2014/01/04

{Fan Fiction} I will Follow


Cho Kyuhyun | Kim Heechul | Kim Jongwoon | Lee Hyukjae
Kim Heebum | Choi Raejoon | Kang Sungyoong | Lee Hyobin


Note : Beberapa percakapan dari novel J.D. ROBB modifikasi. Jadi kalo mau baca selengkapnya, beli novelnya ya xD Yang bikin aku, karakter kalian terserah aku.


==


Mata Sungyoong terpancang pada sosok Heebum yang duduk tenang di hadapannya sambil membaca buku. Sungyoong memaksa tangannya yang sedang menggenggam pensil untuk menulis sesuatu, apalah itu, yang terpenting jangan biarkan kertas itu tersenyum mengejek ke arahnya karena satu coretan pun tidak mampu ia torehkan. Oh, ya ampun. Kenapa harus semenyebalkan ini?

Bunyi ujung pensilnya yang patah menjadi batas kesabarannya. Sungyoong membuang pensilnya lalu menyandarkan tubuhnya kasar ke kursi. Menatap jengkel ke arah Heebum yang sepertinya sama sekali tidak terganggu dengan suara gaduh yang ia timbulkan. “Aku jadi penasaran, kenapa tiba-tiba Jung Seongsaengnim  menyuruh kita belajar bersama. Maksudku—aku tahu kau pintar. Tapi kenapa bukan Chanyoung saja?”

“Mana kutahu.”

Sungyoong menelengkan kepalanya. Memperhatikan wajah Heebum lamat-lamat. Kim Heebum. Teman –tapi mereka bahkan tidak berteman—sekelasnya. Heebum selalu terlihat bersama Choi Minho –sang ketua kelas— dan antek-anteknya. Di mana ada Heebum, maka di situ ada Minho.

Heebum dan Minho selalu satu kelas, entah bagaimana itu bisa terjadi, mungkin dengan sedikit permainan uang. Yah, siapa yang tidak tahu latar belakang keluarga Heebum? Ayahnya pemilik perusahaan besar dan ibunya sedang mengembangkan bisnis underwear bermerk dunia di Seoul. Tapi omong-omong, hampir semua siswa di sekolah ini memang begitu. Mendapatkan materi yang sangat melimpah dari keluarganya. Tidak terkecuali Sungyoong.

Ekspresi Heebum selalu sama, datar. Untuk orang yang tidak mengenalnya—sama halnya Sungyoong, itu sangat menyebalkan. Pasti bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu.Gadis ini, arogan sekali.

“Ya! Kau ini mau terlihat sok pintar ya di depanku?”

“Kerjakan saja soalnya.”

“Kerjakan, kerjakan. Jangan kau pikir kau ini yang paling pintar. Chanyoung yang lebih pintar saja tidak sombong sepertimu.”

Heebum menghentikan aktivitasnya. Menutup buku kemudian menatap Sungyoong hingga Sungyoong dapat melihat dengan jelas mata coklat keabu-abuan milik Heebum. “Kau belum mengerti juga? Kepintaran seseorang memang untuk dipamerkan. Oh ya, aku lupa. Kau pasti tidak pernah begitu. Kau kan bod— ah maaf, kurang pintar maksudku.” Heebum menyeringai menutup ucapannya.

Jemari Sungyoong tanpa diperintah melumat kertas yang sedari tadi membuatnya muak, seolah-olah kertas tersebut adalah Heebum. Rahangnya kaku. Dia benar-benar sebal. Setelah puas, ia melempar kertas itu ke arah Heebum, lalu bangkit dan pergi dengan amarah yang memuncak.

Telinga Sungyoong masih mampu menangkap suara Heebum. “Wah-wah, kau bahkan tidak bisa menjawab satu soal pun.”


==


            Sepulang dari ‘belajar’ dengan Heebum, Sungyoong tidak langsung pulang. Ia mampir ke rumah Hyobin, Raejoon juga ada di sana.

Sungyoong menghempaskan badannya, memilih duduk terpisah dari Hyobin dan Raejoon. Mereka berdua duduk di sofa panjang ruang keluarga Hyobin, sementara Sungyoong lebih memilih sofa tunggal tak jauh dari situ.

“Bagaimana? Lancar?” tanya Hyobin.

“Lancar apanya? Gagal sih iya.” Sungyoong begitu bersungut-sungut saat mengatakannya. “Dia itu menyebalkan sekali. Kenapa Minho bisa tahan dengannya? Ya! Apa mereka itu pacaran?”

Hyobin menelengkan kepalanya, lalu menggeleng. “Setahuku tidak. Dengar-dengar kekasih Heebum itu dokter bedah muda. Jadi dia dan Minho pasti tidak pacaran. Wae? Kau suka ya, pada Minho?”

“Tidak. Aku hanya heran, bagaimana bisa ada orang yang tahan dengannya?  Kaubilang tadi kekasihnya dokter, kenapa seorang dokter malah memilih gadis yang arogan sekali? Harusnya dia lebih memilih.”

Hyobin menghedikkan bahunya. “Tidak tahu. Untuk apa kita pikirkan?”

Sungyoong diam-diam menatap miris ke arah Raejoon, yang masih aktif menggaruk kedua lengannya yang dipenuhi bentol kemerahan. Kengerian membuat tubuh Sungyoong kaku dan tak berkutik. Itu pasti gatal dan tidak nyaman sekali. Jangan sampai aku mengalaminya. Sehingga dia memutuskan untuk jauh-jauh dari Raejoon sampai gadis itu berhasil mengusir entah apa yang menempel di kulitnya itu pergi.

“Ya, Raejoon-a. Kau makan babi ya?”

“Aku tidak tahan. Mereka kelihatan enak sekali. Ha...  gatal sekali. Gataaaal...”

“Ya! Kau ini berisik sekali sih. Bisa diam tidak?” omel Hyobin.

Sungyoong dengan tatapan tetap waspadanya hanya menonton saja. Dan dia melihat tangan Raejoon, menggapai remote tv di sampingnya, kemudian –seperti adegan slow motionremote itu bergerak dengan lambat, lambat, dan lambat hingga dia bisa melihat kepala Hyobin sebagai background dan...

PRAK

Hening...

“Ya!!! Kau gila? Aigo~ kepalaku. Astaga, sakit sekali. Kau mau mati hah?” Hyobin mengusap kepalanya seperti orang kesetanan. Wajahnya sudah semerah pantat kera karena kesakitan.

Sungyoong mengerinyit, kengerian berlebihan menjalari lehernya. Matanya berkaca-kaca menatap benda kecil hitam yang tergeletak di lantai, kesepian dan tidak berdosa.

Lalu matanya bergulir ke arah Hyobin dan Raejoon yang sedang cek-cok sambil melempar semua bantal sofa ke arah lawan.


==


Hyobin membawa tempat makan kucing yang sudah ia isi penuh dengan makanan kesukaan Tomingse—kucingnya. Kakinya telah menapaki semua ruangan di rumahnya, tetapi si kucing tidak juga terlihat. “Mingse Sayang, kau di mana?”

Hyobin berencana kembali ke ruang keluarga karena Mingse tidak ada di mana-mana.  Sepiring makanan itu berakhir dengan jatuh ke lantai karena tangan Hyobin tak kuasa menahannya. Di sana, Tomingse-nya, sedang tidur di pangkuan musuh yang membuat kepalanya benjol siang ini.

Semua laki-laki sama saja.

Setelah seorang teman dan seorang lagi yang dianggapnya mantan teman pulang, Hyobin memutuskan untuk tidur di kamarnya yang hangat.

Dalam tidurnya, Hyobin terlihat tidak nyaman. Ia merasa telah diintai. Keringat sebiji jagung muncul di dahinya karena tegang. Saat akhirnya ia membuka mata, ia tahu siapa yang telah mengintainya dari tadi.

Sesosok itu duduk di sofa kamar Hyobin. Dan menatap wajah Hyobin lekat-lekat. Tomingse.

“Apa kau lihat-lihat? Jangan memohon padaku. Demi Tuhan, kau tidur di pangkuan Raejoon. Dasar plin-plan.”


==


“Dia sangat menyebalkan.”

“Begitu ya?” Jongwoon masih mondar-mandir di depan rak buku besarnya, hanya punggungnya saja yang bisa dilihat Sungyoong. “Bagaimana kau bisa menilai orang kalau belum benar-benar mengenalnya?”

Karena Hyobin dan Raejoon sedang sibuk dengan urusan mereka sendiri, jadi sisa umpatannya untuk Heebum ia curahkan saat ini.

“Dilihat dari wajahnya saja sudah tampak kalau dia arogan sekali.” Sungyoong memiringkan kepalanya yang rebah di bantal Jongwoon, bibirnya sedikit mengerucut sambil membayangkan wajah datar Heebum. “Yah, tapi tetap saja wajahnya cantik dan tidak membosankan.”

“Bilang saja kau iri karena dia cantik.”

Oppa!” sambar Sungyoong begitu sebal. Entah sebal karena Jongwoon salah menyimpulkan atau memang dia ketahuan, tapi yang pasti dia bergerak menelungkupkan badannya. “Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatku sebal. Dia itu pinta. Dia pasti sombong soal hal semacam itu, seperti seseorang yang kukenal.”

Jongwoon berbalik. “Kau sedang menghina kekasihmu yang tampan ini, Sayang.”


==


[Esoknya...]

“Kau tampak lebih riang untuk seseorang yang baru saja melempar remote tv ke kepala seseorang,” sinis Hyobin saat Raejoon datang dan langsung duduk satu meja dengan dirinya dan Sungyoong.

Raejoon melihat kuku-kuku tangannya dengan santai. “Yah, bagaimana ya mengatakannya? Kim Woobin memang membuatku riang. Kau tau Sungyoong-a? Uri Woobin mengadakan fan meeting minggu depan. Kudengar tiketnya sudah habis terjual. Apa kau mendengar tiketnya sudah habis terjual, Sungyoong-a?”

“Yeah.” Telinga dan tubuhnya memang capek mengamati dua temannya itu yang tak kunjung mesra, tapi Sungyoong langsung menangkap maksud Raejoon. “Dan kudengar acaranya hanya berlangsung sehari. Dia memang luar biasa.”

“Aku punya tiga tiket. Aku akan memberimu satu.”

“Kau tidak bohong?”

“Tidak bohong. Hah, Sungyoong-a, aku tidak tahu harus kuapakan yang satu lagi. Andai  aku punya sobat,” ulang Raejoon, “dan sobatku ini mau memaafkan seseorang yang sudah melempar remote tv ke kepalanya, aku akan memberikan tiket itu untuknya.”

Mata bengkak Hyobin berkaca-kaca. “Aku sahabat barumu.”

“Oh, manis sekali. Jadi masalah kita sudah selesai?”

Sekarang Hyobin merasa sangat murahan. Tapi demi Choi Youngdo-nya, biarlah.


==


Hyobin, Raejoon, dan Sungyoong menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin. Sungyoong menumpukan dagunya di atas kedua telapak tangan sambil memperhatikan percakapan dua orang yang duduk beberapa meja di depan mereka. Meja mereka saling berjauhan, tapi keadaan kantin yang sepi membuatnya bisa mendengar dengan jelas.

“Kau sudah lihat pengumuman hasil ujian kemarin?”

“Belum. Apa sudah keluar?”

“Mm. Lihat ini.” Salah satu gadis itu menyodorkan tablet pc ke temannya.

Aigo~ uri Chanyoung memang pintar sekali. Biar kutebak, posisi kedua pasti Kim Heebum.”

“Yah, seperti biasa. Dan coba tebak siapa yang terbawah?”

Kedua gadis itu tampak begitu antusias saat bertatapan satu sama lain, kemudian bersorak bersama. “Kang Sungyoong.”

Sungyoong mendengus sebal. Telinganya sudah memerah menahan amarah. Namun ia masih berusaha menekan kemarahannya.

“Manusia bodoh pasti akan pintar jika mau belajar. Tapi Sungyoong? Aku bahkan tidak yakin dia bisa pintar walaupun belajar sampai rambutnya habis.”

Cengkeraman Sungyoong di botol minumnya semakin mengerat. Mereka benar-benar! Harus diberi pelajaran!

Maka Sungyoong beringsut hingga membuat Hyobin dan Raejoon menoleh ke arahnya. Sungyoong berjalan menghentak menuju ke tempat dua gadis itu duduk. Tawa mereka yang begitu menggelegar membuatnya naik pitam. Tinggal beberapa meja lagi tapi langkahnya berhenti mendadak saat melihat Heebum yang memunggunginya berdiri dari kursinya dengan kasar.

Heebum melangkah ke arah dua gadis yang membuat Sungyoong kesal tadi. Kedua gadis itu menghentikan tawa mereka lalu mendongak melihat Heebum yang sudah berdiri di depan mereka. Gadis itu meraih sebotol minuman di meja, membuka tutupnya lalu dengan santai menuang seluruh isinya ke atas tablet pc mereka.

“Ya!! Apa yang kau lakukan hah?!” Salah satu dari dua gadis itu segera menyambar tablet-nya, mengecek kemudian memeluknya di depan dada. “Kau pikir berapa harganya?!”

“Aku tidak yakin kau bisa membelinya dengan uang hasil jerih payahmu sendiri, walaupun kau sampai menjual diri.” Heebum memiringkan kepalanya, menatap dua orang itu kalem, menyembulkan sedikit senyum miringnya yang lebih terlihat seperti tawa merendahkan.

“Berada di peringkat 10 dari bawah sudah begitu membuatmu berpuas diri, Jung Hii-ssi?” Heebum menjatuhkan botol kosong yang berada di tangannya dengan gerakan yang anggun, kemudian melangkah pergi. “Ah, satu lagi,” katanya tidak membalikkan badan. “Kau hanya beruntung berada di posisi 90. Kita lihat selanjutnya, Sungyoong bahkan tidak butuh keberuntungan untuk mengalahkanmu.”

“Ya! Kenapa kau membelanya, hah?” teriak Jung Hii. “Kim Heebum!”

Sungyoong hanya bisa melongo menatap punggung Heebum yang pergi meninggalkan kantin.

“Wow. Dia keren sekali.” Bisik-bisik Hyobin dan Raejoon di sampingnya menyadarkan Sungyoong untuk menutup mulutnya yang terbuka entah sudah berapa lama.


==


“Aku minta maaf.” Tiga kata inilah yang membuka percakapan antara Sungyoong dan Heebum setelah 30 menit yang sunyi berlalu.

“Untuk apa?” Heebum masih setia membaca buku di hadapannya.

Sedangkan Sungyoong masih sibuk mengaitkan jari tengahnya ke atas telunjuk, kaitkan jari manis di atasnya dan terakhir tambahkan kelingking, bermain jari menutupi kegugupannya sambil memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Untuk perkataan kasarku waktu itu, untuk melempar kertas ke arahmu, untuk perlakuanku yang membuatmu sebal.”

“Wah-wah, banyak sekali yang harus kumaafkan kalau begitu.”

Sungyoong cemberut, tidak menyadari mata Heebum yang mencuri pandang ke arahnya. Dari gerakan bibirnya yang seakan ditahan-tahan, Heebum tahu ada lagi yang ingin di sampaikan Sungyoong, tapi Sungyoong masih ragu dan lebih senang bermain dengan jari-jemarinya yang baru saja dimenikur kemarin.

“Aku juga—“ Sungyoong menggigit bibir bawahnya. “Aku ingin—“ Aish, kenapa sulit sekali sih? “Aku... terima kasih.”

Heebum menutup bukunya dan menatap Sungyoong penuh minat. “Kau aneh sekali hari ini.”

Heebum masih diam menatap Sungyoong, meruntutkan kelakuan gadis di hadapannya itu satu persatu. Minta maaf. Lalu berterima kasih. Berterima kasih, yang sebelumnya meminta maaf. Hingga dia mendapatkan satu kesimpulan.

“Oh! Oh Tuhan. Jangan lakukan itu! Aku tahu kau begitu putus asa, tapi jangan lakukan itu.” Heebum menggelengkan kepalanya dengan brutal, membuat Sungyoong yang bingung menjadi semakin bingung. “Kalau kau melakukannya— tidak-tidak. Astaga, bagaimana cara menjelaskannya agar kau paham?” Heebum menarik rambutnya frustrasi, membuat Sungyoong yang frustrasi menjadi semakin frustrasi. “Kalau karena otakmu yang tidak terlalu pintar, mungkin kau menerima beberapa penolakan di dunia. Tapi kalau kau bunuh diri, aku bersumpah— bahkan di akhirat pun kau juga akan menerima penolakan dan siksaan tiada tara.”

“Kau ini bicara apa sih?” Sungyoong menggaruk kepalanya. “Kalau yang kau khawatirkan adalah aku akan bunuh diri, itu tidak akan terjadi.”

“Benarkah? Syukurlah kalau begitu.” Heebum menyibak rambutnya ke belakang sambil menyandarkan punggungnya.

“Aku melihatmu membelaku.” Sungyoong dapat menangkap kilatan di mata Heebum yang menerangkan bahwa gadis itu terkejut. Ia pasti tidak menyangka kalau Sungyoong menyaksikan semuanya. Secepat angin, raut muka terkejut Heebum menghilang, digantikan ekspresinya yang biasa. “Terima kasih Heebum-a.” Heebum masih diam, seperti merana karena ketahuan.

Kenapa dia diam? Apa rasanya malu sekali membelaku?  

Kemudian Heebum berkata, “Kau lihat sendiri kan? Mereka baru dua orang. Entah ada berapa banyak lagi yang mencemooh di belakang punggungmu.” Lalu mereka diam.

Sungyoong menggigiti bibir bawahnya dan meremas telapak tangan, kemudian karena terlalu penasaran dengan pertanyaan yang ada di benaknya, dengan ragu-ragu Sungyoong bersuara, “Kenapa kau membelaku?”

“Aku tidak membelamu.” Heebum menatap Sungyoong sekilas. “Aku hanya tidak membenarkan mereka.”

Dan sejak saat itu, bagi Sungyoong, Heebum bukan lagi kecoak mandul berbokong tepos.

“Bagaimana kalau kita tidak usah belajar hari ini? Kita belanja bersama saja. Makan es krim. Ide bagus kan?”

Ekspresi Heebum langsung berubah dingin, menatap Sungyoong tajam. “Tidak.”

Sungyoong mendesah kecewa, keceriaan seolah direnggut paksa dari wajahnya. “Kurasa aku tidak menyukaimu lagi.”

“Aku tidak tahu bagaimana aku akan melanjutkan hidupku setelah mengetahui hal itu.” Heebum mengatakannya sedang mimik sakit hati yang dibuat-buat, namun hanya sesaat. “Kau takkan ke mana-mana sebelum menyelesaikan soal itu.”


==


“Heebum-a.”

Heebum berbalik, dan melihat Raejoon serta Hyobin tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. “Ada apa?”

Setelah mengatur napas mereka sendiri, Raejoon berkata, “Ayo kita berteman. Kami akan menjadi temanmu.”

Sedikit terkesima, Heebum tersenyum, hanya lekukan samar di bibirnya. “Aku tidak salah dengar kan?”

Hyobin menegakkan tubuhnya. “Tidak. Karena kau sudah membela sahabat kami dengan sangat keren, Sungyoong sahabat kita kan?” tanyanya pada Raejoon yang ditanggapi dengan anggukan. Hyobin ikut mengangguk senang karena ucapannya benar. “Mulai dari sekarang, kau teman kami juga.”

Heebum masih menahan geli, tapi tidak bisa dipungkiri ini membuatnya senang. “Begitu, ya. Tapi baru saja dia bilang dia tidak menyukaiku lagi.”

“Suka kok,” sambar Raejoon. “Mulutnya memang suka begitu. Jangan di masukkan ke hati. Masukkan saja ke pantat.”

Teman.


==


Raejoon sedang melangkah ke area parkir bersama Hyobin saat melihat seseorang sedang bersandar di kap mobilnya. Senyuman lebar muncul di bibir Raejoon. Setelah berpisah dengan Hyobin, Raejoon mengambil satu langkah ke arah pria itu. Begitu mengambil langkah kedua, dirinya sudah berlari.

Pria itu memeluknya, mengangkat Raejoon sampai kakinya tidak menapak tanah. Mereka kemudian masuk ke dalam mobil.  “Wowowo. Ada angin apa sampai kau menjemputku? Kau bilang ada rapat.”

“Memang. Tapi mereka takkan berani mengumpat. Kalau mereka berniat membatalkan proyek, tinggal kuiming-imingi satu tanda tanganku dan mereka akan berlutut saking bahagianya.”

“Sombong sekali. Dasar tukang menyogok.”

“Kalau kau yang mengatakannya, itu terdengar seperti angin dari surga.” Melihat Raejoon yang memeragakan seperti mau muntah, Heechul hanya terkekeh. “Kau sudah berbaikan dengan Hyobin. Aku melihat kalian berjalan berdampingan tadi.”

Supaya Heechul tidak mengecapnya sebagai tukang sogok seperti dirinya, maka Raejoon menjawab, “Dia sibuk sekali menyalahkan dirinya sendiri sampai-sampai aku susah mau menyalahkannya.”

“Dasar hati lembut.”

“Hati-hati dengan ucapanmu, Sayang.”

“Padahal aku sangat ingin melihat kalian bertarung sampai berguling-guling.”

“Lalu melihat pakaian kami yang terkoyak dan sobek di sana-sini.”

“Wah—wah, kau memang memahamiku.”

“Laki laki memang aneh.”

“Kalau begitu kasihanilah kami.”


==


Hyobin duduk di hadapan Hyukjae yang mampir ke rumahnya setelah pulang bersama. Ketika tangannya akan mengelus Tomingse, kucing itu menggeram rendah. Setelah memelototi Hyobin, Tomingse mengibaskan ekor, meloncat turun, dan melenggang pergi dengan arogan.

“Dia sebal kau mengomelinya kemarin.” Hyukjae menahan cengirannya saat Hyobin cemberut menatap si kucing. “Sedikit-banyak karena aku berhubungan denganmu, dia juga merajuk padaku. Aku dan dia sudah berdamai tapi tampaknya jika menyangkut dirimu, dia masih mendendam.”

“Dasar si bokong tepos.”

“Menghinanya bukan cara yang paling tepat untuk berbaikan. Cobalah salmon segar. Itu selalu berhasil.”

“Aku takkan menyuap kucing sialan itu.” Hyobin mengeraskan suaranya agar pihak yang sedang mereka bicarakan bisa mendengarnya. “Kalau dia tidak mau disentuh olehku, ya sudah. Kalau sakit hati karena omelanku, ya sudah.”

Tomingse meninggalkan Hyobin untuk meloncat ke bangku jendela dan menatap ke pemandangan luar seolah dialah pemilik tempat ini.


==


[Beberapa hari kemudian...]

Sungyoong berjalan ke arah ruang olahraga guna mengembalikan peralatan sofbol yang telah selesai ia pakai. Hyobin, Raejoon, dan Heebum masih melakukan penilaian, jadi dia hanya seorang diri.

Jung Hii berdiri menghalangi jalannya. Karena tidak ingin mencari masalah, Sungyoong mengambil jalur kiri, tapi Jung Hii mengikutinya ke kiri. Lalu Sungyoong ke kanan, Jung Hii mengambil jalur kanan.

Dengan sebal, Sungyoong mengangkat kepalanya dan menatap Jung Hii. “Apa maumu sih?”

“Kau menang di pertandingan tadi.”

“Lalu?”

“Yah, entah kenapa kekalahanku kali ini justru membuatku semakin bersemangat untuk bersaing denganmu.”

“Aku tidak punya waktu untuk bermain sofbol, dan capek. Kalau kau mau bermain lagi, dengan yang lain saja.” Sungyoong berjalan lagi tapi tangannya di tahan. “Apa lagi sih? Masih kurang jelas?”

“Aku ingin kita bersaing di semua hal. Pelajaran, olahraga, bahkan kalau perlu percintaan.”

Sungyoong berdecak tak percaya. “Kau ini terobsesi sekali ya ingin mengalahkanku? Kenapa? Tidak percaya diri?”

Jung Hii menghedikkan bahunya santai. “Terserah apa pendapatmu.”

“Aku bisa,” kata Sungyoong, “bersaing di bidang apa saja. Tapi tidak dengan percintaan. Kau tidak bisa menantangku di situ. Aku takkan membiarkan seorang pun mengusik milikku.”

“Baik.” Jung Hii mengangguk. “Kita deal kalau begitu.”

Jung Hii melangkah mundur dengan santai. Gadis ini bisa juga sportif. Itulah alasan Sungyoong tidak menduganya. Tiba-tiba Jung Hii menyambar tongkat sofbol, gerakannya cepat dan spontan, mengarahkannya ke kepala Sungyoong.

Heebum mendorong Sungyoong dengan keras hingga Sungyoong terjatuh. Dan gerakan itu, gerakkan meliukkan tubuh itu, membuat kepala Heebum bertemu dengan tongkat Jung Hii.

Sungyoong menjerit saat darah menyembur, menyerukan sesuatu saat tubuh Heebum terpuruk. Sungyoong menghambur ke arah Heebum. Napas gadis itu tersengal, pendek-pendek, dan darah mengucur dari sisi kepalanya.

“Ya Tuhan, ya Tuhan.”

“Aku baik-baik saja.”

“Diamlah. Tutup mulut, Heebum-a.” Sungyoong begitu panik, kemudian Minho datang tiba-tiba dan mendorong kasar tubuh Jung Hii yang masih shock agar menyingkir. Minho menyambar ponselnya dengan panik. Pikiran Sungyoong sudah keruh hingga tidak menghiraukan apa-apa lagi, termasuk Jung Hii yang telah disudutkan ke dinding oleh banyak siswa.

“Tolol. Gadis bodoh.” Dengan tergopoh-gopoh, Sungyoong mengikuti Minho yang mendekap tubuh Heebum erat dan membawanya pergi manakala telinganya mendengar hardikan dari mulut pria itu dengan samar.

Sungyoong segera meletakkan kepala Heebum di pangkuannya begitu mereka sudah masuk ke mobil Minho. Wajah Heebum yang tidak tertutupi darah begitu pucat.

“Bertahanlah, Heebum-a. Dasar tolol. Kalau kau mati gara-gara aku, aku akan marah besar.”

“Maaf.” Heebum terkesiap saat Sungyoong menyibak rambut yang menutupi dahinya. “Ya Tuhan, rasanya sakit sekali. Sialan, terbuat dari apa...” Ia menahan rasa sakitnya, berjuang untuk tetap sadar. “Sialan, terbuat dari apa sih tongkat sofbol?”

“Mana kutahu? Kau pikir aku yang membuat?” teriak Sungyoong dengan panik. “Mereka akan menjahit kepalamu. Kau akan mendapat penghargaan dariku akibat pukulan ini. Lalu kau bisa menunjukkannya ke semua pria di sekolah agar mereka tambah menggilaimu.”

“Omong kosong.” Heebum berusaha tersenyum, tetapi ia tidak bisa melihat Sungyoong. Cahayanya makin redup. “Kyuhyun Oppa akan membunuhmu, Minho-ya.”

“Diamlah. Aku sudah menyuruhmu tutup mulut,” teriak Minho frustrasi.

Heebum tidak berkomentar lagi, matanya sudah benar-benar terpejam. Dan Sungyoong tahu betul kalau kesadaran Heebum hilang.


==


Saat tiba di rumah sakit, sudah ada yang menyambut mereka. Sungyoong melihat seorang pria dengan pakaian lengkap kru dokter mengambil alih tubuh Heebum dari Minho.

Mereka membaringkan Heebum di ranjang. Sungyoong dapat melihat dengan jelas wajah pria itu sekarang. Pria yang sangat tampan dan berkharisma, dengan bola mata yang dipenuhi kekhawatiran dan raut  kesakitan saat mengusap darah yang mengalir di wajah Heebum.

“Bagaimana bisa dia terluka begini?” tuntutnya pada Minho.

“Seseorang memukulnya. Jung Hii.” Lalu mereka berpisah di ambang pintu IGD.

Dalam diamnya, tubuh Heebum tersentak saat merasakan sentuhan di kepalanya yang terasa mau pecah, kemudian rasa dingin menyebar, lalu digantikan rasa hangat. Telapak tangan lainnya menekan pipi Heebum yang kebas. Namun rasa itu segera berlalu, dan dirinya merasa melayang.

“Seberapa parah lukanya?”

Kyuhyun. Begitu mendengar suara itu, Heebum mengupayakan dirinya untuk sadar.

“Jangan, ssst. Tenanglah,” ujar Kyuhyun pada Heebum saat dirasakannya jemari Heebum yang berada di genggamannya bergerak. “Aku ada di sini.”

Karena Kyuhyun ada di sini, Heebum pun kembali melayang.


==


Yang Sungyoong lihat pertama kali saat memasuki kamar rawat Heebum adalah Kyuhyun  sedang merundukkan setengah badannya di atas tubuh Heebum. Kedua telapak tangannya mengelus pelan wajah dan tubuh Heebum. Kepala Heebum terbebat perban dan ada memar sebesar bola tenis di wajah bagian kirinya.

Hyung.” Minho yang memang berdiri di depannya melangkah maju, berhadapan langsung dengan Kyuhyun. “Bagaimana keadaannya?”

Kyuhyun mengusap kasar wajahnya yang kuyu. Ia menegakkan tubuhnya. Menatap Heebum yang masih terpejam. Kemudian dengan cepat mencengkeram kuat kerah seragam Minho. “Sebenarnya apa saja yang kau lakukan, hah?”

Sungyoong tak berkutik di tempatnya.

“Kau pikir aku pengasuhnya sampai harus mengawasinya 24 jam? Kau yang kekasihnya di sini justru tidak bisa melakukan apa-apa.”

Kyuhyun terlihat seperti tertohok dengan ucapan Minho. “Maaf.” Kemudian melepaskan cengkeramannya dan menduduki kursi di samping ranjang Heebum.


==


Ketika Sungyoong sampai di rumah, ia memutar ulang kejadian tadi. Sesuatu yang seharusnya bisa ia lihat sebelum tongkat itu terangkat. Andai Heebum tidak maju, bisakah ia mengelak?

Apa gunanya? Tanya Sungyoong saat memasuki rumahnya. Takkan ada yang berubah.

“Sungyoong-a.”

Jongwoon muncul dari arah ruang tamu tempat pria itu menunggu Sungyoong. Kini Sungyoong hanya mampu memandangi Jongwoon dengan kesedihan yang membayangi matanya.

Oppa.”

“Aku menyesal, Yoong-a.” Jongwoon mendekat lalu memeluk Sungyoong. “Aku turut menyesal.”

“Bunyinya keras sekali, Oppa. Dia berdarah, aku melihatnya sendiri –oh, bahkan aku yang mengusapi darahnya. Sudah ada Minho dan kekasih Heebum di sana. Mereka sudah menghubungi keluarga Heebum dan meminta mereka cepat-cepat datang ke rumah sakit.”
Jongwoon tidak peduli jika orang-orang akan menganggapnya egois. Ia hanya bisa berpikir bahwa Bisa saja kau yang mengalaminya. Bisa jadi kau yang mengalaminya, dan akulah yang diminta cepat-cepat datang ke rumah sakit.

“Sebaiknya kau naik saja. Kau lelah. Istirahatlah.”

“Yeah, tidak ada yang bisa kulakukan selain istirahat.” Mereka melangkah bersama ke tangga. Lalu Sungyoong mendadak duduk di anak tangga dan membenamkan wajahnya di tangan. “Brengsek, dia melakukannya untukku. Jung Hii berusaha menyerangku, dan Heebum mendorongku sampai terjatuh tapi dia malah terluka.”

Jongwoon mengecup ubun-ubun Sungyoong. “Kalau begitu aku berutang budi padanya. Sesuatu yang takkan pernah bisa kubalas. Tapi kau bisa membalasnya. Dengan menjadi teman yang selalu saling melengkapi.”

“Yeah, kalau gadis tolol itu melakukan ini hanya karena ingin menjadi temanku, aku akan menendang bokongnya.”

“Bagus. Sekarang beristirahatlah.”

Sungyoong sudah berbaring di ranjangnya dan memejamkan mata. “Oppa?”

“Hmm?”

“Aku berhasil memanggilnya tolol.”


==


[Keesokan hari...]

Ada sekarung beras. Yang menghantam kepalanya. Itu satu-satunya hal yang dipikirkan Heebum saat gelombang pertama rasa sakit menerpanya bahkan sebelum ia berhasil membuka mata. Ia sadar kalau ia mengerang hebat sedari tadi, Heebum dapat merasakan tubuhnya disentuh  oleh banyak tangan dan beberapa tusukan menembus kulitnya, tapi ia tetap tidak bisa menahan untuk tidak mengerang.
           
Lalu, di antara banyak suara panik, ada satu suara yang ia kenali. Suara parau yang berbisik lembut tepat di telinganya, memintanya untuk bertahan. Setahunya hanya itu yang membuatnya sekuat tenaga membuka mata. Dan wajah itu, wajah tampan yang tampak kelelahan, yang pertama kali ia lihat. Ruangan itu begitu terang, ia bisa merasakan matanya yang basah dan tubuhnya yang berkeringat.

“Heebum-a, ya Tuhan.”

Karena hanya keberadaan Kyuhyun satu-satunya yang membuatnya nyaman, Heebum langsung memeluk perut pria itu erat kemudian terisak di sana. Kyuhyun balas memeluk tubuh Heebum lembut, mengelus kepalanya hati-hati agar tidak menambah kesakitan gadisnya.

“Astaga—ya Tuhan.” Dada Kyuhyun naik-turun karena cemas yang teramat sangat. “Kau bangun Sayang.”

Heebum menolak saat beberapa orang berniat memeriksa keadaannya. Ia mengibaskan tangannya dengan lemah saat ada seseorang  yang berniat memeriksa tekanan darahnya. Tetap memeluk perut Kyuhyun. Tangan Kyuhyun menangkup wajah basahnya dengan lembut, menciuminya bertubi-tubi. “Mana yang sakit?” Heebum menggeleng, tetap enggan melepas pegangannya dari jas dokter yang Kyuhyun kenakan.

Kyuhyun mendongak menatap beberapa perawat. “Biar aku saja. Kalian keluarlah.” Setelah mendengar pintu tertutup, Kyuhyun dengan perlahan melepas cengkeraman Heebum kemudian menciumi tangannya. Kyuhyun memasang stetoskop di telinganya, memeriksa detak jantung Heebum. Tangannya bergerak mengusap air mata yang masih tertinggal, mencium dahi Heebum dengan sayang. Kemudian memeriksa pupil mata, tekanan darah dan infusnya.

“Kembalilah tidur.” Kyuhyun mengangkat tangan Heebum ke wajahnya sendiri.

“Aku tidak akan tidur kalau kau tidak tidur.”

Aliran kelegaan melanda dada Kyuhyun, Heebum sudah tenang setelah disuntik penghilang rasa sakit berkali-kali. “Asal kau tahu saja, aku menjaga gadis terkasihku yang gegar otak dengan gagah berani.”

Heebum memandangi Kyuhyun. Merasakan bagaimana cinta menerpanya. Bukan cinta menggebu-gebu yang begitu bersemangat, melainkan cinta yang lembut hingga mampu menyisip ke sela-sela hatinya, perasaannya.

Pria itu luar biasa tampan hingga Heebum tidak pernah benar-benar memahami bagaimana pria itu bisa menjadi miliknya. Rasa terharu berbayang di matanya. Ia beringsut memeluk pinggang Kyuhyun dengan sisa tenaga yang ia punya. “Jangan pergi ya?”

Kemudian Kyuhyun tersenyum, hanya lekuk samar bibirnya. “Aku takkan pergi.” Beringsut sedikit, hanya supaya dia bisa mendaratkan bibirnya di bibir Heebum.


==


Kyuhyun hendak keluar dari cafe rumah sakit manakala matanya menangkap Sungyoong yang duduk sendiri di salah satu meja.

Sungyoong mendongak saat seseorang menarik kursi di hadapannya lalu mendudukinya. Dokter bedah muda Seoul International Hospital atau yang sekarang dikenalnya sebagai kekasih Heebum.

“Kau teman Heebum kan?”

Sungyoong mengangguk. “Ya.”

Kyuhyun tersenyum konyol saat mendapati dirinya begitu senang. “Terima kasih sudah mau menjadi temannya.”

Sungyoong memiringkan kepalanya. Apa dia sebegitunya tidak punya teman? Apa semua orang benar-benar berpikir kalau Heebum adalah gadis arogan yang jahat? “Dia baik. Ya walaupun awalnya kukira dia sombong dan menyebalkan.”

Kyuhyun mengangguk maklum. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kau sudah mengenal bagaimana Heebum sebenarnya.”

Sungyoong menyetujui. “Omong-omong, bagaimana keadaannya?”

“Dia gegar otak. Dan bisa kau lihat sendiri, beberapa memar.”

“Astaga...”

Kyuhyun melirik Sungyoong. “Kau tidak perlu merasa bersalah. Dia memutuskan mendorongmu berarti dia sudah siap menanggungnya.”

Walaupun perkataan itu sama sekali tidak menenangkan hatinya, Sungyoong tetap mengangguk. Kemudian karena penasaran, Sungyoong bertanya, “Kau kan dokter bedah, pasti sudah sering melakukan operasi.” Kyuhyun mengangguk. “Saat mengoperasi Heebum, bagaimana perasaanmu?”

Kyuhyun menggeleng santai. “Bukan aku yang mengoperasinya. Temanku yang melakukan itu untukku. Changmin.”

Karena menyadari raut wajah Sungyoong yang masih bertanda tanya, Kyuhyun melanjutkan, “Aku tidak pernah bisa berpikir jernih hanya dengan melihatnya saja. Dia adalah satu-satunya yang takkan pernah kubuat main-main. Kaupikir aku bisa hidup kalau dia mati di depan mataku, dengan tanganku yang seharusnya bisa menyelamatkannya tetapi aku gagal membuatnya bertahan hidup?”

“Tentu saja tidak. Ya kan?”

Sambil terus tersenyum, Kyuhyun mengangguk. “Aku senang teman barunya adalah wanita. Mataku seringkali berkunang-kunang karena cemburu setiap melihat Minho dan banyak pria yang mengelilinya. Bahkan Changmin dan Tan sekali pun.”

“Tan?”

“Yeah. Kim Tan. Kakak Heebum yang tinggal di Singapore.”

“Apa?” ujar Sungyoong setengah terkejut. “Jadi Heebum punya kakak? Aku tak pernah tahu.”

Heebum tidak pernah menyadari daya pikatnya, batin Sungyoong. Dan itu yang seringkali membuat Kyuhyun frustrasi.

Saat kembali ke ruang rawat Heebum, sudah ada beberapa orang di sana. Ada seorang pria, dengan jas dokter seperti milik Kyuhyun, sedang menyuapi Heebum sepotong apel. Dan ada seorang pria, dengan jas dokter yang berdiri di samping Sungyoong, sedang menghilangkan kunang-kunang dari pandangannya.

“Apa perlu kucarikan pembasmi serangga?” bisik Sungyoong iba kepada Kyuhyun.

Mulut Kyuhyun sudah terbuka, saat akan mengeluarkan beragam sumpah serapahnya, sebuah suara menyela.

“Tidak boleh bisik-bisik.” Heebum bersuara. “Dua orang di sana. Yang berdiri di depan pintu, kubilang jangan bisik-bisik.”

Sambil menahan geli, Kyuhyun menghampiri Heebum. “Kubilang jangan dekat-dekat pria lain selain aku. Kau ini nakal sekali sih.” Kyuhyun mencium dengan keras pipi kanan Heebum yang tidak terluka.

Kemudian pintu terbuka lagi. Raejoon masuk kemudian kaget melihat ada orang yang ia kenal sedang melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang Heebum. “Astaga, Heebum-a, kau pacaran dengan sepupuku? Kyuhyun Oppa?”


==


[Beberapa hari kemudian...]



Sudah begitu larut, keluarganya pasti sudah terlelap semua. Sungyoong menutup pintu rumahnya. Kemudian berbalik, melihat Jongwoon.

Tidak peduli mereka sudah bersama selama dua tahun lebih. Dirinya akan selalu merasakan debaran jantung ini, setiap kali melihat pria itu selama sisa hidupnya.

“Kau selalu pulang larut akhir-akhir ini.”

Mendengar suara Jongwoon, segala pikiran dalam benak Sungyoong langsung lenyap. Lalu pria itu tersenyum, hanya senyum samar, dan Sungyoong mengambil satu langkah ke arah kekasihnya. “Aku dari rumah sakit.”

“Bukankah memang begitu?” Jongwoon mundur, mempelajari wajah Sungyoong. “Kau baik-baik saja?”

“Ya.”

“Kenapa kau berbisik?”

“Aku tidak berbisik.” Sungyoong berdehem. Dan merasa seperti menelan pecahan kaca. “Hanya sedikit serak.”

Jongwoon menarik Sungyoong menuju kamar gadis itu, lalu mendorongnya untuk berbaring. “Pucat pasi juga,” komentarnya dan menempelkan tangannya di kening Sungyoong. Sesuatu mirip rasa panik melintas di wajahnya. “Kurasa kau demam.”

“Aku tidak demam. Aku tidak sakit.” Sungyoong hendak duduk, kemudian berbaring lagi ketika dirasakannya ruangan berputar. “Aku cuma sedikit capek.”

“Seharusnya aku mengikatmu di tempat tidur selama beberapa hari.” Jongwoon berguling, kemudian berderap keluar kamar.

“Aku hanya pusing sedikit. Kenapa kau semarah ini?”

“Kalau kau menurunkan satu jari kaki saja dari ranjang, aku akan benar-benar melakukan perkataanku.” Di tangannya sudah ada segelas air putih dan sebungkus obat.

“Aku baik-baik saja.”

“Buka mulutmu. Sungyoong.” Satu kata penuh peringatan dari Jongwoon ketika Sungyoong mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangan Jongwoon mencengkaram lengan atas Sungyoong dengan erat.

“Lepaskan aku,” ujar Sungyoong dengan suara pelan. “Sekarang juga.”

“Tidak.” Lengan Sungyoong gemetar di bawah cengkeraman Jongwoon, dan menurutnya itu bukan karena amarah. “Tidak sampai kau meminum obatmu. Kau kedinginan?”

“Tidak.” Sungyoong kedingingan sekali. Dan usahanya untuk berontak hanya menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

“Lalu kenapa kau menggigil?” Jongwoon menahan sumpah serapahnya, menarik selimut dan menyelimutkannya ke Sungyoong.

“Aku hanya flu ringan. Berbaik hatilah padaku.”

“Aku sudah berbaik hati padamu. Dan kau tahu hatiku milikmu.” Jongwoon menempelkan keningnya di kening Sungyoong. “Itulah masalahnya.” Kemudian ia menjauhkan diri. “Sekarang buka mulutmu.”

Sungyoong menggeleng dengan bibirnya yang terkatup rapat.

“Ayolah Sayang, kau tahu aku tidak senang membuatmu memar.”

Karena Sungyoong tetap berkeras, tanpa ragu sedikit pun, Jongwoon melangkah ke atas Sungyoong, memijit hidungnya dan mencengkeram rahangnya, memasukkan tablet ke mulut Sungyoong, lalu menggelontorkannya dengan bantuan segelas air putih tadi. “Telan,” katanya sementara Sungyoong batuk-batuk.

Sungyoong telah melewati kemarahan dan memasuki tahap tangisan. Segala sesuatunya sakit—kepala, tubuh, harga diri.

“Ssst, Sayang. Sst.” Dengan terguncang, Jongwoon membelai rambut Sungyoong. “Semuanya sudah selesai. Jangan menangis.”

“Pergi sana,” ujar Sungyoong bahkan saat ia memeluk Jongwoon. “Pergi sana jauh-jauh.”

“Situasi seperti ini kadang-kadang mengoyak hatiku,” ujar Jongwoon tetap membuai Sungyoong. “Kau tidak memberiku pilihan. Kau berdiri di sana, di depan pintu, dengan penerangan yang cukup, dan aku sama sekali tidak menyukainya saat cahaya lampu justru semakin memperjelas wajahmu yang pucat.”

“Maafkan aku,” ungkap Sungyoong teredam bahu Jongwoon. “Aku tidak tahu harus melakukan apa kalau kau tidak ada. Jangan marah padaku ya? Tetap sabar denganku ya, Oppa?”

“Ya.” Jongwoon mencium pelipis gadisnya. “Tentu saja.”


==


[Dua hari kemudian...]

“Hai, malaikatku,” ujar Hyukjae saat melihat Hyobin, Raejoon dan Sungyoong bergabung di mejanya.

Dengan pipi yang memanas, Hyobin membalas, “Hai.”

Mereka mendongak saat ada satu orang lain bergabung di meja mereka.

“Heebum-a!”

Heebum, masih dengan perban di kepalanya dan memar yang sedikit membuat ngilu, hanya memandang mereka datar. “Tidak usah berlebihan.”

“Kau benar-benar sudah sembuh? Kau masih pucat. Kenapa memaksakan diri?” omel Sungyoong.

“Aku bosan, tahu, tidak? Kalian pikir enak diperlakukan seperti orang cacat?” Melihat beberapa mulut akan terbuka, Heebum megangkat tangannya. “Jangan berisik. Itu membuatku tambah pusing.”

Jadi mereka hanya diam.

Beberapa gadis tim pemandu sorak melangkah melewati meja mereka. Sirine di kepala Hyobin langsung berbunyi. Lee Hyukjae!

“Ya! Apa-apaan itu? Kemana matamu tadi terarah, hah? Kau selalu saja seperti itu. Menyebalkan, tahu, tidak?”

“Sayang, kau sexy sekali kalau merajuk seperti itu.”

“Kau pikir itu akan mempan? Kau hanya menganggapku mainanmu ya? Iya kan?”

Keterkejutan atas reaksi Hyobin melanda Hyukjae, dia mengangkat kedua tangannya. “Wah, wah—aku sama sekali tidak berpikiran begitu.”

“Kau pikir kau yang paling tampan? Aku bisa mengencani pria yang lebih baik darimu. Hanya tinggal tunjuk saja. Kau pikir cuma kau yang bisa bermain api?” Hyobin tidak mengucapkannya secara kejam—lebih bersifat logis. Tapi dia tidak merasakan akibat ucapannya terhadap diri Hyukjae.
           
“Hyobin-a, kau ini bicara apa sih?”

“Dasar bedebah tidak peka.”

Kemarahan seolah memilin perut Hyukjae, dia berdiri mengimbangi Hyobin yang sudah dikuasai amarah sejak tadi. “Sayang, kata-katamu kasar sekali.”

Hyobin bisa melihat batas kesabaran Hyukjae yang sudah mulai habis lewat matanya saja. Pria itu menggenggam pergelangan tangan Hyobin erat tetapi tidak mengekang. Bahkan dalam keadaan marah, pria itu tidak sanggup menyakitinya. “Kenapa aku tidak boleh bicara seperti itu? Kenapa aku tidak boleh bermain api? Kenapa aku tidak boleh merayu pria lain sementara kau boleh melakukan semuanya? Kenapa kau boleh dan aku tidak?” teriak Hyobin.

Karena kau milikku. “Karena kau bukan gadis seperti itu. Dan kau takkan bisa menjadi begitu.”

“Lalu kau pria macam apa?”

Hyukjae merasa baru ditinju di ulu hatinya. Dia melepaskan pegangannya di tangan Hyobin, lalu memijat pelipisnya yang kaku. “Terserah kaulah,” desahnya sambil berusaha menekan kemarahannya.

“Ya sudah, aku pergi,” pekik Hyobin

Hyukjae tidak tahan diteriaki seperti itu. Hyobin bisa melihat kesabarannya yang menghilang. “Ya sudah, sana pergi.”

Hyobin terkesiap, menahan air matanya hingga perutnya bergetar, tidak percaya Hyukjae akan meneriakinya. “Ya sudah, jangan mencariku lagi.”

“Ya sudah...” Karena egonya harus tetap ia pertahankan, dan di sisi lain ia ingin Hyobin tetap di sini, jadi yang keluar dari mulutnya adalah, “tapi aku lupa membawa dompet, pinjami aku uang.”

Hyobin memalingkan wajahnya dan berdehem. “Ya sudah, berapa?”

“Ya sudah, sepuluh ribu.”

“Ya sudah, ini.”

“Ya sudah, terima kasih.”

“Ya sudah, sama-sama.”

Dan Hyobin pun benar-benar berderap pergi, tidak menoleh ke belakang lagi, tidak melihat Raejoon, Sungyoong, dan Heebum, tidak melihat Hyukjae yang sangat kaku, sebelum kemudian menendang meja di depannya hingga carut-marut.


==


“Ya!!”

Tangan Sungyoong sudah menyentuh ponsel Hyobin jika saja Hyobin tidak menampar tangannya. Jadi yang ia lakukan adalah menarik tangannya kembali dan mengelusnya lembut sambil menatap jengkel ke arah Hyobin yang memelototinya.

“Kubilang jangan diangkat! Kau tidak dengar ya?”

Sungyoong masih sebal sehingga dia diam menatap Hyobin jengkel

“Apa lihat-lihat?”

“Lihat-lihat? Siapa yang lihat-lihat?” Bibir Sungyoong mengerucut, namun tidak lama semua ratapannya lenyap dan digantikan tatapan menyelidik ke arah Hyobin. “Hei, Hyobin-a, kau belum selesai bertengkar dengan Hyukjae?”

“Hm? Mm?” Hyobin seperti kehilangan fokusnya, sedekapan tangan di dadanya sempat goyah namun ia dengan cepat mendapatkan kendali dirinya, ia sudah lebih tenang tapi tidak dengan matanya. “A-ani. Aku tidak mau minta maaf.”

Sungyoong menghedikkan bahunya. “Kalau seperti itu terus, bagaimana masalah kalian bisa selesai?” Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Apa setiap kali kami bertengkar, harus selalu aku yang minta maaf duluan?  Dia selalu seperti itu. Libidonya terlalu menjengkelkan.”

Kemudian Sungyoong memikirkan hubungannya sendiri dengan Jongwoon. Berlibido tinggi atau tidak, Jongwoon memang selalu menjengkelkan. Jadi bisa ia simpulkan bahwa setiap pasangan mempunyai gayanya masing-masing. Dan libidonya masing-masing.  

Aku harus mencari tahu libido Heechul Oppa dan Kyuhyun Oppa.Tapi sebelumnya, pikir Sungyoong, dia akan mencari tahu apa itu libido.


==


[Esoknya...]

“Kim Heebum.”

Heebum menegakkan badannya dan mendapati sang guru sudah berdiri di depan mejanya dengan tatapan khawatir. Heebum melihat sekeliling dan menyadari hanya dirinya yang tidak mencatat.

“Apa sakit sekali?”

“Maafkan aku, Seongsaengnim. Kepalaku sedikit pusing dan aku bingung.”

“Wajahmu pucat, aigo~ lihat lukamu.” Tangan wanita paruh baya itu meraba tulang pipi kiri Heebum yang meskipun sudah lebih baik, masih terdapat memar yang mulai menguning. “Baguslah kalau Jung Hii sudah pindah dari sini.”

Tersenyum formal, adalah satu-satunya yang bisa Heebum berikan untuk menanggapi ucapan gurunya tersebut.

“Kau pergilah ke ruang kesehatan, istirahat. Aku tidak mau kau tambah sakit.”

“Ya, terima kasih, Seongsaengnim.” Heebum membungkuk singkat kemudian bangkit dan keluar menuju ruang kesehatan diikuti tatapan dari teman-teman sekelasnya.

Heebum duduk bersandar kepala ranjang ruang kesehatan begitu sampai. Mengembuskan napas perlahan, Heebum memejamkan matanya dan mengurut sisi kepala.

Begitu sunyi. Oh—tentu saja. Namanya juga ruang kesehatan, penghuninya pasti orang yang sakit.

Kemudian jantung Heebum seperti melompat keluar dari tenggorokan manakala tirai sebelah yang menyekat antarruang terbuka dengan sekali sentakan. Menimbulkan bunyi yang walaupun kecil tetap saja mengagetkan. “Sudah kuduga. Pasti kau.”

“Oh! Astaga-oh.” Napas Heebum memburu tatkala tangannya mengelus dadanya yang naik turun. “Bisa tidak sih jangan mengagetkanku?” bentaknya.

“Oh, aku tidak bermaksud begitu,” kata Hyukjae kembali merebahkan badannya ke atas ranjang ruang sebelah. “Kalau belum sembuh benar, kenapa sudah memaksa masuk?”

“Kenapa memangnya? Tidak boleh?” sinis Heebum.

“Dan kenapa aku harus tidak memperbolehkannya?”

Kepala Heebum mulai pening. Jadi ia putuskan untuk membaringkan tubuhnya. “Kyuhyun Oppa tidak akan bekerja kalau ada aku. Jadi ya, aku berangkat.”

“Dengan sukarela menahan sakit?”

“Aku bisa menanggungnya. Kalau buat dirinya, aku bisa melakukan hal apa pun. Bahkan yang tidak masuk akal.”

“Yeah.” Hyukjae menunduk untuk melihat tangannya sendiri. Kemudian teringat pertengkarannya dengan Hyobin. “Untuk seseorang yang begitu istimewa. Mereka memang layak mendapatkannya.”

Tak pernah ada, renung Hyukjae. Seseorang yang membuatnya merasa serba salah hanya karena tidak dapat benar-benar menyentuhnya. Tak seorang pun kecuali Hyobin.

“Apa kau menyadarinya?”

Hyukjae menelengkan kepalanya melihat ke arah Heebum yang terpejam. “Menyadari apa?”

“Kau jadi lembek kalau sedang bertengkar dengan Hyobin.”

Tersenyum tipis, Hyukjae menggunakan kedua lengannya untuk dijadikan bantal. Sambil menatap langit-langit, ia begitu senang Hyobin sungguh berarti. “Heebum-a.”

“Hmm?”

“Kalau kau pernah melihat bintang berkedip dan tersenyum, maka dialah Hyobin-ku.”

Yang mereka tidak tahu, Hyobin sedang berdiri menatap dua tirai tertutup di depannya. Mendengar semuanya membuat dirinya berjuang untuk tidak menyibak tirai tersebut dan memeluk Hyukjae erat. Tapi mereka berdua perlu bicara. Dan tidak sini. Jadi dia berbalik lalu pergi.


==


Oppa... otakku sudah mau meledak. Istirahat ya? Sebentar saja. Aku kan belum istirahat sama sekali.”

Jongwoon menutup buku yang dia baca, mengalihkan pandangannya ke arah Sungyoong yang duduk di meja belajarnya dengan mata yang dibuat melas. Pria itu kemudian melirik ke arah jam dinding.

“Dua puluh menit dari tiga puluh menit waktu yang sudah berlalu, kau hanya mondar-mandir mengambil makanan. Itu yang kausebut ‘belum istirahat sama sekali’?”

Mimik wajah Sungyoong berubah cemberut. “Aku hanya sebal. Kenapa otakku tidak bisa secepat dirimu kalau soal pelajaran? Aku kan juga belajar keras.”

Jongwoon berderap lalu menepuk kepala Sungyoong lembut. “Ini yang kau katakan belajar keras?”

Oppa...” Sungyoong mendongak menatap Jongwoon dengan mata yang berkaca-kaca.

Pria itu mengembuskan napas pelan, kemudian menggiring Sungyoong untuk duduk di sofa. Tangannya meraih jemari Sungyoong dan menggenggamnya. “Kau tahu apa yang dikatakan ayahmu padaku? Dengarkan aku.”

“‘Aku tahu Sungyoong itu anakku, tapi aku akan berpikiran objektif. Sungyoong itu tak bisa apa-apa, yang dia bisa lakukan hanya mengeluh, merengek, berbelanja dan merepotkan orang. Kau tidak sedang mabuk saat memintanya menjadi kekasihmu kan?’”

Sungyoong hanya menganga tak percaya. “Benar? Ayah mengatakan itu padamu?”

Jongwoon hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Aish, ayah kenapa tega sekali padaku? Itu namanya menghalangiku mendapat pacar.”

Jongwoon melanjutkan, “’seorang ayah pasti menginginkan yang terbaik untuk putra-putrinya. Kau mungkin bisa menerima putriku, tapi apa kau tidak memikirkan ayahmu? Keluarga besarmu? Apa yang akan mereka pikirkan tentang Sungyoong? Aku tahu ini salahku. Aku terlalu memanjakannya selama ini. Tapi anakku hanya satu. Kalau tidak untuknya, untuk siapa lagi semua materi yang kudapatkan?’”

Sungyoong masih diam mendengar cerita Jongwoon, sesekali menimpali atau bahkan mendesah frustrasi.

“’Dia memang agak bodoh, tidak bisa melakukan apa pun dengan benar, tapi dia tetaplah anakku. Seburuk apa pun dia, dia tetap anakku dan aku ingin dia mendapatkan yang terbaik walaupun putriku memiliki banyak kekurangan. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan kalian nanti, tapi berhubung kalian masih bersama, aku ingin kau tahu keinginanku. Aku tidak akan memaksanya untuk mendapat nilai yang terbaik, aku juga tidak akan memaksanya untuk masuk ke perguruan tinggi yang tersohor. Aku hanya berharap dia lulus dan melanjutkan hidupnya seperti apa yang dia inginkan.’”

“Dan untukku sendiri, aku tidak memaksamu untuk mendapat nilai tertinggi. Aku juga tidak memaksamu untuk bekerja jika kita menikah nanti. Kalau kau memang tidak mau, biarkan aku. Biar aku saja yang bekerja. Kau tidak perlu memikirkannya. Kau boleh berbelanja sesukamu. Kau boleh hidup seperti apa yang kau inginkan, asal denganku. Gajiku di perusahaan ayah lebih dari cukup untuk itu.”

Sungyoong menatap Jongwoon dengan tatapan terkejut, kemudian senyum di bibirnya muncul. “Hei Bung, kau sedang melamarku ya?”

Jongwoon tersenyum sambil menghedikkan bahunya. “Aku akan melakukannya jika kau bisa lulus. Aku tidak akan mau punya istri yang pernah tidak lulus. Kau mengerti? Jadi mari kita berjuang bersama.” Kemudian menyandarkan dahinya ke pundak Sungyoong dan gadis itu memeluknya.


==



[Keesokan harinya...]

Hyobin berjingkat sambil membungkukkan sedikit badannya mengikuti Hyukjae yang berjalan jauh di depannya. Yang dilakukannya seharian ini adalah menjadi sasaeng pria itu. Hyukjae menenteng tas olahraga di bahu kanannya, sedangkan telapak tangan kirinya ia kaitkan di saku celana.

Hyobin melihat pria itu berbelok ke arah kanan. Buru-buru berlari merembeti dinding, saat sudah sampai di ujung, ia menghentikan langkahnya, celingukan ke arah mana Hyukjae pergi.

Dan saat ia sudah berdiri di depan pintu yang menenggelamkan Hyukjae-nya, dalam imajinasinya, pintu itu begitu besar, sangat besar dan sedang menertawakannya. Hyobin menggeleng, mengusir daya kreatifnya yang terkadang muncul di waktu, tempat, dan situasi yang terlewat tidak tepat.

Dengan hati yang berdebar kencang, jari telunjuknya menekan-nekan pintu itu.

Woobin-a, doakan aku.

Hyobin membuka pintu sedikit, hanya sebuah celah agar tubuhnya dapat menyelinap dan langsung menutupnya ketika sudah masuk sempurna. Saat membalik badan, dia dibuat melongo. Demi kotoran angry bird yang bercecer di garasi rumah Raejoon, selama tiga tahun  bersekolah di sini, ia baru kali ini memasuki ruangan ini. Loker-loker tinggi tempat menyimpan barang-barang tersusun rapi, ruangan ini luar biasa luas. Tapi Hyobin segera sadar bahwa ia tidak punya waktu untuk itu.

Hyobin melangkah dengan rikuh, menggunakan tasnya untuk menutupi pandangannya saat beberapa siswa tim sepak bola berganti baju. Tak sedikit dari mereka yang terang-terangan menatap aneh ke arah Hyobin sambil berbisik-bisik.

Langkah Hyobin berhenti mendadak saat tubuhnya menumbuk sesuatu, ia mencoba maju lagi tetapi sesuatu itu tidak hilang-hilang juga. Dengan dada yang berdebar, Hyobin mengintip dari sela-sela tasnya, kemudian menurunkan tasnya saat melihat dengan jelas sesuatu apa yang menyebalkan itu.

“Apa? Apa kau lihat-lihat?” semprot Hyobin.

Donghae menggeleng, namun beragam pertanyaan masih tersirat di matanya. “Ani, hanya aneh saja. Untuk apa kau ada di sini?” Donghae mengintip ke balik bahu Hyobin, lalu menunjuk ke arah pintu. “Kau tidak baca ini ruang apa?”

Hyobin sedikit gelagapan, tapi bisa diatasi. “T-tentu saja aku tahu. Kau meragukan kemampuan membacaku?”

Donghae menghedikkan bahunya santai. “Untuk apa tim choir kemari?”

 “Dengar ya, Sobat, aku berhak ada di dalam sini. Aku kan juga sekolah di sini.” Dan tidak ada yang menjelaskan padanya kenapa tepergok berada di ruang ganti tim sepak bola rasanya seperti penyelundup.

“Baik, baik. Terserahmu lah. Aku pergi.”

“Ya, tentu, pergi saja sana yang jauh. Kenapa tidak dari tadi saja,” gerutunya begitu Donghae melangkah ke pintu.

Hyobin mendapati Hyukjae sedang berbaring di bawah alat angkat beban. Gerakannya stabil dan penuh keringat.

Ia menghampiri Hyukjae, berjongkok di dekat kepala pria itu. “Maafkan aku.”

Hyukjae tetap mengangkat beban, menahan lalu menurunkannya. “Merasa lebih baik?”

“Yeah, Jae-ah, maafkan aku. Aku memang menyebalkan. Jangan marah padaku. Aku tidak yakin bisa mengatasinya sekarang.”

“Aku tidak marah padamu.” Hyukjae meletakkan beban itu di tempatnya lalu meluncur keluar dari bawahnya. “Keadaan ini sesekali menohok perasaanku.”

“Aku seharusnya tidak berkata seperti itu padamu. Melihat kau tidak menghubungiku lagi membuatku sadar kalau perkataanku waktu itu mungkin—ah tidak,” ralatnya saat Hyukjae menatap tajam ke arahnya. “pasti. Ya, pasti menyakitimu. Tapi aku sudah tidak tahan lagi. Lagipula kau juga bersalah dalam hal ini.”

Hyukjae mengambil handuk, lalu mengelap wajahnya. “Seperti?”

“Seperti— oke, seperti, kau memang berhak menatap gadis-gadis berdada besar itu, yah, semua laki-laki kan memang begitu, tapi di situ kan ada aku. Tidak bisa ya, mengorbankan kesenanganmu sebentar saja untukku, untuk menghargaiku? Aku kan kekasihmu, dan di sana banyak orang. Apa yang akan mereka pikirkan kalau aku ada di hadapanmu dan kau malah melihat gadis lain?”

Hyukjae menatap wajah Hyobin. Begitu terkendali dan muda, pikir Hyukjae. Milikku.

