Tampan. Bukankah dia memang begitu? Dia
tampan dengan segala yang dia punya. Entah memang benar atau mataku saja yang
tak dapat memandang ketampanan pria lain, aku bahkan tak tahu.
Kami saling mengenal 3
tahun yang lalu. “Apa kau masih mengingatnya,
Oppa?”
Ah, dia pasti sudah lupa.
Tidak masalah, karena setiap menit yang tercipta masih terekam jelas di memori
otakku.
Akan kujabarkan apa
yang kurasakan hingga detik ini. Sesuatu yang sulit untuk kuungkapkan secara
langsung padanya mengingat aku tidak gamblang dalam hal membicarakan sesuatu yang
kuanggap sensitif.
Aku sangat menyukai
saat-saat di mana dia menceritakan apa yang dia alami.
“Dan saat itu terjadi,
apa kau tahu, Oppa?”
Bahwa aku selalu menjadi
yang terdepan untuk mendengarmu. Bahwa aku akan selalu menjadi seseorang yang
menanti dan tak peduli jika dunia mulai bosan lalu berbalik menjauhimu.
Waktu memang tak
mungkin berhenti. Dan selama itu pula aku meninjau kembali apa yang terjadi
pada diriku. Apa yang terjadi hingga membuat perutku terasa bergejolak setiap kali
melihat senyum yang terlukis di wajah sempurnanya. Aku terus meninjaunya hingga
aku sampai pada titik yang menyentakku—
-aku mencintainya. Dan
itu hanya awal.
Semakin hari semakin
membuncah. Sejalan dengan itu aku menyadari sebuah kebenaran. Kebenaran bahwa dia
begitu sulit untuk menatap ke arahku. Berkebalikan denganku yang terpaku hanya
pada sosoknya.
Dia terlalu sibuk
menceritakan kisahnya. Tak pernah membuka telinga dan mata untuk sekadar
mencoba mendengarku. Seharusnya aku tidak mencintainya jika hanya akan tersakiti seperti ini.
Aku tidak akan memaksakan
diri jika tahu semua hanya akan berakhir pada kesakitan di hatiku. Seharusnya
aku dapat mencegahnya dari awal, sebelum dia terlalu memberi pengaruh padaku
separah saat ini.
Ini. Hanya aku yang
merasakan. Aku satu-satunya pihak yang mengulurkan tangan tanpa dia yang sudi
untuk menerima uluranku.
Tidak apa-apa. Aku akan
diam di tempat. Tidak mengejarnya dan tidak berpaling darinya karena sudah
jelas, aku tak mampu. Hanya berdiri dengan kekuatanku sendiri dan diam-diam
mengawasinya. Biarkan semua ini mengalir seperti air. Biar dia bahagia dengan
hidupnya dan aku bahagia dengan melihat kebahagiaannya.
“Kau tahu, Oppa? Ini lebih menyakitkan dari yang
kukira sebelumnya. Hahaha.”
Ini hanya salah satu akibat
yang harus kutanggung karena mencintai. Aku yang memutuskan untuk terjun ke
cinta yang bertepuk sebelah tangan ini. Ini bukan akhir dari kisahku karena ini
memang belum berakhir.
“Aku benarkan, Oppa?”
Dan akan kulihat apa
yang akan terjadi. Aku... menyayanginya. Akan selalu begitu.
“Aku. Penggemar nomor
satumu.“
==
“Jika
harapanmu hancur berkeping-keping,
aku
akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu.
Matahari
akan menyinari matamu
dan
aku akan berdoa pada langit
agar
salju berderai di Sahara”
–Love and Friendship. Pringadi Abdi
Surya-
=END=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar