2012/03/12

Untold


My Untold Words



Tampan. Bukankah dia memang begitu? Dia tampan dengan segala yang dia punya. Entah memang benar atau mataku saja yang tak dapat memandang ketampanan pria lain, aku bahkan tak tahu.

Kami saling mengenal 3 tahun yang lalu.  “Apa kau masih mengingatnya, Oppa?”

Ah, dia pasti sudah lupa. Tidak masalah, karena setiap menit yang tercipta masih terekam jelas di memori otakku.

Akan kujabarkan apa yang kurasakan hingga detik ini. Sesuatu yang sulit untuk kuungkapkan secara langsung padanya mengingat aku tidak gamblang dalam hal membicarakan sesuatu yang kuanggap sensitif.

Aku sangat menyukai saat-saat di mana dia menceritakan apa yang dia alami.

“Dan saat itu terjadi, apa kau tahu, Oppa?”

Bahwa aku selalu menjadi yang terdepan untuk mendengarmu. Bahwa aku akan selalu menjadi seseorang yang menanti dan tak peduli jika dunia mulai bosan lalu berbalik menjauhimu.

Waktu memang tak mungkin berhenti. Dan selama itu pula aku meninjau kembali apa yang terjadi pada diriku. Apa yang terjadi hingga membuat perutku terasa bergejolak setiap kali melihat senyum yang terlukis di wajah sempurnanya. Aku terus meninjaunya hingga aku sampai pada titik yang menyentakku—

-aku mencintainya. Dan itu hanya awal.

Semakin hari semakin membuncah. Sejalan dengan itu aku menyadari sebuah kebenaran. Kebenaran bahwa dia begitu sulit untuk menatap ke arahku. Berkebalikan denganku yang terpaku hanya pada sosoknya.


Dia terlalu sibuk menceritakan kisahnya. Tak pernah membuka telinga dan mata untuk sekadar mencoba mendengarku. Seharusnya aku tidak mencintainya  jika hanya akan tersakiti seperti ini.

Aku tidak akan memaksakan diri jika tahu semua hanya akan berakhir pada kesakitan di hatiku. Seharusnya aku dapat mencegahnya dari awal, sebelum dia terlalu memberi pengaruh padaku separah saat ini.

Ini. Hanya aku yang merasakan. Aku satu-satunya pihak yang mengulurkan tangan tanpa dia yang sudi untuk menerima uluranku.

Tidak apa-apa. Aku akan diam di tempat. Tidak mengejarnya dan tidak berpaling darinya karena sudah jelas, aku tak mampu. Hanya berdiri dengan kekuatanku sendiri dan diam-diam mengawasinya. Biarkan semua ini mengalir seperti air. Biar dia bahagia dengan hidupnya dan aku bahagia dengan melihat kebahagiaannya.

“Kau tahu, Oppa? Ini lebih menyakitkan dari yang kukira sebelumnya. Hahaha.”

Ini hanya salah satu akibat yang harus kutanggung karena mencintai. Aku yang memutuskan untuk terjun ke cinta yang bertepuk sebelah tangan ini. Ini bukan akhir dari kisahku karena ini memang belum berakhir.

“Aku benarkan, Oppa?”

Dan akan kulihat apa yang akan terjadi. Aku... menyayanginya. Akan selalu begitu.

“Aku. Penggemar nomor satumu.“


==



“Jika harapanmu hancur berkeping-keping,
aku akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu.
Matahari akan menyinari matamu
dan aku akan berdoa pada langit
agar salju berderai di Sahara”

–Love and Friendship. Pringadi Abdi Surya-

=END=



Tidak ada komentar:

Posting Komentar