Tangannya terulur meraih tangan Hyobin agar duduk di sampingnya. Hyukjae beringsut agar matanya langsung berhadapan dengan mata Hyobin. Gadis itu begitu menyukai mata itu, mata yang membuatnya tenggelam di dalam warna cokelat terangnya. Tangan Hyukjae membelai bagian belakang kepalanya dengan lembut. “Cium aku.”

Hening. “A-apa? Apa kau yang bicara barusan?”

“Hyobin Sayang, cium aku.”

Lega untuk pendengarannya, tetapi terlalu terkejut untuk melakukannya. “Kenapa harus?”

“Karena aku kekasihmu.”

Hyobin tidak menjawab dan hanya menatap Hyukjae dengan mata menyipit.

“Baiklah, baiklah. Karena kau menolak menciumku, biarkan aku yang menciummu. Oke?”

Gadis itu memutar matanya, pura-pura keberatan namun langsung menyambut bibir Hyukjae yang bergerak lembut di atas bibirnya.

Lagipula ia sudah tidak tahan menghadapi tatapan yang mampu meledakkan perasaaannya hingga membuat jantungnya melompat ke tenggorokan.


==


Raejoon membuka pintu rumahnya setelah beberapa kali bel berbunyi.
           
“Nona Raejoon?”
           
“Ah ye.”
           
“Ada kiriman untuk Anda dari Tuan Seunghyun.”
           
Raejoon agak terkejut, tapi tetap menerimanya, menandatangani bukti, dan menutup pintu rumah.

Dengan cekatan tangannya membuka bungkusan tersebut dan apa yang di dalamnya membuat matanya membelalak. Tiket liburan. Ke Maladewa. Oh, Raejoon hampir berlutut saking bahagianya. Ternyata Seunghyun masih mengingatnya. Dan dengan kebaikhatiannya, pria itu memberikan tiket ini secara cuma-cuma.
           
Jadi dia akan pergi ke Maladewa, bersama Seunghyun dan—tunggu, tunggu. Apa mereka pergi berdua saja? Kalau begitu, jangan sampai Heechul tahu. Jangan sampai Heechul melihat tiket ini. Raejoon segera berlari ke dalam kamarnya, membuka laci lalu meletakkannya di tempat tersembunyi. Setelah merasa tenang, Raejoon berbalik dan memekik.
           
“Ya Tuhan. Astaga, Oppa, kau tahu aku benci sekali kalau kau mengendap-endap ke dekatku seperti itu.”
           
“Aku tahu.”
           
“Kau sudah makan? Aku lapar.”
           
Heechul membiarkan Raejoon pergi ke dapur, berdiri dan menyibukkan diri dengan bahan makanan. Menunggu sampai Raejoon mengambil sesuatu dari kulkas. “Di mana paketnya?”
           
Brengsek. “Paket apa?
           
“Paket yang baru saja dikirim kemari, Raejoon.”
           
“Aku tidak mengerti maksudmu. Aku barusan man—Hei!”
           
Heechul memutar tubuh Raejoon dengan begitu cepat hingga nyaris membuat Raejoon menggigit lidahnya sendiri. Tapi Raejoon bahkan tidak mampu menggerakkan tubuhnya melihat kemarahan di mata pria tersebut. Kemarahan menggelora dalam waktu singkat. “Jangan bohong. Jangan pernah berbohong padaku.”
           
“Tenanglah dulu. Ayah sering mendapat paket seperti itu. Bagaimana aku bisa tahu tentang paket yang kau maksud? Lepaskan aku. Aku lapar.”
           
“Aku orang yang toleran, tapi aku takkan membiarkanmu berdiri di sini dan berbohong kepadaku. Jadi kalau kau tak mau memberitahuku, biar kucari sendiri.” Heechul menghempaskan tangan Raejoon kemudian berderap ke kamar gadis itu.
           
Raejoon mengejar Heechul untuk mencegahnya, tapi Heechul telah mendapatkannya. Pria itu membuka amplop untuk menarik isi di dalamnya. Setelah itu ia membalik amplop untuk melihat nama yang tertera sebagai pengirim.
           
Dan Raejoon membenci dirinya sendiri saat pria itu menjauhinya dengan agak terguncang. “Ini yang kau sebut tidak tahu apa-apa?”
           
“Aku bisa menjelaskannya. Ak—“
           
“Kau akan menerimanya.” Kepala Heechul menunduk ke bawah dengan kedua lengan yang ia biarkan menggantung di kedua sisi tubuhnya. “Aku benar kan?”
           
“Ya tentu saja. Ta—“
           
“Kalian hanya berdua. Apa kau tidak memikirkan itu sama sekali? Kau tidak memikirkan apa saja yang bisa dia lakukan padamu hah?”
           
Perut Raejoon mulas saat mata pria itu terus memandanginya dengan dingin. “Aku tidak akan melakukan apa-apa dengannya. Aku tidak akan menghianatimu, kalau itu yang kau takutkan.”
           
“Lalu kenapa kau harus menyembunyikannya?” Mata Heechul berkilat-kilat manakala mengucapkannya. “Kalau kau memang tidak berhubungan dengannya, kenapa kau menyembunyikan ini dariku?” Heechul mengejutkan mereka berdua dengan melempar gelas setengah kosong di meja Raejoon ke seberang ruang.
           
Raejoon pernah melihat kemarahan Heechul meletup dan menyambar. Biasanya ia lebih suka begitu daripada sikap Heechul sedingin es. Tapi saat ini keberaniannya ikut hancur bersama gelas tadi.
           
Ketakutan mencengkeram Raejoon. “Tidak terjadi apa-apa di antara kami. Kau menghinaku kalau sampai berpikir terjadi sesuatu.”
           
“Aku pergi.” Raejoon benci setiap kali Heechul menggunakan nada kaku dan formal seperti itu, dan ketika Heechul berbalik, Raejoon pun menyerah.
           
Oppa! Sialan, Heechul Oppa!” Raejoon harus mengajar pria itu, meraih lengannya. “Maafkan aku. Dengar, Oppa, maafkan aku.”
           
“Aku punya pekerjaan.”
           
“Jangan singkirkan aku. Aku tidak tahan jika kau melakukannya.” Raejoon menyisirkan jemari di rambutnya. Menekankan pangkal telapak tangan kuat-kuat di keningnya yang mulai berdenyut-denyut. “Oppa, kumohon.”

Raejoon mengejar Heechul hingga gerbang depan. Heechul pergi ke arah mobilnya dan mengendarainya hingga terdengar suara decitan.

Raejoon sendirian. Ia terlihat seperti baru saja dipukuli di ulu hatinya. Berjongkok memegangi jari kakinya sendiri, ia pun lalu menangis keras.


==


[Esoknya...]

Heebum memencet bel rumah Raejoon dengan Kyuhyun yang berdiri menjulang di sampingnya.

“Ya! Berhentilah. Kalau paman dan bibimu sampai tahu, aku untuk menghukummu.” protes Heebum saat Kyuhyun seringkali mencuri-curi kesempatan menciumi wajahnya.

“Pasti akan kuingatkan, Sayang.”

Terdengar dentingan besi yang saling bertemu, kemudian pintu di hadapan mereka terbuka dengan sosok Raejoon di dalamnya. “Aku tidak mendapat kesialan maha besar yang membuatku harus dikunjungi gadis arogan dan bedebah kesehatan.”

“Aku yang gadis arogan,” kata Heebum sambil melirik Kyuhyun. “Jadi yang bedebah kesehatan pasti kau.”

“Dia cuma kesal tidak bisa mendapatkanku.” Kyuhyun menyungginggkan cengirannya. “Bukan begitu, Raejoon-a?”

“Terserah kaulah.”

Mereka melangkah masuk dan mendapati Hyobin dan Sungyoong sedang bersantai di ruang keluarga.

“Ya! Kau ini curang sekali sih. Kau tidak dengar peraturan kita yang kemarin? Tidak boleh membawa pacar.”

“Dia yang memaksa untuk ikut.” Heebum menghedikkan kepalanya ke arah Kyuhyun. Yang ditunjuk hanya menunjukkan wajah polos.

Aish. Lihat wajahnya itu. Untung tampan.” Kemudian Raejoon menghempaskan badannya di atas karpet bergabung dengan Sungyoong dan Hyobin, sementara Kyuhyun dan Heebum duduk di sofa tak jauh dari situ.

Sungyoong duduk menghadap Raejoon. “Jadi dari ceritamu tadi, seorang kurir mengantarkan kiriman dari Seunghyun yang berisi tiket ke Maladewa. Kemudian kau menyembunyikannya cepat-cepat. Tapi Heechul Oppa melihatnya dan menanyakannya padamu. Lalu kau bertingkah seperti ‘Hah, kiriman apa?’”

“Aku tidak bilang, ‘hah’. Aku tidak pernah mengatakannya. Kurasa, mungkin , aku bilang ‘Huh’. Itu kan beda sekali.”

“Terserahmu lah. Kau... apa ya kata yang artinya bohong, tapi lebih halus dari itu?” Hyobin memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian. “Dusta. Kau berdusta karena kau tidak mau mengganggu pekerjaannya dengan menemanimu ke Maladewa. Dan dia marah karena menurutnya Seunghyun akan berhasil mengajakmu berciuman panas di bawah terik matahari sementara dia di Seoul sedang mengadakan rapat yang super membosankan.”

Walaupun Raejoon lebih menyukai kata ‘bohong’ ketimbang ‘dusta’, tapi ia tak akan membahasnya. “Yeah. Kurang-lebih begitu.”

Hyobin melirik dengan pandangan tajam. “Kau mau mendengar pendapatku atau pendapatmu sendiri?”

“Aku akan tutup mulut,” gerutu Raejoon.

“Raejoon-ie.” Hyobin mencondongkan tubuh. “Kau tidak mempertimbangkan faktor lelakinya. Mereka punya penis. Jangan pernah melupakan penis saat kau berhubungan dengan pria.”

“Apa maksudmu?” Raejoon merosot menyandarkan punggungnya ke kaki sofa. “Aku tahu Heechul Oppa punya penis.”

“Penis itu berkaitan dengan ego. Itu faktanya.” Sembari mengangkat bahunya, Hyobin memakan keripik kentang. “Itu misteri bagi kaum wanita.”

“Kaum pria berpikir menggunakan penisnya,” timpal Sungyoong. “Ego mereka tinggi. Itulah yang membuat mereka seringkali menyebalkan.”

Kemudian mereka menatap iba ke arah Heebum dan Kyuhyun yang sedang sibuk. Beberapa detik. Lalu segera berpaling.

“Kalau pria menyebalkan, kenapa banyak wanita yang memilikinya?”

“Karena wanita bekerja pada tingkat emosional.” Sungyoong meneguk habis yogurt-nya. “Termasuk kau.”

“Mereka akan selalu menjadi misteri.”

“Yeah. Sudah tentu. Seperti cinta. Cinta datang, cinta yang tulus.”

“Walaupun beberapa orang berbohong soal cinta demi uang.”

“Yeah. Hyukjae menjunjung tinggi kalau uang tak hanya bisa bicara, tapi juga menyanyi.”

Kemudian Raejoon memikirkan obrolannya dengan Heechul. Uangmu, juga uangku. Uangku, tetap uangku.

Tanpa cinta, kenang Sungyoong dengan ucapan Jongwoon. Kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup.

“Sudahlah.” Raejoon bangkit dari posisinya. “Kalian mau es krim?”

“Ini bakal membuatku muntah. Rasa apa?”

“Biar kulihat dulu.” Raejoon berjalan, kemudian berhenti di sofa, di hadapan Kyuhyun dan Heebum. “Kalau kau sampai berbuat mesum di rumahku, Oppa, kau akan berakhir dengan seseorang yang menendang bokongmu.”

“Ya, seseorang akan menendang bokongnya.” Heebum menyetujui.

Kyuhyun menatap ke dalam mata Heebum sambil menahan geli. “Baiklah, tapi hanya jika kau yang melakukannya, Sayang.” Suara Kyuhyun sangat-oh- sangat hangat. “Aku kan pemalu.”


==


[Hari esok...]

Di kantornya di tengah kota, Heechul duduk bersandar di kursinya dan memandang keluar. Pemandangan Seoul dari ruangannya yang berada di lantai 47.

Ia memutar kursinya saat pintu ruangannya di ketuk kemudian menyembul sesosok wajah tampan dari celah pintu. “Apa aku mengganggu?”

“Masuk saja.”

Kyuhyun melangkah masuk lalu menghempaskan tubuhnya di kursi di hadapan Heechul, mendapati penampilan pria itu yang agak kacau. “Kau agak tidak fokus hari ini, bukankah begitu, Hyung? Kalah tender besar?”

“Tidak. Aku sedang memikirkan hal lain.” Heechul meraih cangkir kopi, mendapatinya kosong, dan harus berjuang menahan keinginannya untuk melemparnya ke dinding.

“Sini, biar kuisikan.” Kyuhyun merebutnya dari tangan Heechul. “Aku baru saja akan meminta kopi.”

“Apa rumah sakitmu begitu sibuk sampai-sampai tidak ada yang menyadari kopi wakil direktur mereka habis?”

“Aku dan Heebum berencana membelinya sepulang dari sini.” Karena Heechul hanya diam, Kyuhyun melirik ke arahnya, kemudian teringat ekspresi suram Raejoon saat datang bersama Heebum kemarin. Ada pemahaman, yang muncul di dalam dirinya. “Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Kau tahu itu.”

“Siapa yang dapat menjamin tidak akan terjadi hal buruk padanya?” Heechul mengambil pena lalu mengetuk-ngetukkannya ke meja.

Walaupun tidak tahu apa masalah sebenarnya, Kyuhyun berkata, “Aku tidak akan berdiri di tengah-tengah pertengkaran kekasih. Aku cuma bilang bahwa kebanyakan wanita menyukai bunga.”

“Bunga takkan memberi pengaruh padanya.”

“Takkan pernah,” tandas Kyuhyun.

“Sekarung berlian juga takkan berguna, kecuali kau menghantamkan karung itu ke batu yang disebutnya kepala. Demi Tuhan, sepupumu itu membuatku frustrasi.”

Kyuhyun diam selama tiga detik. “Kau pria cerdas. Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan.”

“Dan apa itu?”

Kyuhyun kembali duduk di hadapan Heechul setelah meletakkan cangkir kopinya. “Memohon-mohon,” katanya, lalu menggeser kursinya menjauhi bahaya.


==


[Esoknya...]

Keempat pasang mata itu menatap waspada ke sekelilingnya. Di sini begitu bising, panas, dan berbau makanan. Jadi mereka memutuskan untuk kembali normal dengan menyandarkan punggung ke kepala kursi kantin.

“Baiklah. Akan makan apa kita siang ini?” tanya Hyobin begitu antusias dan menepukkan tangannya.

Bulgogi. Kimbab.”

Jajangmyun.”

Hyobin berdiri dengan mata berbinar. “Biar aku yang pesan. Ah, Joonie, hanya kau yang belum pesan.” Hyobin memajukan wajahnya hingga sangat dekat dengan Raejoon.

“Sepatu bakar.”

Entah karena mood-nya yang sedang baik hari ini atau karena hari ini mood-nya sangat baik, atau dikarenakan sangat baik mood-nya hari ini, jadi Hyobin menjawab, “Aku tidak tahu apakah ada yang seperti itu, tapi akan kucarikan.”

Mereka hanya saling diam sampai Hyobin berderap dengan begitu bahagia ke meja mereka. “Karena harga sepatu bakar di Seoul sedang sangat mahal –aku juga tidak mengerti kenapa bisa sampai seperti itu—dan kantin kita tidak menerima kartu kredit, jadi aku pilihkan pizza untukmu, yang aku bayar secara cash.”

Tapi bahkan melirik pun Raejoon tidak melakukannya.
“Kalau kau tidak mau, buatku saja.” Tangan Heebum terulur mengambil pizza itu. Tangannya sedang akan memasukkannya ke dalam mulut saat pizza yang membuat air liurnya berkumpul itu melayang sendiri, dengan mata laparnya, Heebum terus memperhatikan, dan sangat kecewa saat mantan pizza miliknya itu jatuh kembali ke piring Raejoon.
           
“Ini milikku. Enak saja kau.” Raejoon memelototinya. Kemudian kembali fokus ke tablet tak mempedulikan Heebum yang bersungut-sungut.
           
Sambil memakan camilannya, jemari Raejoon yang lain membuka situs berita Korea, dan darahnya mendidih begitu membaca sebuah headline. Dengan marah, Raejoon bangkit hingga menggulingkan bangku yang di dudukinya.

“Ya! Kau mau kemana? Rae-ya!”


==


“Kau berkencan dengan Ahn Soobi?”

Heechul, yang menoleh sehabis melihat pemandangan kota, kaget melihat kedatangan Raejoon. “Sudah kubilang, kami berteman.” Pria itu meraih gelasnya, lalu menuang brendi ke dalamnya. “Pernah sekali waktu berpacaran.”

“Dan kapan itu?”

“Sudah begitu lama,” gumam Heechul. “Kau datang hanya untuk itu kan? Keluarlah, pembicaraan kita sudah selesai.” Ada ruang kosong, tepat di bawah jantung Raejoon yang babak belur. Heechul menghindarinya, dan itu lebih dari sekadar menyakitkan.

Raejoon kaget kakinya tidak tersandung sewaktu berjalan menuju pintu. Ia berupaya menarik napas ketika sampai di pintu. Di meja, Heechul mengutuki dirinya karena bertindak bodoh dan memencet tombol otomatis untuk mengunci pintu. Terkutuklah mereka berdua, tetapi Raejoon tidak boleh pergi begitu saja.

Heechul baru saja akan membuat mulut ketika Raejoon berbalik. Sekarang wajahnya menampakkan kemarahan. “Oke. Brengsek, baiklah, kau menang. Aku memang sengsara. Itu yang kau inginkan, bukan? Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Seolah ada yang rusak dalam tubuhku. Kau senang sekarang?”

Heechul merasakan gelombang kelegaan pertama meredakan ketegangan di dadanya. “Haruskah aku merasa senang?”

“Kau tidak tahu apa-apa,” gerutu Raejoon dan berbalik badan. “Situasi ini membuatku seperti orang tolol. Kau berpikir aku akan melakukan sesuatu di balik punggungmu dengan Seunghyun. Kau berpikir aku akan menghianatimu, dan aku merasa terhina karena itu. Kau tidak memercayaiku.” Suara Raejoon pecah, dan ia menutup wajahnya saat isakan mengambil alih. “Aku tidak tahan lagi.”

“Jangan. Demi Tuhan. Jangan menangis.”

“Aku lelah. Aku cuma lelah, itu saja.”

Heechul berdiri, terguncang dan ketakutan menghadapi badai tangis Raejoon. “Lempar sesuatu. Pukullah aku.”

Raejoon menolak saat Heechul mengulurkan tangan ke arahnya.“Tidak, menjauhlah. Aku ingin sendiri saat melakukan hal konyol seperti ini.”

Tanpa memedulikan protesnya, Heechul merengkuh Raejoon. Gadis itu menarik diri beberapa kali namun Heechul merengkuhnya kembali dengan tegas. Kemudian dalam tindakan putus asa, Raejoon merangkul Heechul, mencengkeram tubuh pria itu. “Jangan pergi kemana-mana. Jangan pergi kemana-mana.”

“Aku tidak kemana-mana.” Dengan lembut, Heechul membelai punggung Raejoon.

Adakalanya seorang pria terkejut dan terguncang dengan tangisan seorang wanita yang jarang menangis.

“Kau menyuruhku pergi.”

“Tapi aku mengunci pintunya.” Heechul mencium satu pipi Raejoon yang basah, kemudian pipi lainnya. “Kalau kau menunggu beberapa jam lagi, aku yang akan datang padamu. Aku duduk di sini memikirkan keinginan itu. Kemudian kau menerobos masuk. Aku nyaris saja meloncat.”

“Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai rasanya dijauhi olehmu. Tapi itulah kenyataannya.”

“Begitu, ya.”

Raejoon beringsut menjauhkan diri hanya supaya tangannya dapat merogoh ke dalam tas  mengambil sesuatu. “Aku memang sangat ingin ke Maladewa. Ditambah lagi waktu itu ada seseorang yang akan membiayaiku secara cuma-cuma. Tak bisa kupungkiri kalau itu membuatku sangat gembira.” Tangannya menarik keluar tiket yang diberikan Seunghyun melalui kurir waktu itu. “Tapi kau tidak. Jadi...”

Ia merobek tiket itu menjadi serpihan kecil tak berarti, lalu melempar potongannya ke udara.

Heechul hanya menatap Raejoon, dan dalam keheningan, satu-satunya yang terdengar adalah napasnya yang tersekat. “Kau... kau merelakannya.”

Raejoon menunduk menatap sobekan-sobekan tersebut dan tahu suatu saat bakal menyesalinya. Tapi ia akan menanggung dan menghadapi hal itu. “Kalau aku menerima ajakan pergi bersama Seunghyun, walaupun bisa kupastikan tidak akan ada hal berarti buatku, tapi itu demi diriku sendiri, bukan demi dirimu. Aku mungkin bahagia, tapi kau tidak. Jadi ya, aku merelakannya.”

Raejoon tersenyum lebar, simpul yang mengikat dadanya hingga rasanya sesak akhirnya terlepas. Jadi sebagai ekspresi kegembiraan, ia melangkah ke atas sobekan-sobekan kertas jalannya menuju Maladewa, kemudian menginjak-injaknya tanpa rasa sesal sedikit pun.

Heechul yang melihatnya bisa tertawa lepas, berdiri menjulang di samping Raejoon, menggenggam tangannya lalu melompat bersama-sama. Jumping,jumping.


==


Kyuhyun dengan hati-hati dan menahan napas mengoleskan bethadine kemudian menutup luka dengan kassa kering dan memplesternya. Pemuda itu menjauhkan tubuhnya untuk melihat ekspresi Heebum.
           
“Kenapa melihatku begitu?”
           
“Kau tidak tahu aturannya? Perhatikan dan catat reaksi pasien setelah tindakan.” Kemudian Kyuhyun merapikan peralatan yang ia gunakan untuk mengangkat jahitan Heebum.
           
“Kalau begitu sudah berapa gadis yang kau pandangi seperti tadi?”
           
Kyuhyun mencuci tangannya di wastafel lalu menengadahkan tangannya di bawah alat pengering. “Kau cemburu ya?”
           
“Apa?” Heebum berpura-pura tertawa. “Seperti tak ada kerjaan saja.”
           
Menghampiri Heebum yang duduk di ranjang, jemari panjang Kyuhyun yang halus dan hangat menangkup wajah gadis itu. Cara pria itu memandangnya, Heebum merasa sarafnya sudah meleleh. “Baguslah kalau begitu. Kau tidak perlu mencemburui apa pun. Karena asal kau tahu, Heebum-a, aku sudah menemukanmu. Seseorang yang berhenti membuatku mencari.”
           
Mengalungkan lengannya ke pinggang Kyuhyun, Heebum menyandarkan kepalanya ke dada bidang pria itu. Kemeja Kyuhyun beraroma campuran antara  pengharum AC dan parfum pria itu sendiri yang lembut. “Ayo pulang.”
           
“Ayo.” Kyuhyun membantunya turun dari ranjang. Heebum yang berjalan memimpin, sementara Kyuhyun mengikuti dari belakang, menyeringai menggoda ke arah Heebum.


==


            [Esoknya...]

Heechul menghentikan mobilnya begitu sampai di depan sekolah Raejoon. Menumpukan kedua tangannya di kemudi dan menyandarkan kepalanya ke lengan, Heechul menoleh ke samping memperhatikan Raejoon dengan tenang.
           
Raejoon tersenyum lembut sambil membelai rambut pria itu. “Kenapa? Ada yang ingin kaukatakan?”
           
Heechul menggeleng kecil. “Tidak ada.”
           
“Aaa...” Kepala Raejoon membuat gerakan ke atas. “Aku tahu. Kau sedang menggodaku, ya?” Raejoon tersenyum mengejek ke arah Heechul.
           
Menghedikkan bahunya, Heechul kembali ke posisi semula, bersandar di kursi pengemudi. “Bagaimana kalau kau duduk di pangkuanku?”
           
“Oh—ya ampun, lihat pria tua ini.” Raejoon terkekeh. “Ya,  Ahjussi,  bagaimana kau bisa genit sekali?”

“Oh, kasihanilah pria tua ini Nona cantik. Kau akan menjadi gadis sangat bahagia jika bisa menolongku.” Heechul pura-pura batuk-batuk. “Duduklah di pangkuanku. Aku kesepian.”

Raejoon memutar bola matanya. Pura-pura keberatan namun menjulurkan kaki hingga akhirnya duduk di atas pangkuan Heechul. Jari-jemari mereka saling bertaut. Menyandarkan punggungnya ke dada Heechul, Raejoon bisa merasakan embusan napas pria itu.

Heechul berdehem. “Kita mungkin akan jatuh lagi. Dan mungkin akan berlutut lagi. Namun satu hal yang pasti—“

“Lanjutkan.”

Heechul menggeser kepalanya hanya supaya bisa melihat wajah Raejoon. “Hei, kenapa kau menyela ucapanku?”

“Ucapanmu kau bilang? Ya! Semua warga Korea juga tahu itu dialog sebuah drama. Kau ini benar-benar tidak bisa merayu.”

“Apa katamu?”

“Aku bilang kau tidak bisa mer—“

Heechul membungkam mulut Raejoon dengan bibirnya. Mencengkeram pinggul gadis itu untuk memantapkan posisinya. Tangan Raejoon menggapai tengkuk Heechul agar lebih leluasa. Lima detik setelahnya Raejoon mendesah frustrasi karena posisinya yang menyulitkan kemudian bangkit berdiri.

Matanya terpana melihat rambut acak-acakan Heechul dengan muka dan bibir yang memerah. Napas pria itu belum stabil dan ia memandang ke arah luar. Merentangkan kakinya, Raejoon duduk di pangkuan Heechul namun dengan wajah mereka yang saling berhadapan. Bibirnya tergagap-gagap mencari keberadaan bibir Heechul dengan tidak sabar. Bunyi decakan kadang-kadang membuatnya terkekeh dan malu.

Saat mengakhirinya, dengan alis yang masih saling menyatu, mereka saling membalas senyum. “Aku harus masuk.” Raejoon mencium pipi Heechul lalu melangkah kembali ke bangku penumpang untuk mengambil tasnya. “Hati-hati ya?”

Raejoon keluar dari mobil Heechul, lalu berbalik dan melihat Heebum yang sedang berjalan ke arahnya. Mereka mulai melangkah, lalu Raejoon menoleh ke belakang. Heechul masih mengawasinya, seulas senyum samar di bibir menggiurkan itu, dan kilatan samar di mata kecoklatannya.

Heebum mengikuti arah pandang Raejoon, dan menggodanya. “Ya ampun, dia membuatmu menitikkan air liur.”

“Bukan apa-apa kok.” Raejoon berderap dengan malu. “Bukan apa-apa.”

“Raejoon-a, kau manis sekali.”

“Yah, aku memang pantas jadi pengganti gula.”
           
“Kalian sudah berdamai.”


==


Sesuatu yang dingin menempel di pipi Hyukjae begitu dia selesai merapikan tali skipping-nya. Pria itu mendongak dan mendapati Hyobin mengulurkan minuman isotonik ke arahnya.
           
“Terima kasih.” Membuka tutupnya, Hyukjae langsung meminumnya.
           
Melihat keringat yang mengaliri wajah Hyukjae, Hyobin mengambil alih handuk yang berada di bahu pria itu, kemudian mengelap keringatnya dengan hati-hati.
           
“Kenapa kau kemari?”
           
“Aku cuma ingin menyenangkanmu. Jadi karena aku sedang berbaik hati melebihi santaclause, aku akan mengabulkan satu permintaanmu.” Hyobin mengakhirinya dengan suara tawa hohoho ala santaclause.
           
“Benar?”
           
Hyobin mengangguk mantap. “Aku tidak bohong. Asal kau tidak minta yang aneh-aneh saja.” Pandangan Hyobin mengitari ruangan ini. “Kenapa sepi sekali? Apa anggota klub sudah pulang semua?”
           
Hyukjae menghedikkan dagu ke arah jam dinding. “Latihan memang berakhir 20 menit yang lalu.”
           
“Apa?” pekik Hyobin terkejut. “Lalu kenapa kau masih di sini?”
           
“Kenapa memangnya? Tidak boleh?”
           
Aish, aku kan jadi tidak bisa melihat mereka ganti baju,” aku Hyobin dengan malu-malu.
           
“Hei, apa-apaan itu tadi?” Hyukjae menonyor lembut dahi Hyobin. “Mau membuatku cemburu?”
           
“Tidak. Aku kan hanya suka padamu.”
           
“Tentu saja. Karena kalau kau sampai suka pada pria lain, mereka tidak akan keluar dari ruangan ini dengan selamat.”
           
Walaupun diucapkan dengan nada santai, tapi Hyobin tahu itu sesuatu yang serius. Dan berhasil membuatnya menatap kagum pria yang sedang mengikat tali sepatunya itu. Kemudian Hyobin merogoh saku mencari ponselnya yang bergetar.
           
“Sepertinya aku harus pulang sekarang.” Hyobin berdiri sambil merapikan rok-nya yang sedikit terlipat. Saat akan berbalik, Hyukjae menahannya.

“Permisi, tapi sepertinya aku ingat seseorang yang berjanji akan menjadi santaclause-ku.”

“Besok saja ya? aku sedang terburu-buru. Tomingse menghamili kucing tetanggaku.”

“Kalau kau pulang sekarang, aku akan menghamili tetanggamu agar kau memperhatikanku.”

“Ya!” Hyobin memukul kepala Hyukjae dengan keras. “Itu berbeda, bodoh! Kau ini kenapa menyebalkan sekali sih?”

Hyukjae terkekeh sambil mengusap kepalanya yang pening. “Aku hanya bercanda, Sayang. Kau takut sekali kehilanganku ya?”

Hyobin hanya diam dengan bibir cemberut. Hyukjae menariknya untuk kembali duduk, lalu berjongkok di hadapan Hyobin. “Maafkan aku, ya?”

Hyobin sedikit-banyak luluh pada suara Hyukjae yang begitu lembut. “Janji jangan ulangi lagi?”

Hyukjae mengangguk manakala menautkan kelingkingnya di kelingking Hyobin. “Jadi, Santaclause, bisakah kau memberiku gadis bernama Lee Hyobin untukku?”

Senyum hangat Hyobin mencapai matanya. Laki-laki ini, menyebalkan sekali kan?

“Ah, permintaan tadi tidak jadi saja—diam dulu. Aku akan memintanya untuk natal tahun depan. Untuk hari ini, aku ingin merasakan ciuman santaclause yang menurut kabar begitu memabukkan,” kata Hyukjae saat Hyobin akan menyela.

Setelah berpikir sebentar, Hyobin menyetujuinya. “Oke, tapi kalau kau tepergok memasang tampang puas, aku akan menendang bokongmu.”

“Sayang, itu sih sudah pasti.”


==


Oppa. Sedang apa?” Sungyoong duduk di hadapan Jongwoon.

            Pria itu sedang membaca buku di meja. “Hai.”

            “Kau membaca apa?” Sungyoong memiringkan kepalanya hanya supaya bisa melihat halaman depan buku yang dibawa Jongwoon. “Kau suka William Shakespeare?”

            Jongwoon mengangguk. “Lumayan.”

            Meraih sebuah buku, Sungyoong mulai membukanya. “Oppa?”

            “Hmm?”

            “Sebelum denganku, berapa kekasihmu?”

            Jongwoon berhenti dan memandang Sungyoong yang sedang membaca. “Mungkin 5. Atau 6? Tidak tahu. Sudah lupa.”

            Mendongakkan kepala dari buku, Sungyoong memiringkan kepalanya membalas tatapan Jongwoon. “Sungguh? Aku kira menembus 10.”

            Pemuda itu menggeleng. “Aku ini kan pemalu. Menyukai diam-diam, begitu berani mengatakannya ternyata dia sudah memiliki pasangan.”

            Membelalak kanget, Sungyoong memajukan kepalanya. “Sungguh? Ya ampun, Oppa. Kau ini memalukan sekali.”

            “Aku tidak memalukan. Aku ini tampan.”

            Sungyoong hanya menatap Jongwoon yang masih terbahak menertawakan ucapannya sendiri dengan ekspresi seperti  =..=

            Masih berusaha menghentikan tawanya, Jongwoon menatap Sungyoong dengan dalam dan lembut. “Masa lalumu milikmu, masa laluku milikku. Tapi masa depan adalah milik kita.”

            Sungyoong tersenyum bahagia. Jongwoon hanya memandangnya dan tersenyum dengan senyum yang sangat memesona, melengkung sempurna membingkai giginya. Setiap kali melihatnya, Sungyoong bagaikan kesetrum.

            Lalu bayangan indah itu dirusak alarm ponselnya. “Sepertinya aku harus pergi.” Sungyoong beranjak dari tempatnya. “Sampai bertemu lagi, Oppa.”

            Baru dua langkah, Jongwoon menangkap sikunya. “Kau sudah tahu peraturannya, Sayang. Ciuman. Di bibir. Dan kau bisa pergi. Bagaimana?”
           
Sungyoong menatap jengah ke arah Jongwoon, tapi tetap mencium bibir pria itu dengan sayang.

Pada saat-saat seperti ini, batin Hyobin. Aku merasa sedang berada di tengah-tengah film India.


==


[Few months later]

PERINGKAT UJIAN

1.      Yoon Chanyoung
2.      Kim Heebum
3.      ......
4.      ......
8. Choi Raejoon
13.Lee Hyobin
27. Kang Sungyoong


==


[Suatu hari...]


Tidur seorang pria begitu gelisah. Keringat mengucur dari wajahnya yang tampan. “Tidak. Jangan.” Mengigau, pria itu menggapai udara kosong di atasnya.

            “Kaulihat kan?” bisik Raejoon. “Dia benar-benar patah hati.”

            Menatap iba, saat ini Heebum, Hyobin, Raejoon, dan Sungyoong sedang berdiri di ruang olahraga mengamati Donghae yang tertidur dan seringkali menyebut nama Hyukjae di igauan-nya.

            “Ya!” Sungyoong melirik tajam ke arah Hyobin. “Lihat perbuatanmu. Kau menyakiti hatinya begitu dalam, Hyo.” Lalu menatap Donghae dengan mata berkaca-kaca.

            “Enak saja,” protes Hyobin. “Memangnya salahku kalau Hyukjae menyukaiku? Dia kan normal.”

            Tak mempedulikan Hyobin, Sungyoong mengepalkan tangannya ke udara memberi semangat ke arah Donghae. “Donghae-ya, kau harus berjuang, oke?” bisiknya.

            “Hatinya pasti berlubang.” Raejoon menggeleng iba menatap Donghae.

            Heebum mengangguk setuju. “Lubang yang lebih banyak dari keju Swiss.”

            Hyobin seperti tenggelam di lembah kebingungan dan merangkak di alam orang-orang tersesat. “Ya! Kalian ini kenapa sih?”

Melangkah keluar, ketiga temannya hanya menghedikkan bahunya tak peduli.

“Kalian akan ke mana hari ini?”

“Aku berhasil memaksa Heechul Oppa untuk pergi piknik. Lalu kami akan melihat supermoon dengan teleskopku.”

Merasa tertarik, Sungyoong melangkah memimpin mereka. “Wah, supermoon? Asyik. Aku ini penggemar berat sailormoon. Apa sailormoon dan supermoon berteman? Atau mereka adalah musuh? Kenapa aku bisa ketinggalan berita kalau seri terbaru sailormoon sudah ada ya?”

Lutut Raejoon, Hyobin, dan Heebum goyah, mereka menatap horor ke arah punggung Sungyoong. Membiarkan gadis itu beberapa langkah berjalan di depan mereka. Menghela napas dan menggeleng prihatin, Raejoon memutuskan pergi menjauh ke kanan, Hyobin pergi ke arah kiri, dan Heebum cepat-cepat memutar balik arah jalannya.

Sungyoong masih bercerita panjang-lebar, lalu berbalik dan melihat tiga punggung lainnya sudah menjauh.

“Ya! Kenapa kalian pergi?”


==


Karena kelak yang aku cari adalah orang yang berhenti membuatku mencari. -sedimensenja-

Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup. –B.J. Habibie-

Kita mungkin akan jatuh lagi. Dan mungkin akan berlutut lagi. Namun satu hal yang pasti, lanjutkan. –Kim Tan ;3 & Cha Eunsang-

Cho Kyuhyun, you’re the most valuable God’s creature in this world. Thanks for becoming what you are today. I love you yes yes sure. –Alfi-


=END=

 


3 komentar:

  1. "Membaca ini- rasanya seperti menonton drama dalam imajinasiku." -taranajmia-

    Berasa kayak stephenie meyer yang komen di novel mortal instrumentsnya cassandra clare, hahahahaha

    Kamu tau? Aku suka banget yang scene di mobil! Omooo geli~
    Panjang banget, dan enggak bosenin gegara ada banyak kata "bokong" di tulisanmu ini, upik upik.
    Pas banget kamu posting ini sekarang, lagi anget angetnya kim tan nih haha
    Aaakkk waktu ada kata "kim woo bin- atau young do-" langsung senyum senyum aku haha enggak tahannn.

    Keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. xD nggaya banget sih tang, emang situ stephenie meyer.
      yang di mobil tu dari otakku sendiri lo.... xixixi aku tau aku ini jenius.
      di novel J.D.ROBB banyak bokong sih, sedikit banyak terinspirasi. keren lo novelnya.. beli makanya :^)

      aduuuuh, si Tan-a emang huuuwot! hot! Kyuhyun wanna be lah.

      terimakasih ya sudah meluangkan waktu buat baca dan comment. Aku kan pemalu

      Hapus
  2. Ini suasananya the heirs banget. >,<
    kenapa kau jadiin kim tan kakakmu, itu tidak adil upik. *lupakan*
    over all aku suka, walaupun itu kata "bokong" selalu hinggap (?) tapi tak apalah, aku sukaaaaa....

    bikin lagi ya upik, tak tunggu cems ^^
    Fighting!!

    BalasHapus