
(Heebum’s point of view)
Acara resmi sudah berakhir. Tamu-tamu kehormatan sudah pulang seluruhnya.
Malam hari memang saat yang tepat untuk memanjakan diri. Setelah
seharian wajah dipenuhi peluh, debu, minyak, ditambah bahan-bahan kimia dari
kosmetik yang menempel berjam-jam, tiba saatnya untuk mengusir semua hal
menjijikan itu. Kami ber-empat tidur berjajar di dalam kamar. Muka tertutupi
masker dan mata terhalangi mentimun. Ini surga dunia namanya \o/. Masker akan
membuat kulit wajah kita bersih dan kencang sampai 80 km/jam hahahaha.
Bermenit-menit kami hanya diam, mengarungi pikiran masing-masing. Aku
jadi penasaran.
“Apa yang sedang kau pikirkan di saat seperti ini?” aku berbicara
dengan gigi yang masih mengatup. Mengantisipasi agar maskerku tidak rusak sementara
lenganku menggapai seseorang di samping kananku karena aku memang berbaring di
paling kiri. Kalau tidak salah, Hyobin.
“Apa yang kupikirkan?” suaranya teredam sama sepertiku, menjaga
kekencangan masker agar tidak rusak yang menyebabkan kulit berkeriput, “Eunhyuk
oppa.”
“Lebih spesifik. Apa yang kau pikirkan tentang dia?”
“Tidak tahu. Aku hanya mencoba menghitung berapa lama lagi aku akan
tetap bertahan untuk mencintainya. Dan kupikir mencari jawaban dari pertanyaan
itu hanya membuang-buang waktu saja. Karena yang ku dapat tidak pernah berubah
1 inchi-pun dari awal semua ini. Rasanya
tidak akan jenuh untuk mencintainya.”
“Kau picisan sekali.”
“Ya! Bukankah kau yang bertanya tadi?”
“Jangan berteriak seperti itu kalau tidak mau wajahmu dipenuhi kerutan.
Lalu kau Seulrin, apa yang kau pikirkan?”
Aku masih bisa mendengar Hyobin yang menggerutu kesal. Hihihi..
“Aku hanya mengira-ngira apa yang ada di pikiran Donghae oppa. Aku tidak tahu kenapa sulit sekali
untuk memahaminya.”
Suaranya terdengar tidak terlalu jauh dari telingaku. Aku jadi ingat
sekarang bagaimana posisi kami tadi. Dimulai dari kiri, aku lalu Hyobin,
setelah itu Seulrin dan Raejoon yang paling kanan.
“Donghae oppa sering
mengumpankanku pada pria lain hanya karena dia ingin aku dapat berpikir jernih
siapa yang sebenarnya aku sayangi. Paling tidak itu yang bisa kutangkap.”
“Itu semua membuatku frustasi dan ingin menangis. Rasanya ingin menarik
semua rambutku hingga ke akar. Dia selalu merasa tak cukup baik untukku, padahal
pada kenyataannya aku yang tidak tahu apa-apa tentang dia. Aku benar-benar
tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatnya percaya bahwa hanya ada
dia, tidak ada pria lain. Karena segalanya sudah kulakukan.”
“Sampai pada saat dimana aku menumpahkan segalanya. Mungkin itu pertama
kalinya aku benar-benar menangis dihadapan seorang pria. Dan kuharap dengan
begitu dia mulai mengerti bahwa pemikirannya selama ini salah telak. Aku justru
khawatir jika pada prakteknya aku yang tak pantas untuknya.”
“Kau berjuang keras. Seharusnya dalam membuat kimchi usahamu juga
sebesar ini.”
“Tidak ada hubungannya! Lalu kau sendiri, apa yang kau pikirkan?”
“Aku? Aku hanya memikirkan berapa banyak uang ayah yang terbuang percuma
karena aku sering membolos kuliah. Kyuhyun pasti akan mengatakan hal yang sama di
telephone jika aku merajuk karena dia
harus mengurus urusannya. Dia pasti akan mengatakan seperti ini, ‘Kau ini kenapa? Ingin memberontak lagi? Apa
karena tidak ingin kuliah hari ini? Ya sudah, tidak usah berangkat. Tapi jangan
seperti ini, Hee-ya. Jangan mendiamkanku,’ Hahaha... aku sampai bosan mendengarnya.”
“Bosan mendengarnya atau bosan dengan orangnya?”
“Ya! Pemikiran macam apa itu?!”
“Jangan berteriak seperti itu kalau tidak mau wajahmu dipenuhi kerutan
hahaha... Lalu kau Raejoon, apa yang kau pikirkan?”
Sial, Itu kata-kataku. Tidak kreatif.. o__o”
“Aku memikirkan ayah.”
“Apa?? Ayah?!”
“Iya. Aku ingat saat ayah mengajakku untuk menemaninya memotong rambut.
Kalian tahu alasan ayah sering memangkas rambutnya? Itu agar ubannya tidak
terlihat. Rasanya tawaku akan meledak saat itu. Tapi aku sadar bahwa itu tempat
umum. Jadi ku tahan saja hingga sakit perut.”
“Hanya ayah yang kau pikirkan? Tidak terbesit Heechul oppa sedikitpun?”
“Tentu saja tetap ada. Entah kenapa pria itu begitu usil sehingga
selalu berhasil menyelinap ke hal apapun yang aku pikirkan. Saat aku mengingat
ibu memasak ramyun, aku teringat bahwa ramyun adalah makanan favoritnya. Saat
aku mengingat kau Heebum, aku teringat Heebum –kucing-, lebih tepatnya
pemiliknya. Dan banyak pemikiran lainnya yang membuatku kikuk sendiri. Seperti
segala ingatanku terdapat tombol hyperlink
yang menciptakan jalur agar terhubung dengannya.”
“Aku ingat saat Seunghyun mengakhiri hubungan kami dan memilih
melanjutkan study-nya ke luar negeri.
Aku benar-benar sedih. Dan disaat seperti itu ada dia yang sering berkunjung ke
rumah dengan alasan menemui Siwon oppa.
Kalian mengingatnya kan?”
Aku mengangguk. Tak tahu dengan yang lain karena mentimun ini
menghalangi pandanganku.
“Dia selalu menghiburku saat aku benar-benar terjatuh. Kalian tahu apa
yang dia katakan saat itu? ‘Mungkin saat
ini kau yang kehilangan dia, tapi kedepannya dia yang akan kehilanganmu.’ Itu
adalah pertama kalinya aku mensyukuri kedatangannya, sebelumnya aku sedikit
terusik dengan kemunculannya di rumah. Pemikiran lain mulai bermunculan di
benakku bahwa pasti sangat menyenangkan jika dia tetap tinggal untuk
menghiburku kapanpun saat aku terpuruk. Dan aku patut bersyukur karena dia juga
merasakan hal yang sama.”
“1 tahun setelahnya Seunghyun kembali ke Seoul. Jujur saja saat itu
perasaanku padanya belum banyak meluntur. Dan itu sedikit membuatku gamang. Aku
benar-benar ingat saat Heechul oppa
bertanya apakah aku masih mencintai Seunghyun yang langsung kujawab dengan ‘aku lebih mencintaimu.’ Suatu hari tiba-tiba Seunghyun meminta
untuk bertemu hanya berdua. Kami mengobrol banyak seperti kawan lama yang sudah
lama tidak bertemu. Sampai pada saat dia sedikit menyinggung masa lalu dan
memintaku untuk kembali padanya yang membuatku risih.”
“ ‘Terkadang hubungan kita
berakhir dengan seseorang yang tidak kita inginkan itu akan terjadi. terkadang
kita mencintai seseorang yang tidak seharusnya. Hubungan kita berakhir. Dan itu
adalah takdirku untuk bertemu dengan dia. Kim Heechul.’ Aku hanya bisa
mengatakan itu. Aku masih ingat apa yang aku katakan saat bertemu Heechul oppa
setelahnya, ‘aku tidak akan mencari cara untuk membuatnya
mencintaiku. Aku justru mencoba menemukan banyak cara. Cara untuk membuatnya
tidak mencintaiku. Aku keren kan?’.”
“Aku jadi tidak heran kenapa kau terlihat tua. Pikiranmu itu maha
luas.”
“Ya!!”
Yang kami tidak tahu, ternyata pria-pria itu masuk ke dalam kamar dan
mendengar semuanya sambil sesekali menahan tawa. Dan setelah puas, mereka
keluar dari kamar kami diam-diam sehingga tidak satupun dari kami yang tahu.
.,.
Monday. 7.43 p.m. Villa.
(Heebum’s point of view)
Setelah sepanjang hari tadi kami hanya beristirahat di dalam villa,
malam ini kami mengadakan pesta keluarga. Hanya keluarga kecil dari Raejoon dan
Heechul oppa saja sebenarnya. Tetap
di villa kemarin, menyalakan api unggun dan membakar daging sapi di halaman
belakang. Benar-benar terasa kekeluargaan. Aku duduk di kursi dengan snack di pangkuanku, sesekali terbahak
melihat tingkah laku orang-orang itu. Rasanya menyenangkan sekali.
Aku tetap bisa bahagia meskipun tanganku terluka. Tetap akan terselip
ketidaknyamanan di kehidupan, entah di awal, di tengah, maupun di akhir. Di
dunia ini sesuatu yang berlebihan memang tidak terlalu dianjurkan. Begitu juga
hidup yang terlalu dan selalu bahagia, pasti akan ada efek tidak baik yang akan
terjadi.
Di dalam kehidupanku cukup 3 hal berlebihan yang kuperbolehkan. Uang
ayah dan ibu, ketampanan Kyuhyun dan kecantikanku. Hahaha. Tidak, aku hanya
bercanda.
Beberapa orang bersyukur bahwa ada yang dipelajari dari hari
ini. Untuk beberapa orang lainnya lebih memilih melihat masa lalu dan
mempersiapkannya untuk hari esok. Dan masa depan seperti apa yang menunggu
kita? Aku tidak tahu.
.,.
(Raejoon’s point of view)
Malam ini aku merasa hangat. Bukan kehangatan karena api atau selimut,
melainkan kehangatan yang timbul karena adanya keluarga. Senyum dari setiap
orang disini menelusup ke hatiku dan mampu memancarkan kehangatan.
Aku berpikir tentang hidupku yang terlalu mudah untuk dilewati. Benar-benar
tanpa halangan berarti. Orangtua yang romantis, saudara yang hangat, harta ayah
dan ibu yang tak membuatku berpikir 2 kali untuk membelanjakannya, sahabat baik
yang mengitariku, kemampuan otak kanan dan kiri yang seimbang.
Semuanya berjalan lancar sesuai keinginanku hingga tiba dimana
Seunghyun meninggalkanku saat itu. Semuanya berantakan, pertama kalinya aku
gagal dan itu membuatku jatuh begitu dalam. Mungkin itu adalah saat dimana aku
dituntut untuk mengambil pilihan yang ku yakini demi hidupku kedepannya.
Kemudian aku memutuskan untuk bangkit, membuka lebar hatiku dan
membuang rasa frustasi yang menyergapku. Dan kupikir aku berhasil. Aku sudah
melaluinya.
Di dunia ini semua orang pernah gagal, sebagian menyerah,
sebagian bangkit kembali. Maka ada pecundang, ada pemenang.
.,.
(Seulrin’s
point of view)
Menyenangkan.
Yah meskipun tidak ada orang tuaku disini, aku sudah menganggap mereka sebagai
penggantinya. Dimulai dariku yang menjadi member terbaru dari keluarga ini,
lalu Donghae oppa, dan sepertinya
Cheonsa onnie yang sedang membakar
daging bersama Siwon oppa disana akan
segera menyusul.
Sayang hidup tidak seperti sebuah kamera sehingga aku bisa
merekam detik ini, dimana semua orang tertawa bahagia dan aku akan
menyimpannya. Lalu disuatu saat, ketika aku merasa dunia sudah tidak berpihak
lagi padaku, aku akan mengulang hari ini, sesuatu yang mampu meringankan
bebanku karena aku tahu bahwa mereka akan tetap mendukungku saat hal buruk itu
terjadi.
Asal dengan mereka, meskipun hal paling menyebalkan yang
akan terjadi, aku merasa bisa melaluinya.
.,.
(Hyobin’s point of view)
Suara tawa begitu menggelegar di sekelilingku. Mau tidak mau aku juga
ikut terhanyut dalam candaan mereka yang sebenarnya tidak lucu. Aku yakin semua
orang di sini tertawa bukan karena menertawakan suatu hal yang lucu. Mereka dan
aku tertawa karena luapan kebahagiaan yang tidak terbendung lagi. Ramai dan
mereka begitu nyaman mengeluarkan segala macam emosi layaknya di rumah sendiri.
Tidak peduli dimana rumah kami berada. Karena pada dasarnya di manapun
kami bersama, maka itu disebut rumah.
(Hyobin’s point of view end)
.,.
Raejoon :
“Terima
kasih telah menjadi orang tua yang sempurna untukku. Terima kasih telah menjadi
contoh terbaik untuk kehidupanku kedepannya. Terima kasih untuk banyak tahun
berharga yang kita lewati bersama. Kita lanjutkan puluhan tahun kedepan bersama
lagi,eo? Tetap seperti ini. Aku mencintai kalian.”
Heebum :
“Ketika
aku merasa putus asa, kalian menjadi kekuatan besar yang dapat membantuku untuk
bangkit kembali. Disaat aku tidak menemukan tempat untuk bertahan. Disaat aku
terjebak dalam badai. Kalian tetap memberiku cinta dan keberanian. Untuk
kalian, aku kirimkan rasa terima kasihku.”
Hyobin :
“Disaat
aku merasa kesepian, hari-hariku dimasa lalu seringkali dipenuhi tangisan,
kalian juga ikut merasakannya. Akhirnya sekarang aku menyadarinya. Hanya satu
hal yang dapat menyembuhkan rasa sakit dari kekejaman dunia. Ketika kita saling
menyayangi satu sama lain. Hingga hidupku usai, hingga dunia ini berakhir, kita
akan tetap bersama selamanya.”
Seulrin :
“Layaknya
hal kecil yang menyatu agar menjadi sebuah kekuatan besar. Aku percaya kita
adalah satu. Mari bersama kita menciptakan kebahagiaan. Hingga tiba waktunya
kita menjadi cahaya untuk dunia yanh kering ini. Aku mencintai kalian.”
Dear My
Family, Saranghaeyo...
=END=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar